Malam selaksa tak bersahabat menemani sang ratu. Dewi Rukmini terpaku dalam kepiluan hati yng teramat dalam. Hatinya yang terbelah seakan menjadi noda bagi setiap harapan dan cita-cita agungnya. Lelaki muda tampan yang sederhana itu masih tetap berdiri mematung di bawah pohon maja. Pohon berbuah besar, hijau, indah, tapi menguarkan aroma dan rasa yang pahit. Dia ingin mendekati sang pujaan hati. Namun, sisi hatinya yang lain menolak. Purnama yang penuh bercak dan tertutup mendung itu tak mampu menerangi tubuh sang patih di bawah kegelapan pohon maja. Hanya menggulirkan sebentuk bayangan yang mengukir panjang hingga tiba di kaki sang ratu. Dewi Rukmini tersenyum. Bayangan panjang itu telah memberitahunya tentang keberadaan sang patih. Kidung sendu yang dilantunkan sang ratu seketika terhenti. Kepala Dewi Rukmini menoleh ke kiri. Melihat ke arah sosok yang terlihat gelap yang ada di bawah pohon maja. Tangannya melambai. Sebuah isyarat perkenan bahwa sang ratu menghendaki kedatangan
"Bagaimana, anakku?" Prabu Arya Pamenang menatap lembut wajah anak gadisnya itu. Berharap dia menemukan jawaban dari sosok yang sangat disayanginya itu.Dewi Rukmini hanya diam menunduk. Tak berani membalas tatapan mata sang ayah. Sambil berucap lirih,"Bagaimana jika aku memilih lelaki selain pilihan Gusti Romo?"Di luar dugaan, Prabu Arya Pamenang tidak menampakkan amarah sama sekali. Dia malah tersenyum seraya mengacak rambut Dewi Rukmini. "Siapa lelaki yang sudah menambat hatimu itu, anakku?""Hanya seorang lelaki biasa, Gusti Romo," ucap sang ratu lirih."Tidak mungkin dia seorang lelaki biasa. Pasti dia adalah seorang lelaki hebat. Karena hanya lelaki hebatlah yang mampu merebut hati anakku." Prabu Arya Pamenang berkata seraya melontarkan sebuah senyuman indah pada Dewi Rukmini. Gadis ayu itu tersipu."Apakah jika saya menolak Pangeran Gagat akan mengakibatkan pertumpahan darah, Gusti Romo? Itu yang saya kuatirkan." Setelah beberapa saat berada dalam pembicaraan bersama, baru saa
"Ada apa kiranya, Romo? Mengapa Gusto Prabu tiba-tiba memanggil kita?" Dimas Bagus Penggalih nampak sangat gelisah. Berjakan ke sana kemari seperti tengah menginjak bara api."Romo juga tidak tahu, anakku. Mungkin Gusti Prabu memiliki wacana baru tentang kebijakan negri. Hingga perlu memanggil kita." Diro Menggolo berusaha tetap menunjukkan ketenangan di hadapan anak semata wayangnya itu."Kenapa Patih tiga Rangga Aditya tidak dipanggil juga? Apakah kita melakukan kesalahan, Romo?Aku kuatir sekali jika kita ternyata melakukan kesalahan. Selama bertugas menjalankan perintah kerajaan, aku selalu menjaga agar sang prabu tidak pernah merasa kecewa." Kekuatiran sang patih muda itu tidak dapat disembunyikannya.Diro Menggolo, sang ayah, hanya bisa terdiam melihat tingkah polah anaknya yang tak bisa dikendalikan itu. Usianya yang terbilang masih sangat muda, belum sampai pada tahap kematangan jiwa, di mana sikap tenang sangat dibutuhkan dalam situasi apa pun juga."Apakah sekarang saja kita
Matahari belum sepenuhnya menenggelamkn diri di ufuk barat. Semburat merah jingga masih terlukis jelas di atas horison lngit barat, selaksa lukisan berbentuk selendang penari nirwana. Sebuah pertanda bahwa waktu akan berputar berganti nuansa. Tepat di saat langit jingga menghiasi langit barat itulah, Patih dua Dimas Bagus Penggalih melangkahkan kaki menuju ke puri istana. Sendirian saja. Tanpa sang ayah, Patih satu Diro Menggolo menemani. Karena sang ayah belum lagi terlihat sosoknya sejak siang hari saat berpamitn hendak merawat benda pusaka di ruang samping balairung. Ketika langkah sang patih muda itu telah sampai di depan pintu utama puri istana, dia melihat Prabu Arya Pamenang tengah duduk berhadapan dengan ayahnya, Patuh satu Diro Menggolo. Sejenak patih muda itu terkesiap. Bukankah sang ayah tadi berpamitan hendak merawat pusaka? "Masuklah, Ananda Patih dua Dimas Bagus Penggalih." Prabu Arya Pamenang menganggukkan kepala le arah putra tunggal Patih satu Diro Men
Prabu Arya Pamenang duduk di atas singgasananya dengan begitu gagah. Aura kewibawaannya memancar begitu kuat. Beberapa helai rambut putih yang menghiasi rambutnya justru terlihat bagai sebuah sinar keperakan yang memperkuat karismanya. Hari ini adalah hari penentuan hukuman atas perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Pangeran Gagat dan Dewi Ayu Candra. Suara isak sang putti tak mampu meluluhkan hati sang penguasa Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tetap bersikeras untuk menghukum Dewi Ayu Candra dan Pangeran Gagat. "Tidak ada tawar menawar lagi dalam keputusan yang sudah kubuat," ujar Prabu Arya Pamenang dengan suara baritonnya yang terdengar berat dan dalam. "Saya mohon kebijaksanaan panjenengan, Gusti Prabu. Saya mengaku salah," mohon Pangeran Gagat. Jiwa ksatria sang pangeran ternyata masih kuat bercokol di kepribadiannya. Dia mengakui semua kesalahannya. Sungguh berbeda dengan Dewi Ayu Candra yang masih terus berusaha mengelak dan menimpakan semua kesalahan pada
Mata pedang itu berkilat begitu tajam ketika sosok Patih dua Dimas Bagus Penggalih melintas di hadapannya. Sosok patih muda yang tampan dan berpembawaan tenang. Ah, tidak terlalu tampan sebenarnya, tapi memiliki pesona yang sangat memikat karena kharisma yang dipancarkannya begitu kuat. Lelaki bermata pedang itu mendengus kesal. Segala ambisi dan harapannya musnah karena kehdiran Patih dua Dimas Bagus Penggalih yang selalu menjegal langkahnya. Dan lelaki bermata pedang itu sangat tidak menyukainya. "Bagaimana, sahabatku Pangeran Gagat? Apakah ada yang ingin panjenengan sampaikan padaku?" Sapaan halus Patih dua Dimas Bagus Penggalih itu mengagetkan Pangeran Gagat. Sore itu, kala petang hampir menjelang, Pangeran Gagat tengah duduk di anak tangga pendopo kesatrian. Mengatur nafas setelah lelah bekerja menjalankan tugas hukumannya. Setiap sore dia harus membersihkan kandang kuda sekaligus memberinya makan. Dua ratus ekor kuda! Sebuah jumlah yang fantastis. Dan saat ini Pa
Senopati Satria Cakra mengajak Patih dua Dimas Bagus Penggalih untuk duduk di anak tangga pendopo puri istana. "Ada yang ingin aku bicarakan, Dinda Patih." "Aku siap mendengarkan, Paman." Patih dua Dimas Bagus Penggalih duduk di samping sang senopati dengan wajah tertunduk dalam. "Tadi pagi Gusti Prabu memanggilku. Membicarakan tentang persiapan pernikahanmu dengan Gusti Ratu. Gusti Prabu menunjukku sebagai pemimpin pelaksana. Dalam waktu persiapan satu bulan ... sebenarnya terlalu berat buatku, Dinda Patih. Aku harus bagaimana?" Senopati Satria Cakra mengusap kasar mukanya. Dengan menaikkan alis mata, terlihat bawa dia sangat kebingungan. Senyum Patih dua Dimas Bagus Penggalih mengembang tipis. Sembari menepuk punggung sang senopati, dia berujar lirih,"Tidak perlu bingung, Kanda Senopati. Panjenengan atur saja dari sisi keamanannya. Untuk ritualnya, romoku yang akan mengaturnya. Bukankah saat pernikahan Prabu Arya Pamenang dengan mendiang Dewi Gauri, juga romoku yang
Tinggal dua pekan lagi. Tak terelakkan kesibukn yang ada dalam istana Sanggabumi. Rombongan pedati yang ditarik lembu seakan tak putus datang masuk ke dalam halaman istana. Persembahan dari 18 desa yang berada dalam wilayh kekuasaan Kerajaan Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tertegun melihat antusiame rakyatnya yng luar biasa. Matanya membentuk selaput bening yang siap meluap kapan saja hati tak mampu mencegahnya. "Ini dari rkyatku?" tanya Prabu Arya Pamenang pada Patih tiga Rangga Aditya, seakan tak percaya dengan apa yang terpampang di hdapannya. Aneka bahan makanan telah diusung para prajurit untuk dimasukkan ke dalam lumbung istana. Dan ternyata lumbung sebesar dan seluas itu tak lagi mampu menampungnya. "Benar, Gusti Prabu. Ini semua hadiah dari beberapa desa yang ada di Sanggabumi." Patih tiga Rangga Aditya sedikit membungkukkan badan keada Prabu Arya Pamenang. Senyum bngga yang hanya tipis mengulas, terukir indah di bibir pangeran muda dari negri Galuh itu. "K