Semua pejabat tinggi Kerajaan Sanggabumi telah berkumpul di ruang utama istana. Patih satu Diro Menggolo memimpin jalannya pertemuan itu, menggantikan Prabu Arya Pamenang. Dan Dewi Rukmini duduk di singgasana prameswari, temoat yang sebelumnya diduduki oleh Dewi Gauri.
"Hatur sembah dalem, Gusti Putri Dewi Rukmini. Saya harus segera mengadakan rapat ini karena kondisi negri yang berada dalam keadaan darurat. Nyuwun pangapunten jika saya lancang mengadakan rapat ini tanpa memberitahu panjenengan." Patih satu Diro Menggolo melakukan sikap takdzim di hadapan Dewi Rukmini. "Hatur sembahmu saya terima, Patih Diro Menggolo. Saya bisa memaklumi keputusan panjenengan. Tidak apa-apa, Paman Patih. Silakan rapat dilanjutkan." Dewi Rukmini mempersilakan Patih satu Diro Menggolo untuk melanjutkan rapatnya.Patih satu Diro Menggolo kembali duduk di kursinya. Setingkat di bawah lantai tempat singgasana raja dan prameswarinya. Kursi berukir berjajar lima berada di samping kanan dan kiri singgasana raja. Patih satu, patih dua, patih tiga, dan jajaran mentri sesuai bidangnya."Yang saya hormati para petinggi Kerajaan Sanggabumi. Keadaan negri sedang tidak baik-baik saja. Sementara kondisi Gusti Prabu saat ini juga sedang mengalami tekanan batin yang luar biasa berat. Dan pucuk pimpinan tertinggi dalam pemerintahan Kerajaan Sanggabumi tidaklah boleh kosong. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Kerajaan Sanggabumi secara turun temurun, maka saya usulkan bahwa tampuk pemerintahan Kerajaan Sanggabumi saat ini diserahkan pada Gusti Putri Dewi Rukmini. Sebagai pewaris tunggal dari tahta Kerajaan Sanggabumi. Adakah yang keberatan dengan hal ini?"Patih satu Diro Menggolo memaparkan topik rapat istana kali itu. Hanya ada tujuh menteri yang akan dimintai pendapatnya. Karena Patih tiga Wira Ageng sudah otomatis kehilangan jabatan sejak dia memimpin pemberontakan Candra Ratri. Dan Patih dua Doso Singo juga tidak mungkin hadir karena sukmanya telah bersemayam di swargaloka.Para menteri hanya saling pandang dan pada akhirnya menyatakan persetujuannya atas masukan Patih satu Diro Menggolo. Karena garis kepemimpinan kerajaan yang sudah berlangsung secara turun temurun itu tidak mungkin bisa dilanggar."Gusti Putri Dewi Rukmini ..." Patih satu Diro Menggolo menyebut nama Dewi Rukmini sambil berdiri dan melakukan sikap takdzim lagi. "Silakan Gusti Putri berpindah duduk di singgasana Raja. Karena mulai saat ini, panjenengan-lah yang telah resmi memegang tampuk kekuasaan Kerajaan Sanggabumi ini."Dewi Rukmini sejenak berada dalam keraguan. Mampukah dia menjadi pemimpin di Kerajaan Sanggabumi ini? Kerajaan kecil yang tengah mengalami masa-masa sulit. Sendirian saja. Tanpa romo dan ibunya. Sanggupkah?Namun, taqdir tak bisa dihindari. Darah penguasa kerajaan telah mengalir kuat dalam tubuh dan jiwanya. Dewi Rukmini tak boleh menolak. Dia harus menerima dengan lapang dada dan penuh tanggung jawab."Gusti Ratu tidak sendirian. Ada saya dan para menteri yang akan selalu mendampingi Gusti Ratu. Panjenengan sekarang telah menjadi Ratu. Matahari bagi Kerajaan Sanggabumi. Ratu Suryaning Jagad Alit." Patih satu Diro Menggolo lantas naik ke lantai singgasana.Seorang menteri mundur dan masuk ke dalam sebuah kamar di mana tersimpan barang-barang berharga milik istana. Menteri muda yang memiliki keahlian dalam membaca buku alam, yaitu Dimas Bagus Penggalih, putra dari Patih satu Diro Menggolo.Tak berapa lama kemudian Dimas Bagus Penggalih keluar dari kamar tersebut sambil membawa sebuah nampan besar berwarna merah. Di atas nampan itu terletak sebuah mahkota besar terbuat dari emas yang bertahtakan aneka permata, yang selama ini dikenakan oleh Ayahanda Prabu Arya Pamenang.Dewi Rukmini berdiri ketika Dimas Bagus Penggalih mengulurkan nampan merah itu pada Patih satu Diro Menggolo. Dan dengan tangan sedikit bergetar, Patih satu Diro Menggolo mengambil mahkota itu dan meletakkannya di atas kepala Dewi Rukmini yang telah siap bersimpuh di hadapan Patih satu Diro Menggolo.Semua yang hadir menahan nafas. Ketika mahkota itu diletakkan di atas rambut hitam panjang Dewi Rukmini. Dan mahkota besar itu menempel begitu pas di sana. Semua menghela nafas panjang. Lega."Paman Patih, mahkota ini berat," gumam Dewi Rukmini ketika berusaha berdiri dari simpuhnya. Namun, tanpa memegangi mahkota itu, ternyata dia mamou berdiri dengan mahkota tetap tegak bertahta di atas kepalanya.Patih satu Diro Menggolo menitikkan air mata. Sebuah jaman telah berganti. Kini dia mendampingi generasi ketiga dari garis penguasa Kerajaan Sanggabumi."Memang awerat, Gusti Ratu. Seberat tanggung jawab memimpin sebuah kerajaan, mengayomi rakyat, dan mempertahankan harga diri dan martabat bangsa. Mahkota itu hanya sebuah simbol. Bahwa seberapapun berat tanggung jawab yang harus diemban, mahkota harus tetap berdiri tegak di atas kepemimpinan sebuah negri. Mahkota adalah simbol harga diri dan martabat bangsa." Patih satu Diro Menggolo seketika bersimpuh di depan Dewi Rukmini, menyatakan pengabdian seumur hidupnya untuk ratu baru itu dan tanah Sanggabumi.Kemudian secara berurutan, para mentri juga melakukan hal yang sama. Hingga tiba giliran Dimas Bagus Penggalih. Dia kini tak berani lagi menatap mata Dewi Rukmini. Karena jenjang yang terbentang antara dia dengan Dewi Rukmini kini berjarak sangat jauh."Kanda Mentri Dimas Bagus Penggalih, saya memohon dengan sangat. Jangan pernah ada yang berubah dalam persahabatan kita. Saat di singgasana, saya adalah ratumu. Tapi saat berada di taman bunga kencono asri, saya adalah Rukmini, sahabatmu, yang kita akan selalu bersama. Janji yang terucap tak akan pernah bisa pupus, Kanda Mentri Dimas Bagus Penggalih." Dewi Rukmini berkata tanpa menatap wajah Dimas Bagus Penggalih. Beratnya mahkota itu membuat kepalanya tak mampu menunduk."Duli, Gusti Ratu. Dalem ikut saja segala titah panjenengan," jawab Dimas Bagus Penggalih dengan suara parau. Apakah mungkin dinding tebal yang membentang di antara mereka akan mampu ditembus?Ada rahasia dalam hati Dimas Bagus Penggalih. Rahasia hati yang dipendamnya selama bertahun-tahun, semenjak dia mengenal arti desiran halus dalam dadanya. Semenjak usia telah menobatkannya sebagai seorang lelaki dewasa.Ritual pergantian kepemimpinan di Kerajaan Sanggabumi telah berakhir. Sebuah ritual sederhana yang diadakan tanpa gegap gempita yang biasanya dan seharusnya terjadi. Keadaan negri yang tengah kacau balau menjadi penyebab semua itu.Ritual tersebut diakhiri dengan penyerahan tombak Mbah Kuning pada Dewi Rukmini. Sebuah tombak yang memiliki nyawa. Yang sudah menghunus banyak raga para pemberontak sejak Kerajaan Sanggabumi berdiri. Sebuah tombak yang menjadi senjata khusus para pemimpin Kerajaan Sanggabumi.Kini semua berdiri berjajar di posisinya masing-masing. Menghaturkan sembah bakti pada raja baru, Gusti Ratu Dewi Rukmini. Sejarah baru dalam 7 generasi pemerintahan Kerajaan Sanggabumi. Seorang raja wanita. Tanpa ada prasasti ataupun babad yang menceritakan kepemimpinan Ratu Dewi Rukmini.Tanggal 13 bulan Centramasa tahun 1250 Saka. Beberapa waktu setelah berdirinya Kerajaan Majapahit pada tanggal 15 bulan Kartikamasa tahun 1215 Saka.Sudah enam purnama Dewi Rukmini mengendalikan roda pemerintahan Kerajaan Sanggabumi. Perlahan perekonomian negri mulai membaik. Hujan telah terjadi di beberapa tempat. Meskipun belum terlalu deras, tapi cukup membuat dingin tanah Sanggabumi. "Bagaimana keadaan Gusti Prabu?" tanya Dimas Bagus Penggalih pada Dewi Rukmini sore itu. Saat waktu rehat, melepaskan semua penat pikiran dan raga. Dewi Rukmini mendesah pelan. Hal yang paling menyakitkan baginya adalah jika sudah membicarakan tentang Prabu Arya Pamenang. Sosok ayah yang sangat dibanggakannya, kini harus menghabiskan waktu sehari penuh hanya di kamar. Bergulat dengan halusinasinya, bergumul dengan bayang-bayang kenangan mendiang garwa prameswari Dewi Gauri. "Belum ada perubahan, Dimas. Aku tidak tahu lagi, apa yang harus aku lakukan," jawab Dewi Rukmini denagn wajah sendu. "Tidsk bisakah Ki Sradda menguoayakan pengobatan buat Gusti Prabu?" tanya Dimas Bagus Penggalih lagi. Dewi Rukmini memggeleng. "Meskipun Ki Sradda mengatak
"Panggilkan Gusti Ratu. Sampaikan bahwa saya ingin menghadap karena ada hal penting yang ingin saya bicarakan." Patih satu Diro Menggolo memerintahkan Ki Suro untuk memanggil Dewi Rukmini. "Baik, Paman Patih," jawab Ki Suro. Dan bergegas menuju ke dalam keputren untuk menyampaikan pada Bik Nara soal kedatangan Patih satu Diro Menggolo. Patih satu Diro Menggolo menunggu di pendopo keputren yang berukuran jauh lebih kecil dari pendopo puri istana. Terhampar sebuah tikar dari anyaman tetumbuhan di sudut pendopo. Dan di atas tikar itulah Dewi Rukmini didampingi Bik Nara menikmati suasana malam hampir setiap hari. Tidak berapa lama kemudian, Dewi Rukmini keluar dari dalam keputren. Wajahnya terlihat segar setelah mengguyurnya dengan air yang dicampur aneka rempah dan bunga-bungaan. Aroma wangi yang lembut serasa membuai indra penciuman begitu halus.Melihat Dewi Rukmini keluar dari dalam keputren, Patih sstu Diro Menggolo segera berdiri dan bersikap takdzim. "Hatur sembah bakti dalem,
"Aku masih belum bisa menerima keputusan romomu, Kanda Dimas." Dewi Rukmini menerawangksn pandang jauh ke depan tanpa titik fokus. "Mengapa panjenengan tidak menyampaikannya pada romo?" tanya Dimas Bagus Penggalih. Matahari sore itu telah menyemburstkan wsrna merah oranye yang cukup terang. Sebuah paduan warna yang memberikan pertands alam, menurut para pinisepuh. Bahwa akan ada pagebluk. Wabah penyakit yang terjadi dalam waktu dekat. "Aku sudah menyampaikannya. Tapi memang tak ada jalan lain untuk menyembuhkan Gusti Romo kecuali sstu hal itu. Aku sudah menghubungi Ki Sradda dan menanyakannya. Dan memang harus seperti itu," ujar Dewi Rukmini. Pasetran yang ada di hadapan Dewi Rukmini dan Dimas Bagus Penggalih kini telah dingin. Tak lagi mengeluarkan asapnya yang wangi setelah 6 purnama berlalu. Enam purnama yang lalu, ketika kobaran api mengantarkan sukma Dewi Gauri menuju ke swargaloka. Dimas Bagus Penggalih tak tahu harus berkata apa. Tugasnya dalam pemerintahan hanyalah mena
Hari sakral itu telah tiba. Di bulan Kartika, saat bulan Sarat dalam kalender Saka menghadapi musim rontok. Saat di mana dedaunan mulai berjatuhan dan mengalirkan semilir angin yang sedikit lebih kencang dari sebelumnya. Dewi Rukmini duduk di bagian samping pelaminan. Berjajar sedikit lebih tinggi dari para pejabat istana. Patih satu Diro Menggolo duduk di sampingnya. Terus membisikkan kalimat-kalimat penguat hati. Sementara kursi mendiang Patih dua Doso Singo, kini ditempati oleh Dimas Bagus Penggalih. Dan Patih tiga Wira Ageng kini duduk kembali di kursi yang pernah ditinggalkannya selama beberapa bulan. "Gusti Ratu harus ikhlas. Demi negri ini. Demi kedamaian rakyat," bisik Patih satu Diro Menggolo pada Sang Ratu. Dewi Rukmini mengangguk pelan. Karena mahkota emas itu masih terasa berat bertahta di kepalanya. Seulas senyum tipis dia sunggingkan di bibir indahnya.Pandangan Dewi Rukmini mengarah lurus ke depan. Di sisi seberangnya berjajar para petinggi Kerajaan Galuh. Prabu Su
"Apa yang panjenengan lakukan itu, Ibu Dewi Laraswati?" tanya Dewi Rukmini keheranan. Sepagi ini istri batu Prabu Arya Pamenang itu sudah sibuk di halaman depan puri istana. Memetik aneka bunga yang berjajar rapi di dekat tembok pagar istana. Dewi Laraswati sontak menoleh. Matanya tajam menatap manik mata Dewi Rukmini. Dari sorot matanya terlihat jelas bahwa dia tidaklah menyukai Dewi Rukmini. "Memangnya kenapa? Aku adalah istri dari Prabu Arya Pamenang. Raja di Kerajaan Sanggabumi ini. Aku berhak melakukan apapun." Dewii Laraswati berjalan mendekati Dewi Rukmini sambil melipat kedua lengannya di depan dada. Dewi Rukmini menghela nafas panjang. "Alangkah lebih bijaknya jika ibu Dewi Laraswati menanyakan beberapa hal mengenai kebiasaan yang berlaku di istana ini. Karena banyak hal di sini merupakan kebiasaan yang ditinggalksn oleh ibu saya, mendiang ibunda Dewi Gauri." "O ya? Kebiasaan apa itu?" tanya Dewi Laraswati dengan senyum yang menyungging penuh kelicikan. "Salah satunya,
Suara derap kaki beberapa ekor kuda mengagetkan Dewi Rukmini, Bik Nara, Patih satu Diro Menggolo, dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih, yang tengah berkumpul di halaman depan puri istana membicarakan masukan dari Dewi Laraswati. Mereka saling pandang. Salah satu prajurit yang bertugas menjaga pintu gerbang istana tergopoh-gopoh mendatangi Dewi Rukmini. "Hatur sembah dalem, Gusti Ratu. Ada rombongan dari Kerajaan Galuh. Mahapatih Wiro Sayogo dan Pangeran Rangga Aditya hendak sowan beserta para pengawalnya." Prajurit penjaga pintu gerbang itu menyampaikan apa yang ditemuinya pada Dewi Rukmini. "Hah?! Mereka sudah datang? Berarti ini semua sudah direncanakan oleh Patih tiga Wira Ageng dan pihak Kerajaan Galuh. Kita telah terjebak dalam konspirasi mereka, Paman Patih," ujar Dewi Rukmini dengan mimik penuh kekuatiran. "Dan sakitnya Romo, mereka jadikan sebagai kunci." Patih satu Diro Menggolo menarik nafas panjang. "Jadi harus bagaimana, Gusti Ratu? Kita terima atau kita tolak kedatan
Tiga purnama terlampui. Masa hemanta telah beralih menuju masa sisiria, di mana kabut mulai menebal saat dini hari menjemput waktu. Selalu ada yang berganti ketika dunia memutar masanya. Dan sore itu Dewi Rukmini tengah berlatih beladiri di bawah asuhan Bejo dan Kalong. Mereka berdua bergantian mengajarkan ilmu kanuragan pada Sang Ratu. Memang ilmu kanuragan mereka berdua masih sangat jauh di bawah mendiang Ki Tunggul. Namun, tetap saja mereka masing-masing memiliki keahlian spesifik yang mampu menjadi pengapesan buat lawannya. "Saya lihat kemajuan beladiri panjenengan semakin hari semakin bertambah matang, Gusti Ratu," ujar Patih dua Dimas Bagus Penggalih kala itu. Sejatinya dia menghampiri Dewi Rukmini untuk menyampaikan laporan mengenai perkembangan Pangeran Rangga Aditya selama sepekan ini. Tapi niat itu ditundanya dulu karena dia lebih tertarik memperhatikan kegiatan latihan beladiri Sang Ratu. "Maukah panjenengan menjadi lawan latih saya, Kangmas Patih?" tanya Dewi Rukmini s
"Tolonglah, Dinda Rukmini. Aku yakin engkau pasti bisa membantuku," bujuk Dewi Ayu Candra pada Dewi Rukmini. Untuk yang kesekian kalinya. Saudara sepupu Dewi Rukmini itu memohon pada Sang Ratu.Dan untuk yang ke sekian kalinya pula, Dewi Rukmini menggeleng. "Ma'afkan aku, Yunda. Aku benar-benar tidak abisa membantumu. Tidak elok bagi seorang wanita untuk mengulurkan perhatian terlebih dahulu pada seorang pria."Dewi Ayu Candra mendengus kesal. "Kenapa kamu tidak mau membantuku? Apakah kamu iri padaku? Karena aku lebih cantik dan lebih memesona daripada dirimu?" ejek Dewi Ayu Candra.Seketika Bik Nara melihat Dewi Ayu Candra dengan mulut ternganga. Dan menyeletuk tanpa diduga, "Apakah saya perlu mengambil cermin besar yang ada di kamar panjenengan, Gusti Putri Dewi Ayu?" Bik Surti langsung membekap mulutnya sendiri yang hampir keluar suara tawanya. Ucapan Bik Nara itu membuat emosi Dewi Ayu Candra meledak. "Kamu menghina aku, Bik Nara! Kuhukum kau!" teriak Dewi Ayu Candra kalap.Dewi