"Oke, Let's go .... "
Nina lekas menarik tangan Nick. Ia tak ingin prianya itu mengira kalau dirinya sudah tidak mampu lagi melakukan apapun, termasuk menyetir mobil ke rumah sakit. Nina hanya tak ingin membuat Nick lelah. Namun, kadang niat baik sering disalah artikan, dan ia tak ingin Nick mengira begitu.Nina merapatkan syal yang menutupi leher Nick. Ia menggelayut manja di lengan suaminya itu. Matahari di awal musim semi telah tampak, dan rasanya cukup hangat. Nina sangat bersyukur musim berganti, ia sejujurnya tidak terlalu suka musim dingin."Nin, ade hal yang nak saye cakap," ujar Nick tiba-tiba.Nina mengangkat kepalanya dan menatap Nick. Pria itu masih sama mempesonanya."Hm, i know, you wanna protect me, but... Don't feel guilty about anything. I'm good. And i feel better when you coming here, stay around me. So... Just be you, Nin."Mata Nina mulai berkaca-kaca. Kata-kata Nick menancap lurus ke jantungnya, dan teraWaktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi para penghuni rumah masih enggan beranjak dari ruang keluarga. Seolah masing-masing enggan melepas kehangatan yang ada. Suara tawa, dan lelucon silih berganti. Beberapa juga masih tengah sibuk dengan koper yang akan mereka bawa. Esok orang tua Nick dan Nina akan kembali ke negara asal mereka. Mama Nina tengah mengemas oleh-oleh untuk cucunya–Hana, ketika memandang Nina yang terlihat lebih pendiam. Nina adalah anak yang paling heboh di keluarga nya. Setiap acara kumpul keluarga, tidak lengkap tanpa kehadiran si tukang banyol–Nina. Namun, belakangan Nina memang jadi lebih pendiam, apalagi sejak berada di tempat ini. Wajar saja mamanya sedikit cemas ketika meninggalkannya hanya berdua saja bersama Nick. "Bener kamu gak apa-apa kami tinggal, Nin? Kalau memang berat mama .... ""Gak apa-apa, Ma. Nina baik-baik aja kok. Alhamdulillah Nick kan juga sudah jauh lebih baik."Nina berusaha meyakinkan ibuny
"Nikah?" teriak Nina spontan.Ia masih berharap pemanggilan dirinya ke kantor sang bos yang tak lain adalah pamannya adalah berita baik. Nina masih berharap omnya itu akan memberi berita baik tentang kenaikan gaji atau kenaikan pangkat, minimal tugas baru yang tidak terlalu rumit. Namun, justru perintah paling absurd yang didengarnya. Tak pernah terbayangkan olehnya akan dijodohkan mendadak dengan salah seorang Team Leadernya–Nick. Tanpa dasar cinta pastinya. Ia hanya dijadikan umpan untuk menyelamatkan Nick–yang berkebangsaan asing–dari deportasi."Ayolah Nin, mana mungkin ada yang menolak dinikahi sama Nick."Ya, omnya itu memang benar, takkan ada wanita yang menolak Nick. Pria tampan peranakan Malaysia campur Inggris yang memiliki wajah ter-cute di kantor ini. Belum lagi posisinya sebagai pegawai khusus yang diimpor langsung dari luar, sudah mapan pula di usia yang baru akan menginjak kepala tiga. Namu
Saat Nina pertama kali bergabung di perusahaan yang dipimpin Om Sandy, Nick sudah ada di sana. Om Sandy tak pernah lelah bercerita kalau si Nick ini adalah seorang brilian yang berbaik hati mau tetap stay di perusahaan ini."Tau gak, Nin, padahal kantor pusat Asia udah minta dia balik. Tapi dia masih mau loh bantuin kita di sini. Ck ... ck, luar biasa memang itu orang." Telinga Nina mulai panas mendengar lagi pujian tentang Nick."Ya teranglah betah, orang gajinya jadi dobel, kan?" sindir Nina.Sejak awal dia memang telah mencium ketimpangan rezeki di kantor ini. Mentang-mentang Nick berstatus pekerja impor, gap penghasilan dia cukup jauh jika dibandingkan dengan karyawan lainnya."Ya beda lah, Nin. Dia banyak pasang badan tiap rapat besar, ngurusin masalah dengan provider, custumer. Nah, yang lain tiap gua suruh maju, pada ngibrit.""Ya ... Ya
Parkiran sudah tampak sepi di jam ini. Langit mendung menggiring awan kelabu membuat beberapa orang bergegas mencari perlindungan, agar serbuan hujan tak membasahi badan. Tetesan pertama mulai turun sebagai peringatan akan rombongan air yang akan menyerbu belakangan. Angin pun turut mendramatisir keadaan.Nina tak sempat menolak ketika tangan dingin Nick menarik jemarinya meninggalkan bangunan berlantai dua puluh tujuh itu. Setetes air dari langit sempat hinggap di tangan Nick yang tetap tegas menggenggam tangannya, membawa Nina menuju tempat parkir di mana Nick memarkir mobil HRV hitam miliknya. Nina bahkan tak mampu menghindar ketika Nick membukakan pintu di samping kemudi untuknya. Tanpa perlawanan berarti, ia masuk dan duduk. Kepalanya terlalu sibuk menafsirkan semua kejadian yang tak terbayangkan sebelumnya itu."So, kemane biasenye orang kat sini pegi dating?" tanya Nick yang sudah duduk di belakang kemudi."Ha?" Nin
Setelahnya, Nina tidur dan terbangun beberapa kali. Nina termasuk jarang sakit, apalagi sampai dirawat seperti ini. Wajar saja ia jadi risih saat pertama tidur di rumah sakit. Nick bilang ia menderita geger otak ringan. Namun, untuk memastikan tidak ada kerusakan serius untuk sementara ia harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Karena Nick yang menjaga malam ini, Nina memilih tetap memejamkan mata meski tidak sedang tertidur. Ia terlalu sungkan jika harus berbicara atau minta tolong pada pria itu.Om Sandy benar, pria itu benar-benar gila kerja. Tiap Nina terbangun, pasti Nick sedang berada di depan laptopnya. Ia berhenti hanya ketika akan salat, lalu kembali menghadap layar."Perasaan kerjaan kantor gue gak sebanyak itu deh. Eh, apa bagian gue aja yg kurang banyak, ya? Auah. Kebayang kan kalo lo jadi istrinya, istri pertamanya kerjaan, Nin. Gak ada harapan bahagia lo emang," gumam Nina saat Nick ke toilet.Saat Nick k
"Nicholas Adams Stewart, kek gak asing nama belakangnya. Di mana gue pernah baca, ya?" gumam Bia saat membaca formulir pengajuan nikah Nina. Semua berkas itu sudah selesai, hanya tinggal sidang mereka di kedutaan Malaysia esok hari.Nina memang terima bersih dalam urusan ini. Semua diurus oleh Nick dan keluarganya. Nina seakan tanpa beban, setelah keluar dari rumah sakit ia beraktivitas seperti biasanya."Auah," balas Nina cuek. Ia sedang mencari sesuatu di dalam lemari."Titus," cetus si kecil Hana. Keponakan kecilnya itu menyela sang Bunda saat sedang bermain puzzle di kamar Nina."Ho, iye, si tikus, pinter anak Bunda, nama tikus di film itu ya, Hana, hahaha," ejek Bia."Stuart itu woy!" sela Nina tanpa menoleh."Eh, salah. Oh, iya, kan yang main Twilight itu, ya, Nin. Wah, Tante Nina bakal semarga ama artis Hollywood loh Han."Hana yang tidak paham masi
Apa yang Nina lihat tadi malam membuatnya tak fokus seharian. Beberapa kali ia mengawasi Nick secara diam-diam, meyakinkan kalau yang dilihatnya kemarin tidaklah benar."Hey! Ngapain sih lo, Nin. Celingak-celinguk, hayo, ngintipin Nick, ya? Lo naksir, ya?" tanya Sisca–teman sekantornya.Orang di kantor memang belum tahu mengenai rencana pernikahan Nick dan Nina. Mereka sepakat akan memberi pengumuman setelah undangan selesai dicetak."Eh, Sis. Menurut lo, si Nick itu normal, gak?" tanya Nina saat mereka minum kopi di cafetaria samping kantor. Nick saat itu baru saja lewat."Nggak!" jawab Sisca asal."Nah ... Nah, bener kan kecurigaan gue. Lo pernah liat dia jalan ama cowok juga, ya?" tanya Sisca."Ya pernah lah, sama Pak Sandy, sama Dio, Bagas, semua temen kantor kita kan emang dominan cowok." Sisca menjawab cuek sambil memaikan ponselnya."Ih, bukan
"Bohong! Masa sih sodara? Beda gitu tampang kalian," balas Nina tak mau kalah telak."Seriously, sebenanye Daddy saye sebelum berkahwin ngan Mom, pernah menikah di Bali. Lepas tu die orang divorce. Justin, abang saye tu stay ngan Mak die di Bali. Kenape die blond, sebab Mak die from USA. Kite orang jumpe pun mase tu je, sebelumnye tak pernah." Nick dengan tenang menjelaskan. Ia justru merasa lucu karena tuduhan yang Nina beberkan berdasarkan foto itu."Oooh." Seluruh yang hadir mendengar penjelasan Nick dengan khidmad."Kalau tak pecaye, ni saye vcall jap." Nick kemudian membuat panggilan video dengan Justin–abangnya.Di sisi lain, Nina ingin siap-siap mau kabur, tapi dengan sigap Om Sandy menangkapnya. Nina pun terpaksa duduk di ujung sofa sambil berharap tubuhnya benar-benar tenggelam."Hay, bro. Are you busy?" tanya Nick ketika panggilannya dija