“Selera kamu masih belum berubah, Sayang. Masih sama seperti dulu. Seperti yang ada di dalam ingatanku,” ucap Alice saat mendengar pesanan Rafael.
Rafael mencoba menikmati steak di hadapannya dan pikirannya melayang saat sedang makan steak berdua dengan Kirei. Ketika sedang makan di dalam pesawat saat perjalanan menuju Bora-Bora, tempat honeymoon mereka, Rafael teringat betapa lahapnya Kirei saat menyantap steak itu. Tapi sekarang dirinya malah makan steak berdua dengan Alice! Apakah salah?
Kenapa Rafael semakin bingung dengan apa yang dirinya lakukan? Kemana logika dan akal sehat yang selama ini selalu dibanggakannya? Kenapa sejak kedatangan Alice otaknya menjadi tumpul seperti ini? Kenapa kehadiran Alice seolah mengacaukan pikiran Rafael? Bukankah Rafael mencintai Kirei? Lalu kenapa sekarang menjadi ragu?
Rafael tersentak saat baru teringat satu hal. Disaat istrinya baru keluar dari rumah sakit dan dirinya sebagai seorang suami malah menikmati maka
Kirei menarik nafas lelah setelah mobil Rafael melesat pergi keluar dari halaman rumah. Perhatian Rafael benar-benar sudah teralihkan hanya kepada Alice, buktinya Rafael bahkan lupa bahwa hari ini adalah waktu Kirei untuk check up rutin.Tapi Kirei tidak mengeluh. Bukankah dirinya memang hanya pelarian saja? Jadi tidak bisa berharap banyak jika pemeran utamanya sudah muncul kan? Kirei mengusap pipinya yang terasa basah, menyesali kebodohannya karena terlanjur memberikan hatinya pada Rafael.Padahal baru dua malam lalu Kirei mengucapkan kata cinta pada suaminya, tapi siapa yang menyangka kalau malam berikutnya mereka akan berbicara mengenai perceraian! Sungguh miris sekali nasibnya!Jam 10 tepat, Kirei sedang bersiap untuk pergi ke rumah sakit saat Reynard tiba-tiba saja muncul di rumahnya. Rumah Rafael lebih tepatnya.“Hei, Rey, ada apa?”“Ada apa? Mengantar kamu ke rumah sakit lah! Kakak iparku jadwal check up kan hari ini?&rdquo
Alice memutar otak, sudah hampir seminggu di Jakarta dan belum ada hasil yang maksimal. Rafael masih terasa begitu dingin. Orangtuanya apalagi! Alice harus bisa menyingkirkan Kirei lebih dulu. Jika tidak pikiran Rafael pasti tidak bisa fokus padanya. “Ibu Inara!” “Iya saya, Sus.” “Wali anda yang bernama nyonya Kirei apakah bisa datang kesini?” “Untuk apa, Sus?” “Karena kami memerlukan tanda tangan nyonya Kirei untuk melakukan prosedur pengobatan selanjutnya. Pihak rumah sakit memerlukan persetujuan dari pihak wali.” “Apakah dokter Rafael ada? Bisa diwalikan kepada menantu saya saja.” “Dokter Rafael sedang tidak ada di tempat karena ada jadwal operasi.” Mama Inara meremas tangannya dengan cemas. Justru dirinya tidak ingin Kirei tau kalau dirinya melakukan pengobatan jantung, karena takut membuatnya khawatir dan membahayakan kondisi bayinya, hanya Rafael yang tau. Tapi sekarang malah memerlukan tanda tangan wali! Sekarang harus bagaimana? Tunda sajalah! Tunggu sampai Rafael bisa
Alice memutuskan datang ke rumah Rafael saat pria itu sudah berangkat ke rumah sakit, tujuannya saat ini adalah untuk menemui Kirei.“Nyonya, ada yang datang mencari nyonya di bawah.”“Siapa?”“Namanya Alice.”Kirei tidak menyangka kalau Alice akan datang ke rumah ini.“Saya akan kesana sebentar lagi.”“Baik.”Kirei melangkah perlahan menuju ruang tamu. Alice menunggu dengan gayanya yang anggun dan angkuh.“Alice? Ada apa?”“Ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu.”“Apa mengenai Rafael?”“Memangnya ada hal lain selain itu?”Kirei berusaha tersenyum mendengar nada ketus dari wanita di depannya.“Kenapa kamu tidak ingin melepas Rafael?”“Aku sudah melepas Rafael dan hanya tinggal menunggu surat cerai darinya. Jika Rafael sudah memberiku surat cerai, aku pasti aka
Pagi ini semenjak baru bangun tidur Kirei merasa perutnya sedikit tidak nyaman. Tidak sakit. Tidak kram. Hanya tidak nyaman saja. Entah kenapa. Kirei pun tidak bisa menjelaskannya. Setelah Rafael berangkat ke rumah sakit, Kirei berusaha duduk di ruang keluarga dan menarik nafas dalam-dalam.Berusaha menenangkan diri. Berharap dengan begitu kondisinya menjadi lebih baik. Tidak berhasil! Kirei masih merasa tidak nyaman membuatnya cemas sendiri, takut bayinya kenapa-napa, karena selama beberapa hari ini memang pikiran Kirei sedang begitu kacau jadi takut berdampak buruk pada bayinya.Terpaksa Kirei meminta bantuan supir untuk mengantarnya ke rumah sakit dan disana tanpa diduga Kirei bertemu dengan mamanya yang mengenakan pakaian pasien dan sedang didorong di kursi roda oleh seorang suster. Tampak begitu lemah dan pucat. Sangat jauh berbeda dengan yang Kirei temui kemarin saat makan siang.“Ma!”“Kirei! Kamu kenapa kesini, Nak?” tanya mama Inara panik, karena pada akhirnya usaha untuk men
Kirei memaksakan diri turun dari ranjang. Dirinya ingin menemui mamanya. Tidak peduli meski tubuhnya masih begitu lemah. Kirei begitu khawatir dengan kesehatan mamanya yang tampak jelas kurang baik. Kirei berusaha menyangga tubuhnya di tiang infus yang mengikuti langkahnya.“Nyonya, anda mau kemana? Anda harus banyak istirahat,” tegur suster jaga khawatir. Bagaimana tidak khawatir kalau istri dari anak dokter si pemilik rumah sakit tempatnya bekerja berkeliaran begitu saja dengan tubuh lemah? Nanti dirinya pasti akan disalahkan kalau terjadi sesuatu!“Saya harus menemui Mama saya, Sus. Dimana kamar pasien atas nama ibu Inara?”Suster masih berusaha membujuk Kirei yang diabaikan oleh wanita itu. Tidak peduli apapun bujukan suster, Kirei tetap bersikeras hendak menemui mamanya.“Ibu Inara ditempatkan di ruang VIP Tulip,” jawab suster jaga pada akhirnya karena dirinya tidak juga berhasil membujuk Kirei.“Terima kasih.”Kirei melangkah perlahan, meski tidak terlalu jauh tapi tetap saja me
Alice menggigit kukunya dengan gelisah, dirinya tidak menyangka kalau tindakannya menyebabkan kejadian sampai separah ini. Sekarang harus bagaimana? Tapi bukankah bagus jika Kirei keguguran? Karena dengan begitu Rafael tidak akan ragu lagi untuk kembali padanya!Rasa takut Alice sirna begitu saja saat menyadari kemungkinan itu. Ya, seharusnya sekarang akan menjadi lebih mudah baginya untuk kembali merebut Rafael.Dua hari kemudian…..Kirei merapikan pakaiannya, hari ini dirinya sudah bisa keluar dari rumah sakit. Kirei memutuskan untuk langsung kembali ke rumah mamanya. Rasanya sudah tidak perlu lagi kembali ke rumah Rafael. Penghubung dirinya dengan Rafael pun sudah kembali ke pangkuan PenciptaNya. Meski sedih tapi Kirei berusaha menerima dan mengikhlaskannya.Kirei tidak bisa berbuat apapun kalau memang itu sudah menjadi kehendakNya bukan? Kirei mengusap airmata yang masih sering mengalir turun begitu saja saat mengingat bayinya. Pintu kamarnya terbuka dan tampak wajah Reynard. Masi
Alice memulas lipstick merah di bibirnya hingga tampak begitu menggoda. Setelah resmi bercerai dari wanita sialan itu, Alice malah merasa kalau Rafael semakin menjauh darinya membuat dirinya kesal.Apalagi yang harus dilakukannya sekarang? Menggoda Rafael? Bukankah biasanya pria mudah tergoda oleh kemolekan tubuh seorang wanita? Ya, itulah yang akan Alice lakukan hari ini! Alice yakin kalau malam ini Rafael tidak akan pernah bisa menolak dirinya lagi! Alice akan berusaha agar Rafael kembali kedalam pelukannya. Apalagi pria itu sudah resmi menjadi duda!Alice melangkah anggun menuju ruangan Rafael, melewati asisten Rafael begitu saja, tidak peduli meski dilarang masuk. Rafael mengeluh kesal saat melihat Alice kembali muncul, apakah ucapannya kemarin kurang jelas hingga Alice masih tetap datang kepadanya berulang kali?“Untuk apa lagi kamu kesini, Alice? Apa kamu belum puas menghancurkan rumah tanggaku dengan Kirei? Aku mohon tolong jangan ganggu aku lagi!&r
“Vanya!”Rafael memanggil nama Vanya, mencari perhatian gadis itu.“Tolong temani Kirei dulu untuk beberapa waktu terakhir ini.”“Emang dokter mau kemana?”“Kamu pasti belum tau. Saya dan Kirei udah pisah.”“Pisah? Maksudnya?”“Cerai. Divorce. Saya duda dan Kirei janda. Jelas?” jawab Rafael lelah.“Kok bisa?”“Banyak hal yang terjadi beberapa waktu terakhir.”“Pantas Kirei gak bisa saya hubungi beberapa minggu kemarin! Ternyata lagi ada masalah! Terus gimana dengan bayi kalian?”“Kirei keguguran,” lirih Rafael namun tetap bisa mengagetkan Vanya hingga gadis muda itu ternganga kaget.“Hah? Dokter lagi bercanda?”“Kamu pikir saya bakal bercanda untuk hal kayak gitu?”“Bener juga! Sorry. Saya turut berduka cita, Dok.”“Tolong jang