Apa yang Nina lihat tadi malam membuatnya tak fokus seharian. Beberapa kali ia mengawasi Nick secara diam-diam, meyakinkan kalau yang dilihatnya kemarin tidaklah benar.
"Hey! Ngapain sih lo, Nin. Celingak-celinguk, hayo, ngintipin Nick, ya? Lo naksir, ya?" tanya Sisca–teman sekantornya.
Orang di kantor memang belum tahu mengenai rencana pernikahan Nick dan Nina. Mereka sepakat akan memberi pengumuman setelah undangan selesai dicetak.
"Eh, Sis. Menurut lo, si Nick itu normal, gak?" tanya Nina saat mereka minum kopi di cafetaria samping kantor. Nick saat itu baru saja lewat.
"Nggak!" jawab Sisca asal.
"Nah ... Nah, bener kan kecurigaan gue. Lo pernah liat dia jalan ama cowok juga, ya?" tanya Sisca.
"Ya pernah lah, sama Pak Sandy, sama Dio, Bagas, semua temen kantor kita kan emang dominan cowok." Sisca menjawab cuek sambil memaikan ponselnya.
"Ih, bukan itu. Maksud gue yang intens gitu."
Sisca mulai tertarik dengan pembahasan Nina, ia pun menutup ponselnya. "Maksud lo apaan, sih? Si Nick suka cowok? Ih, fitonah lu, Nin. Lagian tumben lu suka gosip sekarang, dulu bodo amat aja ama yang terjadi sama orang kantor," Sisca menyipitkan matanya.
"Lah, lo tadi bilang dia kagak normal."
"Maksud gue, dia itu tipe superior ceunah. Di atas normal, idaman banget. Duh, siapa ya wanita beruntung yang bakal dapetin dia. Jadi penasaran gue."
"Tau, gue kali," jawab Nina asal.
"Eh, tapi bisa jadi lo bener, Nin. Masak dia kagak tertarik sama gue. Lo liat deh gue, hm, wajah instagramable, body bohay, apa lagi ya, gak?" Sisca sambil berdiri memamerkan bodinya yang memang terbilang cukup seksi.
"Emang lo pernah deketin die?" tanya Nina penasaran.
"Sst, gue pernah ngajak kencan. Eh, tapi ditolak dong sama dia. Stupid tu orang. Tapi lo jangan bilang-bilang ya, aib, baru kali ini cowok nolak gue. Jejangan benar yang lo bilang dia kagak suka cewek."
Nina makin galau, kata-kata Sisca ada benarnya. Pria sekantor suka jelalatan kalau Sisca hadir. Bahkan ada yang sampe ngences liat body temannya itu. Namun, tidak dengan Nick. Dia super cuek meski didekati wanita macam Sisca. Nina jadi makin bertanya-tanya.
"Jejangan bener lagi, duh, nasib lo, Nin. Ternyata cuma jadi penutup dosa," gumam Nina.
***
"Ma, Pa, Om, kayaknya pernikahan ini harus dibatalin deh." Nina tiba-tiba muncul di tengah-tengah rapat keluarga yang tengah berlangsung.
"Ya Allah, apa lagi ini?" ujar Mama mulai panik seraya mengeluarkan inhaler dari kantong gamisnya.
"Kenapa lagi, sih, Le? Mau bikin drama lagi keknya nih anak," timpal Bia yang ikut menjadi panitia.
"Om Sandy pasti tau ini. Kenapa gak bilang dari awal sih, Om, kalau si Nick itu gay?"
"Apa?" Seluruh keluarga kaget dengan pernyataan Nina.
"Gay?" tanya Bia memastikan.
"Astagfirullah." Mama mulai menghisap inhalernya.
"Kamu jangan fitnah, Nin!" Papa mulai gemetar karena emosi.
"Iya, Nina. Kamu ini ngomong apa?" Om Sandy tak kalah emosi.
"Jangan belagak pilon deh, Om. Si Nick ini gak suka cewek, kan? Dia mau jadi warga negara kita karena pacar prianya tinggal di Bali, kan?" cecar Nina.
Ia sudah tidak tahan lagi menanggung rasa kesal karena mengetahui dirinya dijebak nikah dengan Nick. Nina akhirnya paham kenapa Nick memilih dirinya jika dibandingkan dengan wanita lain.
"Ya enggaklah, Nick itu normal, Nin. Kamu ngomong apa, sih?" Om Sandy mulai kesal.
"Nih, kalau gak percaya, ya. Aku tunjukin akun f******k dia yang lama."
Nina kemudian menggelar laptopnya di tengah-tengah rapat itu. Melihat foto yang Nina tunjukkan, membuat seluruh yang hadir serempak istighfar.
"Wah ... Wah ... Gak bener ini. Bener kata lu, Lele. Si Nick, ah, unfortunately, punya pacar cowok." Bia ikut mengompori.
Mama dan Papa terlihat syock. Mereka memilih duduk lalu terdiam. Yang lain masih sibuk scroll akun Nick yang masih terbuka.
"Ah, Om gak percaya. Pasti ada penjelasannya. Om suruh Nick ke sini."
"Tunggu, Om! Gimana kalau Nick bohong. Hal begituan kan juga tabu di negaranya dia. Kalau dia bohong gimana?" cegah Nina.
"Tapi kita memang harus tanya langsung Nick, Nin. Kalau gak benar jatuhnya malah fitnah." Mas Raka–suami Bia ikut menengahi.
"Om telpon Nick dulu. Suruh dia langsung ke sini aja, biar jelas semua."
Nina mengambil tempat paling strategis, siap mendengar penjelasan Nick. Seluruh keluarga kelihatan ikut cemas memikirkan masalah ini. Hal begini tentu saja menjadi penting bagi keluarga Nina yang juga sadar dan patuh pada pakem-pakem beragama. Mama yang gampang stres terlihat bolak-balik minum untuk menenangkan diri.
Kurang dari satu jam kemudian, Nick pun sampai di rumah Nina. Seluruh keluarga termasuk Nina sudah memasang wajah kepo bin menghakimi Nick yang baru sampai. Melihat itu, Mas Raka sebagai penengah memulai sidang dadakan keluarga ini.
"Ehem, jadi gini, ya, Nick. Hari ini kami dengar isu kurang sedap tentang kamu. Jadi di sini kita mau klarifikasi langsung biar gak jadi fitnah di kemudian hari."
Nina mulai merasa kurang nyaman, bagaimana pun ia yang memulai. Kalau terbukti salah, ia harus sudah siap mental menanggung risikonya. Namun, pandangan Nick ke arahnya membuat pertahanannya sedikit rubuh. Wajah Nick begitu innocent, Nina mulai ragu sendiri.
"Ok, ini pasal ape?" tanyanya bingung.
"Em, gimana ya? Om!" Mas Raka melempar ke Om Sandy, sepertinya ia pun ragu untuk menuduh langsung.
"Eh, kok Om sih. Mbak, tanyain langsung tuh, calon mantumu."
"Loh, kok aku, Pap." Mama malah melirik Papa.
"Ehm, hm, mungkin Nina bisa menjelaskan kembali masalahnya tadi," elak Papa.
Nina menepuk jidat, ternyata keluarganya malah tak bisa diandalkan. Isu ini memang terbilang sensitif, Nina pun bingung harus mulai dari mana.
"Duh, kok pada lempar bola gini sih. Tinggal nanya doang, si Nick ini masih suka cewek apa gak?" Bia mulai ceplos.
"What?" tanya Nick kaget.
"Lo itu gay, ya?" timpal Nina emosi.
Semua yang hadir langsung melirik pada Nina. Semua ikut kaget dengan pertanyaan Nina yang blak-blakan. Mama sampai menutup wajah sangking malunya.
"Duh, lambe anakmu, Pap. Kok ya kayak preman simpang gitu," bisik Mama pada pria di sampingnya.
"What? Are you insane? Ade ape ni?" Nina mengira Nick bakal ngamuk dan mengejarnya, lalu menarik kerah Nina dan menghajar wajahnya. Setidaknya itulah bayangan Nina. Namun, Nick tetap tenang. Ia malah berusaha keras menahan tawa.
"Udah, deh, ngaku aja. Lo bukan cuma ngawinin gue buat nyelamatin lo yang bakal dideportasi, kan? Tapi juga buat nyelamatin lo dari kecurigaan orang tua lo!" Nina dengan berani pasang badan.
"Wah, gokil lo, Le," bisik Bia.
"Nanggung, udah basah, nyemplung aje sekalian." Nina berapi-api.
"Oke, wait. Kenape sampai awak berpikir macam tu?" tanya Nick tetap tenang.
Nina malah kesal dengan sikap Nick yang menurutnya sok cool itu. Ia lalu memberikan laptop tadi pada Nick, dan memperlihatkan foto mesra Nick dengan pria bule yang ia temukan.
"Eh, mane awak dapat foto lame saye ni?" tanya Nick bingung.
"Nah, kan. Ngakuin kan lo." Sesaat Nina merasa menang.
"Memang betul ni foto saye ngan Abang saye. Die orang stay di Bali," jawab Nick santai.
"Abang?" ucap seluruh hadirin secara serempak.
"Mampus lo, Nin. Nyemplung aje sono ampe tenggelam," bisik Bia lagi.
Kaki Nina kini terasa lemas.
"Bohong! Masa sih sodara? Beda gitu tampang kalian," balas Nina tak mau kalah telak."Seriously, sebenanye Daddy saye sebelum berkahwin ngan Mom, pernah menikah di Bali. Lepas tu die orang divorce. Justin, abang saye tu stay ngan Mak die di Bali. Kenape die blond, sebab Mak die from USA. Kite orang jumpe pun mase tu je, sebelumnye tak pernah." Nick dengan tenang menjelaskan. Ia justru merasa lucu karena tuduhan yang Nina beberkan berdasarkan foto itu."Oooh." Seluruh yang hadir mendengar penjelasan Nick dengan khidmad."Kalau tak pecaye, ni saye vcall jap." Nick kemudian membuat panggilan video dengan Justin–abangnya.Di sisi lain, Nina ingin siap-siap mau kabur, tapi dengan sigap Om Sandy menangkapnya. Nina pun terpaksa duduk di ujung sofa sambil berharap tubuhnya benar-benar tenggelam."Hay, bro. Are you busy?" tanya Nick ketika panggilannya dija
Sejak hari itu, jarak Nina dan Nick makin terasa jauh. Setiap berpapasan dengan Nick, Nina memilih menghindar. Hal tersebut cukup kontras terlihat. Gosip mengenai Nick perlahan memang mulai padam, seiring sebuah undangan pernikahan mendarat di meja masing-masing karyawan.Nina sama sekali tidak diberi tahu perihal ini sebelumnya. Untunglah ia menemukannya satu di meja security sebelum masuk kantor. Kebiasaannya nongkrong bersama bapak-bapak keamanan ternyata cukup berguna hari ini."Ha? Udah disebar hari ini? Mampus gue. Bakal diserbu gue hari ini, mending gua kagak masuk aja dah." Nina beringsut meninggalkan area perkantoran."Eh, Nin, lo mau ke mana?" tanya Sisca yang berpapasan dengannya di gerbang depan."Eh, itu, anu ... Hp gue ketinggalan. Mau balik dulu, ye. Oke, bye!" Nina buru-buru kabur sebelum Sisca menyadari kebohongannya.Dugaan Nina benar, belum sampai separuh jalan menuju ru
Pagi-pagi Bia sudah sibuk menarik paksa Nina untuk melakukan persiapan pranikah yang hanya tinggal menghitung hari. Nina beruntung, Om Sandy memberikan kelonggaran pekerjaan padanya. Jadi Nina bisa fokus mempersiapkan dirinya menjelang pernikahan. "Ogah! Duh, kenapa sih pake perawatan segala. Orang nikah formalitas juga, demi hubungan bilateral dua negara," tolak Nina saat Bia memaksanya ikut. Ia lebih memilih berhela-hela di kasur sambil bermain game di ponsel pintarnya. "Set dah, lo kira lo putri mahkota yang nikah karena menyelamatkan negara? Udahlah cepet! Jangan bikin malu lo, ya, Lele. Masak penganten muka gosong kayak pantat panci, kuku kayak manusia purba abis garukin tanah, parah lu emang. Itu lagi rambut, kapan terakhir lo keramas? Huwek, sumpah, ye, lo bener-bener bau ikan lele di empang tau gak?" komentar Bia kejam. "Tau, yang mulutnya mangap tiap lo boker, ya kan?" balas Nina cuek.
Pria di hadapan Nina memang tak seperti saat pertama berjumpa, enam tahun yang lalu. Nina masih ingat ketika itu, mereka bertemu saat selebrasi mapala ke Gunung Gede. Nina menyukai penampilan Luka yang santai, berambut gondrong, dan suka berpetualang. Memori pertemuan mereka pertama kali pun masih terekam jelas di pikirannya, ia memang sulit melupakan semua itu. Pria itu pernah menyelamatkan hidupnya. "Eh, lo rombongan mana?" tanya seorang pria pada seorang gadis yang tersasar di gunung ini karena asik mengambil foto. Udara dingin di puncak gunung membuat tubuhnya mulai membeku. Beberapa kali ia sudah mencoba menyusuri jalan yang ia yakini sebagai jalan yang sama ketika rombongannya mendaki tadi. Namun, entah kenapa ia selalu kembali ke tempat yang sama. Tenaganya mulai habis, kelelahan dan ketakutan membuat energinya mulai menipis. Langit senja tiba, keindahan matahari menjelang terbenam tak lagi mampu ia nikmati. Jarak pandang sa
Subuh belum lagi tiba, tapi kesibukan sudah mulai terdengar di rumah Nina. Meski acara tidak dilangsungkan di rumah, tapi semua persiapan dimulai dari tempat ini. Sebuah taman di komplek rumah Nina akan menjadi lokasi sekaligus latar belakang pengucapan janji suci dan resepsi. Nina mau tak mau harus rela wajahnya didandani full cover meski sebelumnya wajah polosnya itu hampir tak pernah tersentuh kosmetik. Nina sudah berpesan sejak awal kalau make-upnya haruslah minimalis. Ia tak ingin terlihat a memakai topeng, meski topeng itu sendiri melekat di wajahnya, ya, topeng kebahagiaan semu. Ia harus mengatur senyum, meski dalam hatinya kini kembali terluka.Pertemuannya dengan Luka masih membekas di hatinya, menyisakan gelisah yang berkesinambungan. Apalagi karena ponselnya rusak setelah itu. Nick memang sudah membelikan Nina yang baru karena merasa ikut bersalah menarik Nina. Namun, bukan itu yang Nina sesali. "Duh, tahan dikit dong, Mbak
Mau tak mau Nina dan Nick harus mengulang adegan tadi. Nick menyentuh bahu Nina pelan, lalu mengecup kening istrinya itu dengan lembut. Desir panas mengalir cepat ke jantung Nina, menyisakan perasaan aneh yang memutar perutnya. Mereka menyelesaikan adegan dengan pose pelukan yang kaku. Untunglah setelahnya dilanjut foto keluarga. Kehebohan keluarga akhirnya mampu mencairkan kegugupan pasangan baru itu. *** Nina sudah berusaha agar tidak lekas masuk kamar. Ia menyibukkan diri dengan bermain bersama Hana–keponakannya. Nick sepertinya masih asik ngobrol bersama orang tua Nina dan keluarganya. Hana kemudian terlihat mengantuk dan akhirnya tertidur di pangkuan Nina. Bia pun segera menggendong anaknya menuju kamar. Nina mengekor. "Mau ngapain lu ikutin gue, Lele. Sono ke kamar lu, siap-siap kek," usir Bia. "Siap-siap apa?" tanya Nina polos. "Halah, Lele, sok lugu lu. Ciye... Ciye, ada yang
"Kamu ini, malah nyuruh suaminya bawa beginian," omel Mama. "Yaelah, Ma. Masak gitu aja gak boleh. Papa aku aja gak masalah nyuci piring," bantah Nina. "Ih, beda, Nin. Kamu masih baru, jangan langsung keliatan gragasnya gitu lah. Apalagi masih di rumah mama, nanti kalau udah rumah sendiri baru deh kesepakatan kalian berdua." Kata-kata Mama membuat Nina kaget "Rumah sendiri? Mama mo ngusir Nina? Gak mau, Nina mau tinggal sama Mama Papa." mata Nina berkaca-kaca menatap Mama. "Duh, ni anak, paling bisa aja bikin mamanya mewek. Ya, siapa juga yang gak mau Nin. Tapi mama tahu banget rasanya, kalau udah menikah itu baik di rumah orang tua atau mertua, tetap aja asing rasanya. Lebih nyaman di rumah sendiri lah, meskipun cuma kontrakan kecil." Mama menggenggam tangan bungsunya itu. "Tapi, Ma..." "Mama tahu, kamu sama Nick masih belum ada rasa. Tapi seiring waktu, pasti benih
Nick dalam posisi memeluknya, spontan kantuk Nina hilang dan duduk secara tiba-tiba. Wajahnya terasa memanas, adegan tadi membuat dadanya berdebar-debar. Nick rupanya ikut terkejut dengan gerakan Nina yang tiba-tiba. "Kenape?" tanyanya kaget, sambil mengucek-ngucek mata. "Oh, ehm, gak. Itu, azan." Nina pun lekas bangun dari posisinya dan lari menuju kamar mandi. Nina menghela napas lega. Meski sejak zaman sekolah dulu temannya lebih banyak kaum lelaki, tapi tentu saja saat ini situasinya beda. Ia belum siap menerima sentuhan dari Nick. Ia juga tidak tahu kapan akan siap, membayangkannya saja membuat Nina bergidik ngeri. *** Nina belum juga menuntaskan cutinya meski ia sendiri sebenarnya sudah bosan di rumah terus. "Mama mau ke mana?" tanyanya ketika melihat Mama berdandan rapi. "Mau ke rumah Tante Marina. Ada