BAGIAN 53
POV AUTHOR
INTEROGASI
Di dalam ruang intergosi, sedang duduk berhadapan Ina dan seorang penyidik bernama Jaka. Sudah hampir dua jam mereka saling berhadap-hadapan, tetapi Ina masih saja bungkam ketika dipaksa untuk mengakui kesalahannya.
“Jadi, masih tidak mau mengaku juga?!” Jaka Geram. Sejak sore hingga malam tiba pun, wanita di depannya tak juga mau membuka mulut. Bolak-balik dia keluar masuk ke ruangan berukuran 3 x 2,5 meter ini demi meredam jengkelnya. Namun, usaha Jaka tetap saja gagal. Polisi berusia 36 tahun itu masih belum bisa menaklukkan Ina.
Ina tetap diam. Dia sudah berjanji untuk tak mau buka mulut. Sampai mati pun dia enggan mengakui jika opor buatannya sudah dibubuhi potassium sianida yang dia beli secara onli
BAGIAN 54POV ANWAR Pukul setengah dua pagi aku tiba bersama Andang, Dedi—sopir peternakan, dan pengacara kepercayaanku—Budiman. Mobil SUV silver metalik yang dikemudikan Dedi langsung berhenti di depan rumah sakit Bhayangkara, di mana jenazah Lia sedang diamankan. Empat jam perjalanan, sedikit pun mata tuaku tak bisa terpejam. Hatiku rasanya seperti diiris sembilu hari ini. Cobaan datang menerpa secara bertubi-tubi. Bisnisku kacau, istriku ketahuan memberikan racun ke dalam makananku, dan kini aku harus menghadapi kenyataan bahwa anak lelaki semata wayangku telah membunuh adik sambungnya sendiri. Belum lagi dengan misteri hilangnya Risti yang bagai ditelan oleh bumi. Menurut polisi setempat yang memeriksa Bayu, anakku belum juga mau memberikan keterangan. Sedangkan Tika yang katan
BAGIAN 55POV ANWAR “Adakah keluarga dari saudari Lia Utami Latuheru?” Sebuah suara tiba-tiba menyeruak. Berasal dari seorang pria dengan seragam serba hijau dan APD lengkap. Pria itu kini berdiri di ambang pintu seraya memegang kenop pintu dengan tangan kanan bersarung karet warna oranye. Aku langsung bangkit dari kursi tunggu di depan kamar jenazah. Kutatap lekat-lekat pria berkacamata goggle, masker medis, dan penutup kepala berwarna hijau tersebut. “Saya bapaknya,” kataku dengan penuh harap cemas. “Proses autopsi sudah selesai. Kami akan memandikan jenazahnya. Bisakah Bapak masuk ke dalam?” tanya pria itu dengan suara yang santun. 
BAGIAN 56POV ANWAR “Dewa, tolong berikan ponselmu kepada istriku,” pintaku dengan napas yang kini memburu. Ada rasa geram yang membara dalam dada. Iba itu kini surut. Malah berganti dengan sakit hati tak tertandingi. Jadi … Lia dan Bayu telah menikah? Di belakangku? Tanpa sepengetahuanku? Kapan? Di mana? Sungguh biadab mereka bertiga ternyata! Kamera ponsel Dewangga pun teralih ke atas langit-langit. Terdengar suara pria muda itu tengah berbicara dengan bahasa yang sangat halus pada Ina. “Bu, Om mau bicara lagi. Silakan, Bu.”&nb
BAGIAN 57POV ANWAR Terburu aku meninggalkan kamar jenazah. Setelah keluar dan kembali menutup pintunya rapat-rapat pun, hawa menyeramkan masih kental menyelimuti. Tak hentinya tengkuk merinding, meski aku telah berhadapan dengan banyak orang. “Bagaimana, Bos?” tanya Ilham sambil bangkit dari duduknya. “Akan dimandikan oleh petugas perempuan. Aku serahkan pada mereka. Sekarang, aku mau menemui Bayu.” Aku berucap tegas. Semua orang yang semula duduk, sontak bangkit dan mengelilingiku. “Budiman, ikut aku ke IGD. Bayu masih di sana untuk pemulihan luka tembak,” ucapku beralih seraya menatap B
BAGIAN 58POV Anwar “Kenapa sampai bisa masuk ke RSJ, Bay?” tanyaku dengan suara yang semakin lirih dan merendah. Kuusap dahi Bayu yang tampak penuh peluh. Tangisnya pun menderu lagi. Tangannya sampai terlihat gemetar bila kuamati baik-baik. Bibir Bayu malah menggigil. Belum mau menjawab. Suara isaknyalah yang mendominasi. “Ceritakan pada Papa, Bay. Papa tak akan marah atau menyalahkanmu,” ucapku lagi masih mengusap dahi dan pipinya. “J-janji?” tanyanya sambil mengerling. Aku mengangguk. Mataku menatap bi
BAGIAN 59POV ANWAR Usai melampiaskan kegeramanku pada Bayu, gegas kutinggalkan anak itu dalam keadaan yang masih menangis pilu. Entah mengapa, rasa kasihan di dalam benakku sudah habis. Budiman yang ternyata menunggu di dekat pintu tampak kaget saat melihatku keluar. Mukanya langsung pias. Terlebih ketika suara tangis Bayu makin terdengar dari luar sini, meski pintu sudah ditutup. “Bos,” panggil Budiman. “Sudah. Jangan ikut campur. Ayo, temani aku ke RSJ,” ucapku sambil berjalan mendahuluinya. Budiman terdengar meng
BAGIAN 60POV ANWAR Setelah diam agak lama, aku akhirnya menyahut Budiman, “Lihat nanti.” Budiman kulirik mengangguk kecil. Bibirnya mengatup erat. Kutahu bahwa dia tak kuasa untuk mengutarakan sanggahan. Dia tahu betul watakku seperti apa. Mobil terus berjalan. Membelah jalanan yang diterangi oleh lampu-lampu jalanan. Pekatnya langit dini hari tak membuat suasana jadi mencekam. Malah terkesan syahdu akibat terangnya cahaya lampu yang terpasang di sepanjang tepian jalan. Hatiku mulai gelisah. Was-was membelenggu. Tak siap rasanya untuk berhadapan dengan Risti, menantuku. Bagaimana … bila kondisinya m
BAGIAN 61POV ANWAR Sementara mas-mas perawat IGD itu membantu kawannya yang diduga pingsan untuk berbaring di lantai, aku malah bergegas mencari di mana ruang isolasi dua tempat di mana Risti dirawat. Kakiku melangkah secepat kilat. Bunyi langkah pun juga terdengar di belakang sana. Saat kulihat, ternyata ada Budiman. Dia malah menyusulku. “Bos, mau ke mana?” teriaknya sambil berusaha menyejajarkan langkah di sampingku. “Cari ruang isolasi dua!” perintahku sambil celingak-celingkuh ke kiri dan ke kanan. “Itu!” Budiman setengah berteriak. Napasny terengah. Dia menunjuk pintu di depan sana.