"Nikah?" teriak Nina spontan.
Ia masih berharap pemanggilan dirinya ke kantor sang bos yang tak lain adalah pamannya adalah berita baik. Nina masih berharap omnya itu akan memberi berita baik tentang kenaikan gaji atau kenaikan pangkat, minimal tugas baru yang tidak terlalu rumit. Namun, justru perintah paling absurd yang didengarnya. Tak pernah terbayangkan olehnya akan dijodohkan mendadak dengan salah seorang Team Leadernya–Nick. Tanpa dasar cinta pastinya. Ia hanya dijadikan umpan untuk menyelamatkan Nick–yang berkebangsaan asing–dari deportasi.
"Ayolah Nin, mana mungkin ada yang menolak dinikahi sama Nick."
Ya, omnya itu memang benar, takkan ada wanita yang menolak Nick. Pria tampan peranakan Malaysia campur Inggris yang memiliki wajah ter-cute di kantor ini. Belum lagi posisinya sebagai pegawai khusus yang diimpor langsung dari luar, sudah mapan pula di usia yang baru akan menginjak kepala tiga. Namun, tentu berbeda dengan Nina. Menurutnya, Nick adalah pria paling dingin dan paling angkuh yang pernah ditemuinya. Menurutnya, Nick berlaku seakan dia paling superior di kantor yang bergerak di bidang telekomunikasi itu. Diantara para kaum hawa yang mengidolakan Nick, Nina bukan salah satunya. Dan sekarang ia disuruh menerima pernikahan kontrak ini? Tentu saja Nina menolaknya mentah-mentah.
"Ya sudah, kenapa gak sama yang lain aja? Kan masih banyak yang single di kantor ini. Ada Puspa, Viny, Sisca, Fani ..."
"Tapi mereka bukan keponakan om." Om Sandy terlihat cemberut dan pura-pura merajuk. Lalu pria berpenampilan klimis itu berbalik kembali duduk di balik mejanya.
Nina hapal betul tabiat omnya itu. Mereka memang sudah akrab sejak dulu. Bahkan profesi Nina sekarang sedikit banyak karena pengaruh omnya itu. Kalau sudah begini, Nina jadi salah tingkah. Menerima juga tak mungkin. Meski telah lama menjomblo, menikah buat Nina terlalu sakral jika harus dijadikan aset bisnis seperti saat ini.
"Ah, tau ah. Nikah kok dijadiin kontrak kerja," cetusnya meninggalkan kantor sang Om.
Om Sandy tak mampu mencegah. Nina sebenarnya merasakan perih di hatinya. Ia tahu, saat ini usianya yang sebentar lagi menginjak angka dua puluh delapan sering membuat keluarganya risih. Hampir setiap pertemuan keluarga masalah tentang kesendiriannya selalu menjadi topik perbincangan. Nina biasanya menganggap itu seloroh, dan ia pun mentertawakannya. Namun, tentu saja hatinya perih.
Bukan karena tak ada yang mendekatinya, hanya saja luka lama di hatinya tertutup lapisan tipis yang basah. Sulit baginya untuk menerima benturan kuat seperti cintanya dulu.
***
"Nin, Mama dan Papa mau bicara," bisik Mama saat Nina mencuci piring selepas makan malam.Nina cuma mengangguk. Hatinya langsung bisa menebak, pastilah Om Sandy sudah membicarakan rencananya pada orang tua Nina. Dan Nina yakin Papanya tak akan setuju dengan rencana Om Sandy. Setidaknya Nina yakin akan ada satu orang yang membelanya–papanya.
"Nina, kamu pasti tahu kenapa Papa dan Mama ingin bicara dengan kamu malam ini?" Papa terlihat serius saat memulai percakapannya.
"Soal Om Sandy ya, Pa?" jawab Nina yakin.
"Benar."
"Tau nih Om Sandy. Dikiranya pernikahan itu main-main apa? Masak seenaknya aja jadiin Nina tumbal perusahaan. Ya ..."
"Kami setuju kok," potong Papa.
"Ha?" Nina bengong, tak percaya dengan apa yang barusan dikatakan papanya.
Nina menoleh ke arah Mama, memastikan apa yang didengarnya. Wanita berwajah teduh itu ikut mengangguk mengaminkan sambil tersenyum. Matanya pun terlihat berkaca-kaca, seakan mendengar berita yang membuatnya terharu. Hanya Nina yang tak percaya, ia kembali melirik Papa. Namun, sekali lagi pria itu mengulangi kata-katanya tegas. Seakan semua ini adalah perintah, tak dapat ditawar kembali.
"Pa, maksud Papa apa sih? Nick itu orang asing, Pa. Nina cuma dijadiin tumbal supaya dia gak dideportasi."
"Ya, awalnya Papa juga berpikir begitu. Tapi setelah kami bicara dengan Nick dan keluarganya ...."
"Tunggu... tunggu... Kalian udah bicara dan bertemu keluarga Nick? Oke, wait. Apa cuma aku yang gak tahu apa-apa tentang rencana ini?"
Nina kini merasa kesal, bagaimana mungkin ia ternyata orang terakhir yang tahu akan hal ini. Bagaimana mungkin orang tuanya, Nick, dan Om Sandy merencanakan masa depan tanpa sepengetahuan dirinya. Mata Nina mulai basah, pertahanan dirinya mulai runtuh, harga dirinya seakan dicabik-cabik saat ini.
"Ya, jujur saja saat Sandy mengusulkan ini, Papa langsung ingin bertemu dengan Nick. Ya, kita bicara, ngobrol panjang lebar, dan kita berhubungan dengan orang tuanya baru melalui video call aja. Mungkin sabtu ini orang tuanya flight ke sini."
Sekali lagi Nina merasa syock. Ternyata pembicaraan mengenai pernikahannya dengan Nick sudah sampai pada level yang cukup serius.
"Dan aku baru diberi tahu? Oke, siapa lagi, Bia tahu juga?" Mata Nina mulai memanas, ia makin merasa asing berada di tengah keluarganya sendiri.
Mama dan Papa saling berpandangan, mereka hanya bisa terdiam, tak menyangka reaksi Nina akan seperti ini.
"Na, dengar dulu. Mama dan Papa gak mungkin asal aja terima Nick sebagai calon suami kamu. Kami sudah pikirin ini matang-matang. Nick juga sebenarnya ..."
"Oh, kalau begitu aku berterima kasih sekali. Kalian sudah repot-repot merencanakan ini semua tanpa sepengetahuan aku." Pertahanan Nina pecah, air matanya kini tak terbendung hingga mengalir deras membasahi pipinya.
Mama mulai mendekati, berusaha merangkul putri kesayangannya itu. Tak ada niat untuk membuat hati Nina terluka.
"Nina, maafkan kami. Kami gak bermaksud menyakiti kamu. Semua demi kebaikan kamu juga, Sayang."
"Kebaikan Nina? Menikah dengan orang yang gak Nina suka apa itu kebaikan? Apa semua ini cuma untuk menutupi aib karena kalian takut punya anak perawan tua?"
"Cukup! Jadi karena kamu merasa tersakiti berarti kamu berhak membalas menyakiti kami?" Suara Papa kini meninggi, wajahnya memerah.
"Pa..." Mama mencoba menenangkan.
"Sudah, Ma. Padahal niat kita baik, kewajiban kita memilihkan jodoh yang baik buat anak."
"Pa, tenang dulu. Kalau sama-sama keras begini, Mama malah bingung." Wanita itu terduduk, asma kronis yang dideritanya mendadak kambuh.
Seharusnya ini menjadi berita baik buat keluarga ini. Namun, ternyata malah menjadi pemicu keributan dan perdebatan yang tiada habisnya. Mama Nina kemudian roboh, matanya terpejam.
"Mama!" Nina dan Papanya kaget karena mengira sang Mama pingsan. Mereka ikut terisak di samping tubuh wanita itu.
"Duh, kok malah kayak sinetron begini sih kalian. Vertigo Mama kambuh ini," keluh Mama sambil meringis.
"Ya sudah, kita ke rumah sakit aja, ya. Nin, siapin Mamamu! Papa keluarin mobil dulu." Papa langsung bergegas menuju garasi.
"Tunggu bentar, ya, Ma. Nina ambilin kerudung ama tasnya."
"Jangan lupa pensil alis ama lip balm Mama, ya Nin. Tadi abis salat belum sempat ngalis."
"Yaelah, Mama. Udah sakit begitu masih aja mikirin alis," sungut Nina.
Malam itu juga Mama terpaksa dibawa ke rumah sakit.
Saat Nina pertama kali bergabung di perusahaan yang dipimpin Om Sandy, Nick sudah ada di sana. Om Sandy tak pernah lelah bercerita kalau si Nick ini adalah seorang brilian yang berbaik hati mau tetap stay di perusahaan ini."Tau gak, Nin, padahal kantor pusat Asia udah minta dia balik. Tapi dia masih mau loh bantuin kita di sini. Ck ... ck, luar biasa memang itu orang." Telinga Nina mulai panas mendengar lagi pujian tentang Nick."Ya teranglah betah, orang gajinya jadi dobel, kan?" sindir Nina.Sejak awal dia memang telah mencium ketimpangan rezeki di kantor ini. Mentang-mentang Nick berstatus pekerja impor, gap penghasilan dia cukup jauh jika dibandingkan dengan karyawan lainnya."Ya beda lah, Nin. Dia banyak pasang badan tiap rapat besar, ngurusin masalah dengan provider, custumer. Nah, yang lain tiap gua suruh maju, pada ngibrit.""Ya ... Ya
Parkiran sudah tampak sepi di jam ini. Langit mendung menggiring awan kelabu membuat beberapa orang bergegas mencari perlindungan, agar serbuan hujan tak membasahi badan. Tetesan pertama mulai turun sebagai peringatan akan rombongan air yang akan menyerbu belakangan. Angin pun turut mendramatisir keadaan.Nina tak sempat menolak ketika tangan dingin Nick menarik jemarinya meninggalkan bangunan berlantai dua puluh tujuh itu. Setetes air dari langit sempat hinggap di tangan Nick yang tetap tegas menggenggam tangannya, membawa Nina menuju tempat parkir di mana Nick memarkir mobil HRV hitam miliknya. Nina bahkan tak mampu menghindar ketika Nick membukakan pintu di samping kemudi untuknya. Tanpa perlawanan berarti, ia masuk dan duduk. Kepalanya terlalu sibuk menafsirkan semua kejadian yang tak terbayangkan sebelumnya itu."So, kemane biasenye orang kat sini pegi dating?" tanya Nick yang sudah duduk di belakang kemudi."Ha?" Nin
Setelahnya, Nina tidur dan terbangun beberapa kali. Nina termasuk jarang sakit, apalagi sampai dirawat seperti ini. Wajar saja ia jadi risih saat pertama tidur di rumah sakit. Nick bilang ia menderita geger otak ringan. Namun, untuk memastikan tidak ada kerusakan serius untuk sementara ia harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Karena Nick yang menjaga malam ini, Nina memilih tetap memejamkan mata meski tidak sedang tertidur. Ia terlalu sungkan jika harus berbicara atau minta tolong pada pria itu.Om Sandy benar, pria itu benar-benar gila kerja. Tiap Nina terbangun, pasti Nick sedang berada di depan laptopnya. Ia berhenti hanya ketika akan salat, lalu kembali menghadap layar."Perasaan kerjaan kantor gue gak sebanyak itu deh. Eh, apa bagian gue aja yg kurang banyak, ya? Auah. Kebayang kan kalo lo jadi istrinya, istri pertamanya kerjaan, Nin. Gak ada harapan bahagia lo emang," gumam Nina saat Nick ke toilet.Saat Nick k
"Nicholas Adams Stewart, kek gak asing nama belakangnya. Di mana gue pernah baca, ya?" gumam Bia saat membaca formulir pengajuan nikah Nina. Semua berkas itu sudah selesai, hanya tinggal sidang mereka di kedutaan Malaysia esok hari.Nina memang terima bersih dalam urusan ini. Semua diurus oleh Nick dan keluarganya. Nina seakan tanpa beban, setelah keluar dari rumah sakit ia beraktivitas seperti biasanya."Auah," balas Nina cuek. Ia sedang mencari sesuatu di dalam lemari."Titus," cetus si kecil Hana. Keponakan kecilnya itu menyela sang Bunda saat sedang bermain puzzle di kamar Nina."Ho, iye, si tikus, pinter anak Bunda, nama tikus di film itu ya, Hana, hahaha," ejek Bia."Stuart itu woy!" sela Nina tanpa menoleh."Eh, salah. Oh, iya, kan yang main Twilight itu, ya, Nin. Wah, Tante Nina bakal semarga ama artis Hollywood loh Han."Hana yang tidak paham masi
Apa yang Nina lihat tadi malam membuatnya tak fokus seharian. Beberapa kali ia mengawasi Nick secara diam-diam, meyakinkan kalau yang dilihatnya kemarin tidaklah benar."Hey! Ngapain sih lo, Nin. Celingak-celinguk, hayo, ngintipin Nick, ya? Lo naksir, ya?" tanya Sisca–teman sekantornya.Orang di kantor memang belum tahu mengenai rencana pernikahan Nick dan Nina. Mereka sepakat akan memberi pengumuman setelah undangan selesai dicetak."Eh, Sis. Menurut lo, si Nick itu normal, gak?" tanya Nina saat mereka minum kopi di cafetaria samping kantor. Nick saat itu baru saja lewat."Nggak!" jawab Sisca asal."Nah ... Nah, bener kan kecurigaan gue. Lo pernah liat dia jalan ama cowok juga, ya?" tanya Sisca."Ya pernah lah, sama Pak Sandy, sama Dio, Bagas, semua temen kantor kita kan emang dominan cowok." Sisca menjawab cuek sambil memaikan ponselnya."Ih, bukan
"Bohong! Masa sih sodara? Beda gitu tampang kalian," balas Nina tak mau kalah telak."Seriously, sebenanye Daddy saye sebelum berkahwin ngan Mom, pernah menikah di Bali. Lepas tu die orang divorce. Justin, abang saye tu stay ngan Mak die di Bali. Kenape die blond, sebab Mak die from USA. Kite orang jumpe pun mase tu je, sebelumnye tak pernah." Nick dengan tenang menjelaskan. Ia justru merasa lucu karena tuduhan yang Nina beberkan berdasarkan foto itu."Oooh." Seluruh yang hadir mendengar penjelasan Nick dengan khidmad."Kalau tak pecaye, ni saye vcall jap." Nick kemudian membuat panggilan video dengan Justin–abangnya.Di sisi lain, Nina ingin siap-siap mau kabur, tapi dengan sigap Om Sandy menangkapnya. Nina pun terpaksa duduk di ujung sofa sambil berharap tubuhnya benar-benar tenggelam."Hay, bro. Are you busy?" tanya Nick ketika panggilannya dija
Sejak hari itu, jarak Nina dan Nick makin terasa jauh. Setiap berpapasan dengan Nick, Nina memilih menghindar. Hal tersebut cukup kontras terlihat. Gosip mengenai Nick perlahan memang mulai padam, seiring sebuah undangan pernikahan mendarat di meja masing-masing karyawan.Nina sama sekali tidak diberi tahu perihal ini sebelumnya. Untunglah ia menemukannya satu di meja security sebelum masuk kantor. Kebiasaannya nongkrong bersama bapak-bapak keamanan ternyata cukup berguna hari ini."Ha? Udah disebar hari ini? Mampus gue. Bakal diserbu gue hari ini, mending gua kagak masuk aja dah." Nina beringsut meninggalkan area perkantoran."Eh, Nin, lo mau ke mana?" tanya Sisca yang berpapasan dengannya di gerbang depan."Eh, itu, anu ... Hp gue ketinggalan. Mau balik dulu, ye. Oke, bye!" Nina buru-buru kabur sebelum Sisca menyadari kebohongannya.Dugaan Nina benar, belum sampai separuh jalan menuju ru
Pagi-pagi Bia sudah sibuk menarik paksa Nina untuk melakukan persiapan pranikah yang hanya tinggal menghitung hari. Nina beruntung, Om Sandy memberikan kelonggaran pekerjaan padanya. Jadi Nina bisa fokus mempersiapkan dirinya menjelang pernikahan. "Ogah! Duh, kenapa sih pake perawatan segala. Orang nikah formalitas juga, demi hubungan bilateral dua negara," tolak Nina saat Bia memaksanya ikut. Ia lebih memilih berhela-hela di kasur sambil bermain game di ponsel pintarnya. "Set dah, lo kira lo putri mahkota yang nikah karena menyelamatkan negara? Udahlah cepet! Jangan bikin malu lo, ya, Lele. Masak penganten muka gosong kayak pantat panci, kuku kayak manusia purba abis garukin tanah, parah lu emang. Itu lagi rambut, kapan terakhir lo keramas? Huwek, sumpah, ye, lo bener-bener bau ikan lele di empang tau gak?" komentar Bia kejam. "Tau, yang mulutnya mangap tiap lo boker, ya kan?" balas Nina cuek.