Gadis berjilbab merah maroon itu tampak lebih segar daripada dua bulan yang lalu. Jauh lebih baik lagi setelah bisa mengatasi kemelut perasaannya sendiri. Semoga saja, Hafsah benar-benar sudah move on dari keinginannya untuk menikah dengan Aksara. Marisa berdoa agar Hafsah segera bertemu dengan jodohnya. "Mbak Marisa, kok sendirian?" tanya Hafsah."Iya, pulang kerja saya langsung ke sini. Kantor saya dekat kok." Sedapat mungkin Marisa menepis rasa canggungnya."Oh," jawab Hafsah kemudian kembali menyendok bakso di mangkuk.Melihat perut Marisa yang membulat, hati Hafsah terasa nyeri. Mungkin, mungkin saja dia akan sulit bisa hamil seperti Marisa. Menjadi perempuan sempurna versinya, mengandung dan melahirkan. Makanya ia tidak ingin bertanya, berapa usia kandungan wanita dihadapannya ini."Besok jam berapa kamu berangkat ke Jember?" Pertanyaan Afifah kepada Hafsah yang membuat Marisa terkejut. Namun ia tetap fokus menikmati baksonya."Pagi. Naik kereta jam tujuh.""Pulang kapan?""Mun
Sejenak wajah Marisa menunjukkan raut terkejut melihat mobil yang berhenti. Tak sampai tiga detik, senyum merekah menghiasi wajah cantiknya. Dari dalam mobil muncul pria berahang tegas memakai jaket kulit warna hitam dan celana jeans warna senada. Senyum memikat terbit di bibirnya."Mas," panggil Marisa keheranan. Bagaimana mungkin suaminya pulang sepagi itu? Padahal dia bilang masih dua hari lagi baru kembali. Biasanya sampai rumah juga malam. Aksara membuka pintu mobil untuk istrinya. Kemudian pria itu berlari kecil memutari kendaraan."Mas, kok nggak bilang mau pulang pagi ini. Terus pesanku juga nggak dibalas.""Sengaja mau bikin surprise untukmu," jawab Aksara sambil menyetir pelan meninggalkan halte."MasyaAllah. Mas, berangkat jam berapa dari Jember?" "Jam satu malam."Marisa terbeliak. Jam satu malam? Di saat dirinya mungkin baru bisa tidur setelah ngobrol dengan Ulfa, sang suami memulai perjalanannya dari kota di ujung sana."Mas, bahaya kan nyetir sendirian malam-malam be
"Mulai sekarang, mas-mas semua nggak usah mencarikanku jodoh. Kalau ingin menikah, biarlah itu adalah pria pilihanku sendiri," ucapnya di depan ketiga kakak lelakinya. "Jika Mas memaksaku menikah, apa kalian bisa menjamin kalau aku bakalan bahagia?"Pertanyaan yang membuat ketiga kakaknya bungkam. Hafsah susah diajak berbicara sekarang. Bahwa sebenarnya, tak ada pernikahan yang menjamin kebahagiaan selamanya. Kerikil tajam, tumpul, badai, pasti menghadang di hadapan. Alim pernah berteriak padanya karena sangat emosi. "Apa kamu pikir menikah dengan suami orang bisa menjadikanmu hidup bahagia?" Cintanya pada Aksara serasa seperti kutukan. Jatuh cinta pada lelaki itu semenjak dia masih bujangan hingga beristri. Aksara, satu-satunya lelaki yang ingin dinikahinya. Dia sadar kalau terluka dan patah hati sendirian. Aksara sudah pergi jauh darinya. Namun entah kenapa ia bisa merasakan tatapan aneh dari lelaki itu tiap kali mereka tak sengaja bertemu. Bukankah Aksara menolaknya karena mera
"Dilihat dulu siapa yang telepon, Mas. Mungkin ada yang penting," ujar Marisa sambil membenahi duduk dan mengikat rambutnya.Aksara meraih ponsel di nakas. Ternyata sang mama yang menelepon."Coba Mas call balik, sampai tiga kali nelepon. Mungkin ada sesuatu." Marisa ikut cemas. Khawatir saja sesuatu terjadi pada mertuanya. Aksara tak kalah khawatir. Mamanya flu saja, Aksara kepikiran. Terlebih kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."Halo, Ma. Ada apa?" Tanpa mengucap salam, Aksara langsung bertanya ketika panggilan di terima sang mama. Suaranya penuh kepanikan. "Mama, nggak apa-apa 'kan?""Assalamu'alaikum. Kamu sampai lupa ngucap salam dulu, Nak. Mama nggak apa-apa.""Wa'alaikumsalam. Maaf, Ma. Nggak biasanya mama nelepon malam-malam begini. Makanya aku cemas tadi.""Kamu pulang ke Surabaya kapan?""Aku sudah pulang tadi pagi. Maaf, belum sempat nelepon mama.""Alhamdulillah, kalau kamu sudah pulang. Kamu sudah dengar kecelakaan kereta api tadi pagi?""Belum. Seharian ini aku
"Mama akhirnya mau ngikutin saran Mas. Jenguk jika Hafsah sudah dibawa pulang ke Surabaya saja atau Mas izinin pergi kalau Mbak Siti juga bisa ikut untuk menemani. Tapi sepertinya Mbak Siti nggak bisa ikut karena kursi sudah penuh.""Mama nggak kecewa kalau Mas paksa seperti itu? Aku tahu gimana nggak enaknya perasaan mama sama keluarga Pak Kyai, Mas.""Pilihan harus tetap dibuat, Sayang."Marisa termangu menatap suaminya. "Nanti aku akan ikut menjenguk kalau Mbak Hafsah sudah diajak pulang.""Kita lihat situasinya nanti. Niatmu baik, tapi belum tentu diterima mereka dengan baik."Benar juga yang dikatakan suaminya. Marisa bangkit dan membereskan meja makan dengan cepat. Hanya dua sendok dan dua gelas yang kotor, karena bungkus nasi pecel langsung di buang di tempat sampah. Sendok dan gelas bisa di cuci nanti saja sepulang kerja. Ia harus bersiap, menyapukan bedak sesegera mungkin supaya suaminya tidak berangkat kesiangan.***LS***"Permisi!" Aksara mengangkat wajah dan memandang ses
"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Seperti biasa setelah Marisa mengecup punggung tangan sang suami, ganti Aksara mencium keningnya. Walaupun ada yang mengganjal dalam benak."Sampai rumah jam berapa tadi?" tanya Aksara sambil melangkah diikuti Marisa ke kamar mereka. "Jam empat. Sampai rumah lebih cepat hari ini. Karena langsung ada taksi yang standby. Mas, nggak baca pesanku, ya?""Ponsel mas kehabisan batre tadi." Marisa membantu sang suami melepaskan kancing kemeja. Aksara memperhatikan wajah ayu yang ceria saat menyambutnya pulang. Tak ada getar mencurigakan. Selama menikah, dia tidak pernah mencium gelagat aneh dari istrinya. Ia percaya akan instingnya sebagai seorang suami. Lalu bagaimana dengan rekaman tadi? Jelas yang terdengar adalah suara Daniel. Namun yang ia heran, kenapa rekaman tadi seperti tidak tuntas? Kenapa kalau benar Daniel mengaku, istrinya tidak merekam semuanya. Lebih panjang rekaman, lebih valid untuk pembuktian.Kumandang azan Maghrib terdengar dari t
"Apa kita perlu bicara dengan Pak Daniel bertiga, bahkan berempat? Aku juga butuh penjelasan, kenapa dia mengatakan hal itu. Sesuatu yang tidak pernah terjadi di antara kami," tantang Marisa."Jika itu fitnah, kita memang perlu menyelesaikannya. Perempuan itu harus minta maaf padamu," jawab Aksara menahan geram."Akan kutelepon Pak Daniel sekarang. Besok sebelum ke rumah mama, kita bisa bertemu untuk menyelesaikan.""Besok saja. Ini sudah malam. Mas percaya sama kamu." Aksara menarik lengan istrinya. Kemudian memeluk wanitanya yang tengah hamil itu.Urusan hati jika tidak dihadapi dengan kepala dingin, bisa berlarut-larut dan menghancurkan tatanan yang dibina. Sesuatu yang masih bisa dibahas dan dibicarakan secara baik-baik, terkadang jadi berantakan karena menuruti ego.Berapa banyak pernikahan yang berujung cerai karena mempertahankan ego masing-masing. Perbalahan yang berkepanjangan karena merasa paling benar dari pasangannya. Tidak ada yang mau mengalah dan lebih memilih untuk mem
"Dari tadi kudengar, bicaranya bikin panas telinga saja." Mahika bicara pada Aksara, tapi pandangannya pada Shela.Meski tidak diberitahu, tapi dari percakapan mereka yang sejak tadi di dengarnya, Mahika bisa menangkap apa yang telah terjadi. Dia juga berada di dunia yang sama dengan mereka, jadi hal demikian tak asing lagi baginya."Mbak, biar aku selesaikan sendiri masalah ini. Ada Ubed bersama kita, Mbak." Aksara mengingatkan kakak iparnya. Tentu dia tidak ingin keponakannya yang masih kecil itu melihat sang ibu bergaduh dengan orang lain. Meski bersuami, Mahika terbiasa melakukan apapun sendiri. Termasuk membela dan melindungi keluarganya.Kepala Aksara langsung berpikir secara instan dengan beberapa pertimbangan. Ada Ubed, ada Marisa yang tengah hamil dan perlu dijaga mentalnya. Jika tersiar di media, mama dan ibu mertuanya bakal tahu juga. Sungguh luar biasa damage-nya. Di rumah makan itu memang tak banyak lagi pengunjung karena hari memang telah melewati jam sarapan. Namun sa