"Ada baiknya Tante Desi dan Tante Nila pulang saja, Aruna biar saya yang jaga, soalnya emosi dia sedang tidak stabil, takutnya nanti dia malah akan makin nekat kalau lihat Tante Desi lagi," ucap Nathan pada Desi dan juga Nila. "Enggak, Bibi mau di sini saja, menunggu Aruna," jawab Nila dengan raut wajah yang panik dan juga khawatir. "Saya juga mau di sini! Memangnya kamu siapa, huh? Berani sekali bicara seperti itu pada kami, dan tadi apa katamu? Nekat saat melihatku? Aku ini ibunya!" jawab Desi dengan angkuhnya berbicara, dia mengangkat dagunya dan merapatkan kedua tangannya di bawah dada, menatap Nathan dengan mata yang mendelik. "Kamu saja yang pulang sana!" "Apasih, Teh? Kenapa bicara seperti itu?" sahut Nila membela Nathan, "Benar apa kata Nathan. Aruna bisa nekat kalau lihat Teteh ada di sini. Jadi yang harusnya pulang itu Teteh! Sudah, Teteh pulang aja sana!" usir Nila, "Aruna kayak begini juga gara-gara Teteh. Coba aja kalau mulut Teteh gak kasar kayak gak di sekolahin, Aru
"Pasien sudah dalam keadaan stabil, alhamdulilah luka goresannya tidak terlalu dalam dan darah yang keluar juga tidak banyak. Tapi, mohon untuk menjaga pasien agar tidak terjadi hal seperti ini lagi, jangan meninggalkannya sendirian atau nanti dia bisa berbuat nekat kembali. Dan kalau bisa, buat hatinya senang dan jangan membuatnya stress. Saran saya lebih baik nanti pasien dibawa ke psikolog agar mentalnya bisa lebih stabil," ucap Dokter pria yang baru saja keluar dari ruangan.Nathan dan Nila saling beradu pandang sebentar, kemudian Nathan kembali menatap dokter itu dan memberikan anggukan kepala. "Baik, Dok. Terima kasih," ucap Nathan.Pria berjas putih itu tersenyum ramah, kemudian berjalan pergi. Sementara Nathan dan Nila, mereka masuk untuk melihat keadaan Aruna. Wanita itu kini tengah terpejam di atas ranjang.Beberapa saat kemudian. "Tante Nila pulang saja, ini sudah malam. Tante pasti capek kan menunggu Aruna sejak tadi. Aruna biar saya saja yang jaga," ucap Nathan."Gak pa-
Aruna mengerjapkan mata saat matahari pagi menerpa wajahnya. Ia membuka mata perlahan dan pandangannya langsung tertuju pada seorang wanita yang tengah membuka gorden jendela ruang rawat inap dimana ia berada. Pandangannya lalu beralih melihat ke segala arah, mencari seseorang yang sejak semalam menemaninya sampai ia terpejam dan tertidur. "Nathan baru aja pergi, katanya dia mau bersih-bersih dulu, terus mau urus sesuatu," jawab Nila seraya berjalan ke arah kursi di samping ranjang di mana Aruna terbaring.Bibir Aruna mengerucut seketika. 'Dia pergi?' batin Aruna berucap, 'Kenapa tidak menunggu aku bangun dan berpamitan? Dasar menyebalkan!' lanjut Aruna di dalam hati. "Nathan bilang dia gak tega bangunin kamu untuk pamitan, makanya dia langsung pergi," sahut Nila seraya tersenyum. Melihat raut wajah Aruna yang terlihat kesal, ia seolah mengerti apa yang keponakannya itu pikirkan.Sementara Aruna, raut wajahnya berubah seketika, saat mendengar sang Bibi berucap. Alisnya sontak langs
"Siang," ucap Nathan saat memasuki kamar di mana Aruna dirawat. Pandangan Aruna pun langsung beralih pada Nathan. Orang yang ia tunggu sejak tadi akhirnya datang juga."Akhirnya kamu datang juga," sahut Nila yang sedang menyuapi Aruna."Kenapa? Dia berbuat nekat lagi?" tanya Nathan berjalan menghampiri ranjang hingga akhirnya berdiri di samping Aruna."Enggak, dari tadi ada yang nungguin kamu soalnya," ucap Nila tersenyum. Aruna yang merasa ucapan itu tertuju padanya mengernyitkan dahi. "Bibi tau ya! Dari tadi kamu nungguin Nathan datang, kan? Mata kamu dari tadi terus melihat ke arah pintu seperti menunggu orang datang, memangnya Bibi gak tau apa!""Aaahhh, jadi kamu menunggu aku, Sayang?" tanya Nathan seraya tersenyum dan mengelus lembut kepala Aruna."Apaan? Enggak, ya! Dari tadi aku tuh liat dokter mau ke sini atau enggak! Bukan nunggu kamu!" jawab Aruna dengan nada yang ketus dan berdusta karena faktanya, sejak tadi ia memang menunggu kedatangan Nathan. Tapi tidak mungkin kan
Setelah acara resepsi pernikahan selesai, Aruna dan Nathan memasuki sebuah kamar hotel yang sudah dipersiapkan sedemikian rupa untuk pengantin. Raut wajah Aruna begitu takjub melihat kemewahannya, kagetnya sama seperti tadi saat ia memasuki ballroom hotel."Bagaimana? Kamu suka sama kamarnya?" tanya Nathan dengan seulas senyum di bibir pada wanita yang kini sudah berstatus sebagai istrinya."Suka," jawab Aruna dengan nada datar, "Jujur saja kamarnya bagus, rapi dan terkesan romantis juga." Senyuman semakin mengembang di bibir Nathan saat mendengar Aruna berucap."Tapi ...." "Tapi apa?" tanya Nathan."Jangan berharap lebih dan jangan berpikir yang aneh-aneh. Jangan harap malam ini kita bisa seperti para pengantin pada umumnya!" ucap Aruna lagi dengan kedua tangan yang terlipat di bawah dada, "Aku masih trauma! Aku takut! Sakitnya masih kebayang sampe sekarang! Kamu jangan marah dan jangan berani menyalahkan aku. Kalau kamu mau nyalahin, salahin aja diri kamu sendiri. Orang semua gara
Beberapa hari kemudian. Aruna membuang napas dengan sangat kasar, matanya melihat ke arah samping. Melihat ramainya jalanan kota. Nathan yang mendengar Aruna membuang napas yang terasa berat itu sontak langsung menoleh, melihat ke arah Aruna yang terduduk di sampingnya dengan mata yang sesekali melihat lurus ke arah jalanan karena ia sedang menyetir."Kenapa?" tanya Nathan."Aku pikir setelah menikah denganmu aku bisa hidup dengan nyaman santai di rumah tanpa beban pikiran dan menikmati hidup. Dan sekarang apa? Kamu malah memaksaku untuk tetap ikut ke perusahaan," jawab Aruna dengan mata yang masih tetap pada jalanan."Selain karena cinta, aku menikahi kamu karena ingin melihatmu selama 24 jam. Agar kamu selalu dalam pandanganku. Mau tau kenapa? Karena aku takut nanti kamu kembali nekat lagi tapi aku tidak tahu dan terlambat menyelamatkanmu. Waktu itu aku diberi kesempatan oleh Tuhan untuk datang tepat waktu ke apartemen. Coba kalau waktu itu aku gak datang, mungkin sekarang aku sed
"Kamu ini ternyata memang perempuan ular! Ucapanmu juga sama sekali tidak bisa di percaya!" Aruna sontak langsung beranjak dari duduknya dan berdiri tegak. "Jaga ucapanmu! Aku tidak seperti itu!" ucap Aruna membela diri."Terus umpatan apa yang pas untukmu, huh?" tanya Della dengan mata yang memicing dan raut wajah yang sangat kesal. Tadi, saat melihat Nathan pergi dan terlihat berjalan ke arah ruang meeting, Della langsung berlari cepat dan langsung memasuki ruangan Nathan. "Katamu kamu akan membuatku dan Nathan menikah, tapi apa yang terjadi sekarang? Malah kamu yang menikahi dia!" lanjut Della lagi mengeluarkan isi hatinya yang begitu sangat kesal. "Aku menikah dengan Nathan juga semua karena kamu! Sudah aku bilang untuk stand by agar saat aku menghubungimu, kamu bisa segera langsung datang ke kamar hotel. Tapi apa yang terjadi? Berkali-kali aku menelfonmu tapi sama sekali tidak diangkat! Padahal saat itu aku sudah berhasil membuat Nathan mabuk parah dan bahkan sudah memesan kama
Setelah Nathan keluar dari ruangan, Aruna mulai bingung harus bagaimana. Ia tidak diusir seperti Della dan Nathan juga tidak memarahinya habis-habisan. Membuat Aruna kebingungan harus berbuat apa. Jika pergi, ia harus pergi kemana? Pulang ke rumahnya? Ibunya pasti akan banyak bertanya dan yang ada ia malah kembali di umpat lagi. Sang ibu juga pasti akan memarahinya habis-habisan jika tahu apa yang ia lakukan dan apa yang terjadi. Kemudian, apa ia harus pergi melarikan diri? Melarikan diri kemana? Ia juga tidak mungkin meninggalkan bibinya."Haruskah aku meminta maaf?" gumam Aruna. Namun setelahnya dia menggelengkan kepalanya, "Enggak! Enak saja minta maaf. Dulu dia juga tidak langsung minta maaf dan tidak peduli. Terus kenapa sekarang aku harus meminta maaf? Untuk sementara aku ikuti saja alurnya," gumam Aruna. Mata Aruna kembali melihat ke arah TV yang menyala lagi, walau terlihat fokus menonton, tetapi hati dan pikirannya sama sekali tidak tenang dan begitu berkecamuk.**Tak be