Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Malam di tahun 1991 menjadi malam ternaas bagi keluarga Limawan. Hujan deras menghantam atap rumah mewah yang berdiri di tengah kota itu. Rinai air mengaduh bersatu padu bersama badai menciptakan sambaran petir di angkasa yang hitam. Pada milidetik selanjutnya, gelegar halilintar terdengar, menggetarkan kaca jendela dan pilar penonggak bangunan. Suara maha dasyat tadi sekaligus meredam percikan api di rangkaian listrik rumah bertingkat tiga itu. Mobil hitam berderu menembus tirai air yang masih saja dengan brutal berjatuhan ke tanah. Seorang pria di belakang setir menatap ke sekeliling rumah yang gelap gulita. Di bangku sebelahnya, duduk anak kecil berusia empat tahun yang terkurung dalam kengerian. “Genta, nanti ayah turun ambil kunci. Kamu tunggu di mobil saja ya,” ucap pria tadi sambil membelai kepala anak itu. Anak bernama Genta tadi hanya bisa menurut pada ayahnya. Dia melepas pria itu turun dihajar tetesan hujan yang tak kunjung reda. Genta mengunci daun telinganya ketika kil
Kejadian malam itu adalah ingatan 27 tahun yang lalu. Tiga pria kekar mencekal pergelangan tangan Adhira, membuatnya tertahan dalam posisi telentang di atas brangkar besi tak beralas. Dia memberontak dengan segenap kekuatan yang tersisa, tapi percuma. Mereka bisa kapan saja menyuntikkan cairan pelumpuh itu ke tubuhnya. Semakin kuat Adhira melawan, semakin kencang pula cengkeraman yang terpaut padanya. “Cepat, ambil jarumnya!” Seseorang paling kerdil di antara mereka meraih jarum berkaliber besar, lalu dengan cepat menancapkan ujung yang runcing tadi menembus otot pahanya. “Argghhh!” Adhira meraung tertahan. Kedua matanya terpejam saat cairan bening yang ada di dalam tabung silindris itu beredar dalam tubuhnya yang ringkih. Anggota geraknya berhenti meronta seolah seluruh kekuatannya telah terenggut dari dirinya. Namun dia pingsan bukan akibat suntikan itu, melainkan karena telah dikuasai oleh rasa takut akan ujung si jarum runcing itu. “Bawa dia kembali ke selnya!” ujar seorang l
Seusai melahap habis nasi kuning berkuah gulai yang diberikan sipir perempuan tadi, Adhira diminta untuk memasuki sebuah ruang lain di lapas itu, tempat lain yang juga belum pernah dijamahnya. Bau klorin bercampur desinfektan mengelilingi dirinya. Ia diminta untuk mandi sebelum memasuki ruang perawatan yang berada dalam satu kawasan. Baru kali ini sejak bertahun-tahun lamanya Adhira tidak mandi dengan air hangat dan busa yang menyejukkan. Luka segar yang terpahat di sekujur tubuhnya sudah tak dia gubris lagi. Dia membiarkan air membasuh segala jenis perih dan sakit yang senantiasa menyengat dirinya. Tak pernah dia merasakan kedamaian hakiki yang berlimpah ruah seperti ini. Bahkan orang-orang ini juga menyediakan pakaian baru yang lebih wangi, menggantikan kaos oblong tipis yang berbau anyir itu. Kedua matanya kembali ditutup setelah keluar dari tempat tersebut. Dua orang menggiringnya memasuki ruang perawatan. Seluruh luka dioles semacam salep dengan aroma yang menye
Awan gemawan tebal meliputi langit kelabu. Angin bertiup menggeser gumpalan pekat tadi menjadi butiran hujan yang menyatu bersama asap dan debu. Hiruk pikuk perkotaan memudar di tengah guyuran hujan. Di balik rintik air yang bersemangat membasahi kaca klinik di persimpangan jalan itu, duduklah seorang pria berjas putih. Setiap kali petir menyambar, ingatannya selalu menerawang pada kejadian dua belas tahun lalu. Tak lama kemudian, air mata akan menggenangi pelupuk matanya. Dia tak pernah selemah ini saat menatap hujan.Matahari tak kunjung bersinar hingga tengah hari, membuat kesuraman makin merajalela. Hanya ada lima pasien yang masuk ke dalam. Terlihat sedikit, tapi konsultasi yang berlangsung bisa terjalin lebih dari satu jam lamanya.Pasien pertama keluar dari ruangan dengan terburai air mata.Selang sejam kemudian, pasien perempuan melangkah sambil menunjuk-nunjuk ke arah pintu dan memaki para petugas yang ada dengan sebutan ‘penipu’.Lim
Langit cerah membangunkan Adhira dari keterlelapan yang singkat itu. Hujan yang mengguyur tubuhnya kemarin berhasil mengganggu mimpi indahnya. Cericit bocah kecil di tepi sungai turut mewarnai kekisruhan pagi. Mereka melompat riang di tengah garis-garis tipis tanah basah berkerikil, tidak peduli cacing tambang yang menyelinap dari punggung kaki yang berlumuran lumpur itu. Sebuah batu mendarat tepat di atas garis, menimbulkan peperangan sengit antara bocah tadi. Nostalgia lampau akan masa-masa menyenangkan tak berbeban itu menghinggapi panggung khayalan Adhira. Melihat keadaan demikian, Adhira seperti berpacu pada memori lama itu. Dia ingat dengan seorang gadis kecil yang pernah ditolongnya dari para pengamen jalanan dulu. Entah bagaimana nasibnya sekarang? Ketidakbecusannya menjaga anak itu membuatnya tak lagi punya muka untuk menemuinya. Di balik kekisruhan yang terjadi di hadapannya, perhatian Adhira tak luput dari sosok seorang anak laki-laki yang t