Tak terasa tinggal menghitung hari lagi Renata lahiran. Ia sudah tidak sabar menantikan hari itu. Hari dimana ia bertemu dengan anaknya yang amat ia cintai sejak dari dalam kandungan. Renata sedang duduk sendirian di depan rumah Emak Suci. Sesekali ia mengusap perut buncitnya yang tiba-tiba terasa sakit. Entah apa yang salah, padahal ia sama sekali tak salah makan. ''Kenapa dengan perutku? Kenapa sakit sekali?'' keluh Renata. ''Rena, kamu kenapa, Nak?'' tanya Emak Susi yang kebetulan baru pulang mengantarkan pesanan ke rumah tetangga. ''Perutku sakit sekali, Mak. Padahal Rena nggak makan sesuatu yang aneh,'' ucapnya sambil sedikit merintih. ''Mungkin kamu akan melahirkan, Nak.'' ''Tapi menurut bidan aku lahiran masih beberapa hari lagi, Mak,'' ucapnya. ''Bidan kan hanya manusia, prediksinya itu belum tentu benar. Lebih baik sekarang kita ke klinik saja. Kamu tunggu sebentar ya, Emak mau minta pertolongan tetangga untuk mengantarkan kita.'' Lalu Emak Susi pergi ke rumah tetangga
Alex yang hendak pulang, langsung berputar arah menuju ke rumah sakit setelah mendapat telepon dari Bi Marni. Sesampainya di rumah sakit ia bertanya kepada satpam letak ruang persalinan. Dengan perasaan khawatir Alex pergi menuju ke ruang persalinan. Ia sungguh khawatir mendengar istrinya akan melahirkan di usia kandungannya yang masih tujuh bulan.''Bi, bagaimana keadaan istri saya?'' Alex mendekati BI Marni yang sedang duduk di depan ruang persalinan.''Ibu Laura baru akan melahirkan, Tuan,'' ucap Bi Marni.''Saya sebagai suaminya harusnya mendampinginya, Bi,'' ucap Alex lalu ia mendekati pintu ruangan itu. Baru juga ia akan membuka pintu, ia mendengar tangisan bayi.''Sepertinya anak Tuan sudah lahir,'' ucap Bi Marni.Alex berucap syukur atas kelahiran anaknya. Namun, ia sedikit kecewa karena anaknya lahir tanpa di temani olehnya. Pasalnya setiap ibu melahirkan pasti ditemani oleh suaminya. Bahkan ada yang anaknya tidak keluar juga jika belum ada ayahnya di samping ibunya.Tak lama
Alex sudah mendatangi rumah sakit tempat dokter kandungan yang sebelumnya memeriksa perkembangan kehamilan istrinya. Ternyata dokter tersebut sudah resign dan di gantikan dengan dokter baru. Saat keluar dari ruangan dokter kandungan, tak sengaja Alex berpapasan dengan suster yang akan masuk. "Tunggu, Sus. Apa sebelumnya Suster yang menjadi suster pendamping dokter Gio? Saya mau sedikit bertanya," ucap Alex. ."Boleh, Pak. Mau tanya apa?" "Apa Suster tahu salah satu pasien yang bernama Laura. Dia itu istri saya, dan katanya dulu selama pemeriksaan selalu ke dokter Gio," kata Alex. 'Jadi ini suaminya Bu Laura. Sayang sekali tampan gini istrinya nakal,' batin suster itu. "Benar, Pak. Memangnya kenapa ya? Oh iya apa istri bapak sudah melahirkan?" "Sudah, Sus. Maka dari itu saya bingung. Istri saya itu harusnya hamil baru tujuh bulan, tapi kata dokter yang menanganinya bersalin usia kandungan istri saya memang sudah sembilan bulan," ujar Alex dengan sedikit bingung. "Maaf, Pak. Sa
Terlihat seorang gadis cantik yang hendak berangkat kerja. Renata Viantika yang biasa di panggil Rena, merupakan tulang punggung keluarganya. Ibunya sakit-sakitan sejak satu tahun yang lalu. Sedangkan ayahnya sudah meninggal dunia. Renata harus membantu membiayai sekolah kedua adiknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.Tak sengaja Renata melihat seseorang yang tergeletak di pinggir jalan. Ia menghentikan sepedanya lalu mendekati lelaki itu. Ternyata itu seorang lelaki paruh baya. Di wajahnya banyak luka lebam dan di perutnya masih ada pisau yang menancap."Astaghfirullah'aladzim. Pak, tolong bangun!" Renata menepuk pelan bahu lelaki itu. Namun, lelaki itu tak kunjung bangun.Renata mencoba mencari bantuan. Ia menghadang sebuah mobil yang kebetulan sedang melintas. Untung saja pengendara mobil itu menghentikan mobilnya. Seorang lelaki tampan membuka kaca mobilnya, menatap Renata dengan tajam."Ngapain kamu halangi jalan saya?" tanya lelaki itu dengan ketus."Maaf, Kak. Saya hany
Sejak kemarin Renata hanya berdiam diri di dalam kamar saja. Alex mengunci kamarnya sehingga dirinya tak bisa keluar. Entah apa lagi yang bisa Renata lakukan agar bisa pergi dari rumah itu. Renata mendengar pintu kamarnya terbuka. Ia berpura-pura tidur. Takutnya yang datang itu Alex dan meminta untuk di layani. Sejujurnya Renata tak mau melakukan zina seperti yang kemarin ia lakukan atas paksaan Alex. Benar saja, Renata mendengar suara Alex. Langkah kakinya semakin mendekat. Sebisa mungkin Renata terus memejamkan matanya agar Alex percaya bahwa ia sedang tidur. Kini Renata merasakan tangan Alex membelai wajahnya. Tubuhnya seketika menegang takut kejadian kemarin terulang lagi. ''Tuan .... '' Terdengar suara seseorang dari depan pintu. Alex menggeram kesal karena baru saja akan bersenang-senang tetapi ada yang mengganggu. Ia menoleh ke belakang melihat Bi Marni yang sedang berdiri di depan pintu yang kebetulan tak tertutup. Bi Marni menunduk takut melihat tatapan tak bersahabat yan
Renata menatap punggung Bi Marni yang semakin menjauh dari pandangan matanya. Bergegas ia memasuki kamar pembantu yang ada di hadapannya. Kamar yang sempit tetapi cukup nyaman. "Tak apa aku tidur disini. Semoga saja Tuan Alex tak lagi menyiksaku karena sekarang sudah pisah kamar, " pikirnya. Renata menata pakaian miliknya ke dalam lemari kecil yang ada di kamar itu. Kemudian membaringkan tubuhnya sejenak untuk beristirahat. Ia pun tertidur karena rasa kantuknya tak bisa ditahan lagi. Tok tok tok Gedoran pintu Yang cukup keras mengusik ketenangan Renata yang sedang tidur. Ia mengerjapkan matanya, bergegas turun dari atas ranjang. Mendekati pintu kamar lalu membukanya. Terlihat sorot mata tajam dari seseorang Yang kini berdiri di depan pintu. "Tuan Alex, kenapa mengetuk pintu begitu keras?" Tanya Renata. "Siapa Yang menyuruhmu untuk bersantai di dalam kamar? Cepat kerjakan pekerjaan rumah!" pinta Alex. "Saya bukan pembantu, Tuan. Biar bagaimana pun saya istri Tuan." Entah ke
Renata menemui Alex setelah melihat orang suruhan yang tadi membawanya kini sudah pergi. Tatapan mata tajamnya tak teralihkan dari Alex. Jujur Renata begitu kecewa karena Alex tidak menepati janjinya."Tuan Alex, kenapa Tuan tega membohongiku?" tanya Renata dengan sedikit emosi.''Apa maksudmu?'' tanya Alex yang tak mengerti.''Katanya Tuan Alex akan membiayai semua kebutuhan ibu dan adik-adikku. Tetapi nyatanya mereka terlantar, bahkan adik-adikku harus ngamen agar bisa bertahan hidup. Kenapa Tuan Alex jahat sekali?'' Renata tak bisa membendung lagi air matanya yang menetes begitu saja.Alex tertawa senang melihat Renata yang menangis seperti itu. Derita yang Renata alami saat ini belum apa-apa di bandingkan dirinya yang harus kehilangan ayahnya. Melihat Renata menderita tentu akan membuat Alex semakin puas.''Ini baru permulaan Rena. Penderitaanmu belum berakhir. Aku pastikan kamu akan menangis saat melihat keluargamu mati kelaparan,'' ucap Alex sambil memperlihatkan seringai jaha
Sudah tujuh hari ini Renata tinggal di rumah Bu Sukma sekaligus ikut tahlilan mendoakan ibu dan kedua adiknya. Alex pun membiarkan Renata tanpa mengusiknya karena masih berduka. Hari ini Renata memutuskan untuk kembali ke rumah Alex. Biar bagaimana pun ia masih terikat kontrak. "Bu, Rena pamit pulang dulu ya." Renata menjabat tangan Bu Sukma lalu mereka berpelukan. "Hati-hati, Nak. Jangan lupa sering berkunjung," ucapnya sambil mengusap pelan punggung Renata. Renata pergi dengan menaiki ojek. Beruntung jalanan tak macet sehingga ia bisa sampai lebih cepat. Tak lama ojek yang ia naiki sampai di depan gerbang kediaman Alex. Renata menghirup napasnya dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Jika saja tak terikat kontrak, Renata malas kembali ke rumah itu. "Tahu pulang juga kamu," sindir Alex yang kini sedang duduk di ruang keluarga. Renata tak menanggapi perkataan Alex. Ia berlalu begitu saja karena masih merasa kecewa dengannya. Alex yang melihat sikap berani Renata, tentu amarahnya me