Tiga tahun berlalu dengan cepat. Rahman dan Karina sudah tumbuh menjadi anak balita yang aktif. Entah bagaimana keadaan Karina sekadang. Aku sendiri sudah tidak berniat untuk mencari tahu kabar Karina lagi. Yang penting aku masih rutin mengirim uang sebesar satu juta pada Rahmi setiap bulannya. Berbeda denganku yang tidak berniat untuk menemui anak kandung, Rahmi akan datang ke rumah ini sebulan dua kali untuk membersihkan rumah. Sekaligus agar bisa melihat Rahman dari jarak dekat. “Dia mirip banget sama Bapaknya.” Sering kali aku mendengar Rahmi bergumam tentang hal itu sendiri saat menatap Rahman yang asyik bermain hp. Dapat aku lihat sorot ketinduan yang teramat besar dari mata Rahmi. Tapi, hal itu sama sekali tidak masalah untukku. Karena rahasiaku selama ini aman. Biarlah Rahmi yang menjaga Rahman dari jauh. Aku sedang bersantai di depan TV menonton drama kesukaanku. Berbeda dengan saat Mas Adi ada di rumah ini, aku mencari muka padanya dengan cara bermain dengan Rahman. Jika M
Bukan hanya Mas Adi saja yang ada di bawah kendaliku. Tapi, juga kedua tetanggaku yang merupakan pasangan suami istri, Pak Mamat dan Bu Mamat. Aku melakukan cara yang sama seperti yang aku lakukan pada Mas Adi. Hanya karena ingin mereka bisa membantu dan mengantarku dengan mobil kemanapun aku pergi. Karena aku tidak mau membeli mobil jika tidak bisa mengendarainya sendiri. Mau minta sopir, takut di sindir Ibu dan Umi.Saat mobil tiba di halaman rumah sakit, aku turun sendiri lalu masuk ke dalam bangunan yang besar ini. Setelah bertanya pada suster yang lewat, aku masuk ke dalam lift tempat Nasya di rawat. Saat tiba di depan ruang rawat Nasya yang ada di kamar VIP, aku melihat ke dalam ruangan dari jendela pintu. Sepertinya tidak ada Mas Adi di dalam. Cklek Mbak Nada menolehkan kepalanya ke arahku dengan pandangan datar. Aku langsung masuk ke topik tujuan yaitu agar Mbak Nada tidak perlu menghalangi Mas Adi jika ingin pulang ke rumahku. Apalagi menelponnya saat Nasya sedang sakit. Ta
Sejak hari itu, sikap Mas Adi sudah sepenuhnya berubah padaku. Tanpa dia sadari setiap datang ke rumah, aku selalu memberinya minuman yang sudah di campur dengan bubuk putih pemberian dukun. Dengan harapan tentang keinginan baru Mas Adi bisa aku tebak dengan benar. Namun, hasilnya nihil. Mas Adi belum bisa kembali tunduk padaku. Yang ada Mas Adi justru menyibukan dirinya dengan bermain dengan Rahman. Untuk tiga hari ke depan, harusnya jatah Mas Adi untuk tetap berada di rumahku. Sayangnya setelah pulang kerja, dia justru mengirim pesan akan menjenguk Nasya dulu di rumah sakit. Tentu saja hal itu membuatku merasa sangat marah padanya dan Mbak Nada. Karena kini posisiku dan kakak maduku itu seolah di balik. Ini tidak boleh terjadi. Jika aku tidak bisa menggunakan cara yang lembut seperti dulu, sekarang aku harus menggunakan cara lain berupa ancaman.Tanganku gemetar saat mengirim banyak pesan pada Mas Adi yang tidak kunjung di balas. Beberapa hari lalu aku mengirimkan ancaman akan memb
"Apa saja yang kamu lakukan pada Karina hingga dia memutuskan kabur?" Cecarku lagi tidak memberikan Rahmi kesempatan untuk menjawab. Membayangkan jika Rahmi sudah sangat ceroboh hingga membuat Karina berhasil kabur membuatku ingin memukulnya saat ini juga."Jika sampai Mas Adi dan Mbak Nada tahu jika kita sudah menukar Karina dengan Rahman, ini semua jadi kesalahan kamu." "Tunggu dulu Mbak Rumi." Rahmi akhirnya angkat bicara juga. Raut wajah yang awalnya khawatir sudah berubah menjadi kesal."Bukannya Mbak Rumi sendiri yang mengijinkan saya untuk melakukan apapun pada Karina? Saya hanya menyuruhnya untuk ikut bekerja sebagai pengemis. Belum lagi Mbak Rumi yang tidak kunjung mengirimkan uang untuk kami. Jadi, saya terpaksa menyuruh Karina untuk bekerja lebih keras lagi." Jawab Rahmi tidak mau kalah. Bulan ini aku memang belum mengirimkan uang untuk Rahmi lagi. Sudah dua bulan ini aku terpaksa berbohong pada Rahmi jika usaha Mas Adi saat ini sedang mengalami kesulitan. Sehingga aku ti
Hari yang aku tunggu akhirnya tiba juga untuk memberikan racun itu ke makanan Mbak Nada. Ibu mengadakan acara makan malam di rumahnya. Sejak pagi aku sudah mengajak Rahman untuk pergi lebih dulu ke rumah Ibu. Dengan membawa botol kecil yang di berikan oleh Bejo saat ia mengantar paket sebagai ojek online. Mengabaikan Mama yang sejak kemarin protes tidak setuju dengan rencanaku yang ia nilai terlalu berbahaya. Aku sudah tidak peduli lagi. Yang ada di pikiranku hanya bisa memiliki Mas Adi seutuhnya. Dengan cara menyingkirkan Mbak Nada dari sisi suami kami.“Nanti aku disana main sama siapa Ma?” Tanya Rahman yang duduk di sampingku. Anak itu tampak cemberut karena aku mengajaknya ke rumah Ibu. Rahman memang tidak bisa akrab dengan semua saudara sepupunya. Karena mereka juga mengajak main Nasya bersama. Berbeda jika tidak ada Nasya, Rahman baru mau bermain dengan saudara sepupunya.“Makanya kamu harus bisa mengambil hati mereka Rahman. Kenapa malah memilih menjauh? Padahal ada Alfian dan
Sekali lagi aku beruntung karena Mas Adi dan Mbak Nada tidak bisa mengendus jika kecelakaan yang mereka alami karena perbuatanku. Bahkan begitu kembali ke rumah, Mas Adi sudah mengajakku, Rahman dan Mama untuk makan di restaurant luar. Kami benar-benar seperti keluarga rukun pada umumnya. Tanpa ada yang tahu jika aku hanya istri kedua Mas Adi. Begitu keluar dari restaurant aku terus bergelayut manja pada lengan Mas Adi yang masih menggendong Rahman. Malam harinya, Mas Adi mengajakku untuk pergi ke rumah Ibu. “Kita ada acara makan malam lagi Mas? Kok nggak di umumin di grup sih?” Mas Adi menggelengkan kepalanya. Membuat perasaanku jadi tidak enak. “Nggak kok. Bukan makan malam keluarga besar. Cuma syukuran kecil-kecilan karena Nada sudah sembuh. Selain itu, ada yang ingin Abah bicarakan dengan kita. Hanya nasihat-nasihat tentang poligami.” Terang Mas Adi yang membuat perasaanku tetap tidak enak. Saat Mas Adi tengah mandi sore ini, aku masuk ke dalam Rahman. Seperti biasa bocah itu a
POV Orang Ketiga Barang dagangan milik Nada sudah di angkut lebih dulu menuju rumah mereka. Begitu juga dengan lima koper besar yang berisi baju dan perlengkapan milik Adi dan Nada beserta kedua anak mereka. Hari ini Adi dan Nada memutuskan untuk pulang ke rumah karena Nada tidak nyaman sering bertemu dengan Galang di lingkungan tempat tinggal ini. Kepindahan ini juga di lakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan warga yang lain. Agar Galang tidak tahu dan tidak mengejarku lagi.“Jangan lupa sering mampir kesini juga. Mama dan Papa akan rindu dengan kalian.” Nada menganggukan kepalanya lalu kembali memeluk tubuh sang Mama. Beberapa bulan tinggal di rumah orang tuanya membuat Nada sangat tergantung dengan sang Mama. Karena Bu Tiah kerap kali membantu Nada untuk menjaga Nasya dan Karina.Pak Jaya sudah memeluk tubuh kedua cucunya. Pria paruh baya itu juga bisa menerima kehadiran Karina yang akan di rawat oleh Adi dan Nada. Menyanyangi gadis kecil itu meskipun tidak terlahir dari rah
“Oh Nak Galang. Maaf kalau Tante lupa sama kamu. Baru selesai makan di warung sebrang ya?” Galang menganggukan kepalanya. Ia terus melirik ke rumah di belakang Bu Tiah jika ada tanda-tanda kehadiran Nada. Tanpa menyadari jika Bu Tiah sedang memperharikan raut wajahnya dengan teliti.“Ya sudah saya masuk dulu ya Nak Galang. Habis ini mau masak buat sarapan.” Tanpa menunggu tanggapan pria itu, Bu Tiah sudah melangkah menuju rumahnya. Mama Nada itu tidak ingin memberikan kesempatan pada Galang untuk mengorek informasi darinya tentang Nada.Ia hendak memanggil Mama Nada itu. Tapi, urung di lakukan karena takut jika Bu Tiah curiga dengan pertanyaannya tentang Adi dan Nada. “Seharusnya aku tadi nggak perlu basa-basi. Langsung tanyakan tentang Adi dan Nada saja pada Tante Tiah.” Gumam Galang kesal pada dirinya sendiri. Karena sudah gagal mendapatkan informasi dari Bu Tiah.Kehidupannya di komplek perumahan ini jadi lebih hampa karena sudah beberapa hari tidak bertemu dengan Nada. Keinginanny