Jalan-jalan di mall adalah kegiatan sederhana. Apalagi tanpa berbelanja. Hanya membeli makanan ringan. Itu saja. Tidak lebih, tapi tampaknya membuat Hazel sangat bahagia. Padahal tindakan yang dilakukan sangatlah sederhana.“Kau senang hari ini jalan-jalan?” Sergio menatap Hazel yang tampak riang.Hazel mengangguk antusias, dengan senyuman di wajahnya. “Ternyata di balik sifatmu yang menyebalkan, otakmu yang mesum, kau masih memiliki sifat sedikit baik.”Sergio tersenyum samar. “Kita kembali ke hotel sekarang. Ini sudah sore.”“Baiklah.” Hazel setuju, sambil memeluk lengan Sergio. Dia melangkah bersama dengan Sergio—menuju ke halaman parkir mall. Namun, di kala mereka hendak ingin pergi dari sana—langkah mereka terhenti melihat Benton berlari dengan wajah panik.“Tuan!” Benton berlari menghampiri Sergio, dengan napas terengah-engah.“Ada apa?” tanya Sergio seraya menatap lekat, penuh tuntutan agar Benton menjawab pertanyaannya.Benton panik. “Tuan, untung Anda dan Nona Hazel berada di
“Aw—” Hazel merintih kesakitan di kala didorong ke dalam sebuah ruangan oleh pria yang membawanya. Pria berkulit hitam itu kini keluar mengunci rapat pintu ruangan di mana Hazel disekap.“Hey! Lepaskan aku, Berengsek!” Hazel menahan sakit di bokong dan kakinya. Dia bangkit berdiri seraya menggedor-gedor pintu—meminta untuk dibukakan. Akan tetapi, hasil yang didapatkan adalah nihil.Hazel mengumpat dalam hati seraya mengembuskan napas panjang. Dia mengendarkan pandangannya—berusaha mencari celah untuk melarikan diri. Namun, sayang jendela di ruangan itu telah dipasang besi kokoh dan kuat. Tidak mungkin bisa Hazel melarikan diri. Hazel berusaha untuk tenang. Dia yakin bahwa pasti Sergio tidak akan mungkin tinggal diam, dirinya diculik. Pasti Sergio akan bertindak. Hal yang harus dilakukannya sekarang tetap berpikir positive. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Langkah kaki melangkah mendekat ke arah Hazel. Tampak seorang pria paruh baya dengan wajah khas timur tengah—menghampiri
Lampu remang-remang membuat ruangan di mana Hazel berada, tampak menyeramkan. Akan tetapi, sebisa mungkin Hazel berusaha untuk tenang—dan tidak takut berada di ruangan ini. Lukisan menyeramkan dan beberapa pajangan yang meninggalkan kesan seram—sempat membuat nyali Hazel menciut.Bohong rasanya jika Hazel baik-baik saja. Pasti ada rasa takut yang menyelimutinya. Dia memang bisa bela diri, tetapi lawan dari anak buah Abdul Kumar, tak bisa dipandang sebelah mata. Anak buah Abdul Kumar memiliki kelicikan tinggi.Tangan Hazel berkeringat dingin. Ruangan itu memiliki AC, tapi sayangnya rasa dingin yang keluar dari AC tidak terasa akibat kepanikan menyelimuti. Hati dan pikirannya hanya tertuju pada Sergio.Hazel tidak bisa benar-benar tenang. Dia memang yang diculik. Harusnya dia memikirkan kondisinya. Namun, faktanya dia jauh lebih takut. Kata-kata Abdul Kumar yang mengatakan di depan ada ranjau yang bisa saja menjebak Sergio—membuat kecemasan Hazel meningkat ribuan kali lipat.“Sergio, ak
Tubuh Sergio membeku di kala mendengar suara pistol. Dia tak merasakan sakit apa pun di punggungnya. Tatapannya kini menatap nanar darah yang mulai menetes ke lantai. Aura wajahnya menyeramkan layaknya singa hutan yang akan murka.“S-Sergio.” Tubuh Hazel lemah, nyaris tumbang—refleks Sergio segera menangkap tubuh Hazel. Sorot mata pria tampan itu terhunus tajam menatap lengan Hazel yang mengeluarkan banyak darah.Sergio sigap mengambil sapu tangan dari balik jaketnya, dan menekan luka tembak di lengan Hazel. “Kenapa kau melakukan semua ini, Hazel!” geramnya dengan emosi tertahan.Hazel tersenyum lemah seraya menyentuh tangan Sergio. “Aku tidak suka melihatmu terluka, Sergio. Jangan khawatir, a-aku tidak apa-apa. L-luka ini tidak akan membuatku mati.”Kilat mata Sergio menggelap, melihat darah Hazel terus menetes. Kemarahan dan emosi layaknya api yang sedang membakar Sergio Blanco. Terdengar suara tawa dari Abdul Kumar. Tawa renyah yang seolah menunjukkan ledekan puas.“Hazel Afford. R
Sergio berada di depan ruang pemeriksaan Hazel, dengan raut wajah gelisah. Beberapa kali dia mengembuskan napas kasar, dan memejamkan mata singkat. Hal yang dia benci adalah Hazel mengorbankan diri, agar dirinya tidak terluka. “Ck! Kenapa kerja dokter di sini lama sekali?!” seru Sergio tidak sabar.Sergio ingin berada di dalam, tapi sayangnya perawat tak memberikan izin. Peluru bersarang di lengan Hazel. Pastinya dokter melakukan tindakan operasi untuk mengambil peluru yang bersarang di tubuh wanita itu.Sergio sudah terbiasa terkena peluru di tubuhnya. Namun, berbeda dengan Hazel. Dia yakin seribu persen, Hazel belum pernah terkena luka tembak. Bisa saja respon tubuh Hazel akan sangat parah akibat peluru.“Shit!” Sergio mengusap wajahnya kasar, di kala rasa panik dan khawatir menyerang dirinya. Dia sulit untuk tenang. Sialnya, dia tak boleh masuk ke dalam. Jika saja, dia mendampingi Hazel, maka pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang.“Tuan…” Benton melangkah menghampiri Sergio. Se
Hazel tidak betah berada di rumah sakit. Luka masih belum kering, tapi dia sudah merengek meminta untuk keluar dari rumah sakit. Lebih tepatnya, dia tak suka makanan rumah sakit yang berbau hambar tidak ada rasa. Wanita cantik itu bersikukuh ingin ke luar dari rumah sakit, meski sebenarnya belum diperbolehkan. Tak lagi terhitung berapa kali perdebatan Hazel dengan Sergio, akibat sifat keras kepalanya. Hazel bersikukuh ingin ke luar dari rumah sakit, tapi Sergio tak mengizinkan karena kondisi Hazel belum sepenuhnya pulih.“Sergio, aku ingin pulang sekarang.” Hazel kembali merengek, meminta pulang.“Hazel, kau kan tahu—”“Tuan!” Benton menerobos masuk ke dalam ruang rawat Hazel. Tampak jelas kepanikan di wajah Benton.“Ada apa, Benton?! Kenapa kau berlari seperti itu?!” seru Sergio seraya menatap Benton yang berlari mengejarnya.Hazel ikut menatap Benton yang tampak panik. “Benton, apa ada masalah?” Benton gelisah dan cemas. “Tuan Sergio, Anda harus segera meninggalkan Dubai. Ada bebe
Bern, Swiss. Hazel dan Sergio telah tiba di Bern. Setelah perjalanan panjang, akhirnya mereka sampai di penthouse. Hazel masih tinggal dengan Sergio. Wanita cantik itu malah seolah enggan kembali ke apartemennya. “Hazel, kau istirahatlah. Aku akan pergi sebentar,” ucap Sergio di kala sudah masuk ke dalam kamar, bersama Hazel.Hazel menggeleng tegas dan memeluk lengan Sergio. “Kau tidak boleh pergi ke mana-mana. Kau harus di sini saja.”“Hazel, aku tidak akan tertangkap.”“Tidak, aku tidak percaya padamu. Aku tidak mau tahu kau harus tetap ada di sini.”“Hazel—”“Jika kau pergi, aku ikut denganmu.”Sergio mengembuskan napas panjang sambil tersenyum melihat tingkah Hazel. “Aku baru tahu, kau benar-benar sangat keras kepala.”Hazel mengangguk tanpa ragu. “Aku memang seperti ini.”Sergio membelai lengan Hazel yang diperban. “Perbanmu harus diganti. Aku akan membantumu.”“Aku bisa sendiri.” Hazel tak ingin merepotkan.“Aku akan menggantikan perbanmu.” Sergio mengecup lengan Hazel. Lalu d
Sergio membelai Hazel yang terlelap pulas dalam pelukannya. Pria tampan itu terbangun di tengah malam. Hazel masih tertidur, setelah percintaan panas dengannya. Dia memberikan kecupan di seluruh wajah Hazel—dan memberikan pelukan hangat pada wanita itu.“Hmmm…” Hazel menggeliat dari dalam pelukan Sergio. Perlahan mata wanita itu mengerjap beberapa kali, dan perlahan matanya sudah terbuka. Senyuman di wajah Hazel terlukis indah menatap Sergio yang tengah memeluknya.“Maaf membuatmu terbangun,” bisik Sergio seraya membelai rambut indah Hazel.Hazel membenamkan wajahnya di dada bidang Sergio. “Aku sudah tidak lagi mengantuk.”Sergio tersenyum samar. “Ini masih malam. Kau harus tidur.”“Tunggu sebentar. Biarkan seperti ini. Aku ingin memelukmu seperti ini sampai aku tertidur lagi.”“Yang kau inginkan akan aku turuti.”“Sergio?”“Hm?”“Apa kau akan menuruti semua keinginanku?”“Ya, tentu saja asalkan keinginanmu bukan memintaku pergi, maka aku akan menurutimu.” Sergio memeluk erat Hazel, s