Kantin sekolah tampak lebih sunyi siang ini. Desas desusnya koki yang bertugas meramu bumbu makanan di dapur kantin ketahuan menggunakan kecap yang sudah kadaluwarsa. Secara tidak langsung, Kuswan tidak lagi bisa makan mi kesukaannya itu. Dan Adhira tahu kalau Kuswan tidak akan sudi makan yang lain selain mi buatan ibu kantin itu.
“Sepertinya kamu tidak akan bisa makan mi di sini lagi,” ucap Adhira.
Kuswan duduk dengan muram. “Buat apa sih mereka sampai pecat ibu kantin. Toh aku tidak keracunan. Kemarin juga habis setengah botol kecap masih baik-baik saja.”
Saat menggerutu tentang ketiadaan makanan tersebut, Adhira melihat segerombolan murid mengelilingi seorang murid laki-laki.
“Itu bukannya Genever?” Kuswan berdesah.
Adhira hanya bisa melihat bagaimana anak yang disebut culun itu tengah diolok oleh sekelompok anak kelas 12. Genever adalah teman sekelas mereka yang ternyata adalah putra dari ibu kantin yang baru saja dipecat itu. Matanya yang
Kelas matematika mulai seusai jam makan siang. Ibu Tamara masuk dengan buku yang berbeda hari ini. Buku pertama sudah habis dilahap Adhira dalam waktu dua hari. Dia langsung menyerahkannya pada Bu Tamara. Bu Tamara sedikit takjub buku itu sudah penuh hanya dalam waktu yang singkat. “Tidak ada yang lebih susah?” ujar Adhira angkuh. Ekspresi kagum tadi berubah jadi masam. Bu Tamara mulai melingkari jawaban yang masih salah. “Jawaban geometri ruangmu masih salah.” “Haha…” Adhira hanya bisa nyengir. “Oh itu, aku memang sengaja bikin salah. Rupanya ibu ketemu juga.” Bu Tamara langsung merengut sebal. “Alah, bilang saja kalau kamu memang salah,” tukas Bu Tamara. Dia mengeluarkan buku yang kedua dan menyodorkannya pada Adhira. Seperti mendapatkan tugas baru yang menyenangkan, Adhira segera menerima buku tadi dengan gembira. Hanya hal itu yang bisa membuat Adhira duduk tenang di bangkunya tanpa membuat keonaran. “Ervan, kamu k
Siang yang terik itu harus dihabiskan Adhira dengan membersihkan lantai, mengelap jendela, memotong rumput, dan menyemir sepatu. Tentu saja bukan sepatunya. Itu milik Willian Osman, suami dari Tante Durga. Tante Durga sendiri saudara perempuan ibu kandung Adhira. Pada ledakan listrik dua belas tahun lalu, kedua orang tuanya mati tersambar listrik. Peristiwa mengenaskan tersebut membuat Adhira resmi menjadi anak yatim piatu.Sejak usia tiga tahun Adhira tinggal bersama keluarga Tantenya. Hampir seluruh pekerjaan rumah dihibahkan pada Adhira. Sesekali Kiara ikut membantu. Tapi Tante Durga tidak pernah senang kalau anak sematawayangnya itu menolong Adhira. Bagi mereka, hutang Adhira tak pernah bisa terbayarkan melalui pekerjaan kasar tersebut.“Setelah nyemir, nanti kamu tolong potong rumput di depan sana ya.” Tante Durga mulai memerintah dengan suara nyaring. Dia baru saja selesai membuat kue tart untuk ulang tahun Kiara besok.“Bukannya ada Pak
Bermalam di bawah pohon merupakan salah satu hal mengenaskan yang sering diterima Adhira semasa tinggal bersama keluarga Osman. Tiupan angin menusuk hingga ke tulang dan lapisan ototnya, membuatnya menggigil sepanjang malam. Adhira terbangun ketika bebek yang dipelihara Kiara mematuki perutnya yang kejatuhan biji kenari. Sadar akan keterlambatannya, Adhira segera bangkit dari semak dan melangkah menuju ke sekolahnya lagi. Sudah cukup angin fajar ini menghajar tubuhnya semalaman, dia tidak mau hukuman di Equator makin memperpendek usianya lagi. Kiara diantar oleh Willian pagi itu. Pamannya sengaja melakukan itu untuk menghukum Adhira secara tidak langsung. Biasanya berjalan sejauh tiga kilometer menuju sekolah bukan hal yang berat baginya. Namun untuk kali ini, tungkainya seperti menolak untuk bergerak. Sementara dia harus lebih cepat mencapai Equator karena dia bangun setengah jam lebih lama dari seharusnya, dan dia juga berniat mandi di sekolah bila memungkinkan.
“Kamu sudah siap baca pidato?” “Saya… belum selesai Pak,” jawab Adhira salah tingkah. Jelas-jelas dia belum mengerjakan tugasnya sama sekali. “Sudah sejam lebih saya kasih waktu untuk kerjain tugas ini. Kamu sudah tulis sampai mana? Baca saja sampai batas yang sudah kamu kerjakan.” Pak Heno duduk di meja guru menantikan Adhira ke depan kelas. Adhira mengamati meja belajarnya yang hanya ada buku kosong dengan potongan kertas koran yang tadi dijadikannya selimut itu. Dengan perlahan dia melangkah ke depan. Ervan masih duduk tenang mengerjakan pidatonya. Adhira yang tengah melintasi tempat duduk Ervan dengan cepat merebut bukunya dari Ervan. Usahanya tak berhasil karena Ervan dengan erat memegang bukunya. Kertas yang tadi diperebutkan malah robek. Terlepas dari kemarahan Heno, sekarang Ervan ikut kesal dengannya. Adhira tak punya pilihan selain maju dan mengarang naskah pidato yang ada di kepalanya. Sebuah tugas yang akan sangat berat dilakukan b
Seusai membereskan tabung kimia yang berserakan di meja praktikum, Adhira pun kembali ke kelasnya. Rasa terbakar baru terasa ketika dia hendak meraih buku yang ada di laci mejanya. Jemarinya terhenti permukaan kulit yang terpercik air keras tadi bergesekan langsung dengan permukaan bawah meja yang tak berpelitur. Namun bukan itu saja yang membuat Adhira tertegun.Sepucuk surat beramplop cokelat tergeletak di atas tumpukan buku tersebut. Adhira tidak bisa menebak dari mana surat itu berasal karena tidak ada tulisan apa-apa di luarnya selain gambar lima roda gerigi. Sebuah kertas tebal yang menyerupai kartu terbungkus di dalamnya.UNDANGAN RAPAT ALIANSI LIMA PILARKepada: Adhira LimawanTempat: Aula Utama Paviliun CenturionWaktu: Minggu, 20 April 2003 19.00 WIBTerdapat barcode hitam putih tercetak di bagian bawah tulisan tersebut. Mungkin itu kode yang bisa dipakai untuk ikut dalam rapatnya. Hanya itu saj
Sosok Alan Sadana yang disebut-sebut perintis Aliansi Lima Pilar itu tiba beberapa menit setelah bel istirahat kedua berdering. Adhira pernah melihat rupa sang guru besar itu saat upacara bendera. Rambutnya sudah sepenuhnya berwarna putih. Keriput merambat di sekeliling matanya. Walau begitu, kilatan terang dari kedua bola matanya tampak begitu dalam dan tajam.Berhubung kelas pelajaran kewarganegaraan sedang kosong, Profesor Alan Sadana yang merupakan ketua yayasan SMA Equator itu pun mengisinya dengan materi penguatan moral.Adhira memandang pria tua tadi melangkah perlahan menuju ke tengah kelas. Ada satu orang pendamping yang selalu mengekor di belakang Profesor Alan. Kata Kuswan itu adalah keponakannya yang paling muda. Namanya Renal Sadana. Sekarang sedang menempuh ujian masuk universitas di Jerman. Dia almamater SMA Equator juga. Perawakannya tinggi dan dia memiliki kulit bersih. Seperti juga keluarga Sadana yang lain, Renal terlihat patuh dan disiplin. Me
Adhira keluar dari halaman sekolah dengan lesu. Mengingat pertengkarannya dengan paman dan bibinya, membuatnya enggan kembali ke tempat itu lagi. Lamunannya diruntuhkan ketika seorang gadis SMP muncul dan langsung menggandeng tangannya melangkahi gerbang depan sekolah.“Kak Adhi, pulang yuk.” Kiara menariknya memasuki bus yang mengarah ke jalan pulang. “Tenang aja, Mama pasti sudah tidak marah lagi kok.”Saat hendak memasuki bus, Adhira sempat melihat Ervan yang dijemput oleh seorang sopir. Ervan sempat menoleh ke arah Adhira, yang segera disambut dengan lambaian tangan.“Daffin, besok bagi cotekan soal biologi ya!”Muka muram Ervan langsung tersembul di wajahnya yang putih itu. Dia tak menggubris permintaan Adhira dan segera melayang masuk ke mobilnya.Kiara menempelkan kartu busnya dua kali saat Adhira sudah berada di dalam bus. Dia mengeluarkan sebongkah es krim dari tas ranselnya.“Dari mana?&rdq
Penjaga tersebut melihat lengan Ervan yang berdarah langsung kembali sigap menahan Adhira.“Hei, aku bukan orang jahat. Aku temannya.” Adhira protes sambil tetap memeluk kantung berisi ceri. “Daffin, itu rumahmu? Kenapa tidak bilang dari tadi?”Ervan menutup lengannya yang terluka tanpa menggubris ocehan Adhira. Dia berjalan beriringan dengan anjing tersebut melewati jembatan. Sementara tiga penjaga langsung mencekal kedua lengan Adhira dengan erat.“Daffin, ayolah, kita kan teman sekelas. Masak kamu mau menangkapku begitu saja?”“Jangan banyak alasan!” ujar salah satu penjaga. “Sudah maling, mau culik orang lagi.”“Culik? Siapa juga yang mau culik tuan kepala es kayak dia? Aku cuma minta beberapa biji ceri kalian saja. Pelit amat sih!”Adhira mengernyit tak setuju. Namun percuma. Semua pembelaannya terlihat sia-sia. Ervan hanya diam membiarkannya bercelotek sepanjang pe