Aku masih meratapi nasibku, masih terbawa emosi tentang kelakuanku. Sedangkan, aryo masih duduk di depan rumah menungguiku. Aku semakin tidak paham dengan apa yang aku alami, semakin di luar dugaan. Tidak pernah merasakan seperti ini, sangat mengagetkan untukku dan untuk orang-orang sekitarku. Terkesan sangat acuh, itulah yang aku rasakan hari ini. Tidak memperdulikan dan mendengarkan semua ucapan orang lain, padahal mereka ingin membantuku.
"Ke rumah clara yuk nanti, aku nggak enak sama dia" Wulan mengajak dea dan ria.
"Okay" Mereka berdua menjawab kompak.
Aku melihat jam di dinding kamarku, baru jam 12 siang. Hari ini rasanya sangat lama, mungkin karna aku menunggui kedua orang tuaku pulang ke rumah. Aku berkali-kali melihat jam, rasanya tidak gerak sama skali. Aku menengok ke depan rumah, menengok aryo yang sudah merebahkan kepalanya di atas meja.
"Aryo, sudah jam 12. Kamu mau ke masjid tidak?" Tanyaku membangunkan aryo yang sedang tidur di meja.
<Sampai sore aku menunggu orang tuaku pulang, ternyata masih belum ada tanda-tanda sama sekali, padahal langit sudah semakin gelap, matahari sudah tidak nampak lagi di desaku. Aku masih duduk di depan rumah bersama aryo, hanya saling diam. Tidak membicarakan apapun, sudah tidak tahu juga mau membahas apa. Sedari pagi melihat mukanya yang tampan, dan sedari pagi juga ia menemaniku di rumah. Sosok lelaki yang sangat bertanggung jawab dengan wanita, walaupun hanya karna tidak sengaja lewat depan rumahku, tetapi malah ia yang menjagaku seharian ini."Sudah gelap yo, kamu tidak pulang? Nanti di cari bapakmu" Tanyaku ke dia."Aku sudah mengiriminya pesan bahwa aku pulang agak larut, menjagamu sampai orang tuamu pulang. Kalau orang tuamu masih belum pulang, ayah dan ibuku akan kesini juga. Kita bermalam disini untuk menjagamu bersama-sama, tidak apa-apa kan?'Aku terkejut bukan main, sebegitu khawatirnya dia denganku. Sungguh di luar nalarku, aku sendiri tidak ter
Aku mondar-mandir di halaman rumah, jam semakin berjalan ke kanan, sudah semakin larut. Tetapi orang tuaku belum juga kembali ke rumah. Berkali-kali melihat jam yang terpasang di tanganku, tapi jarumnya seakan-akan berhenti, aku membuka mataku lebar-lebar barangkali mataku yang bermasalah karna melihat jam yang tidak kunjung berpindah posisi."Mbak clara, duduklah disini!" Perintah pak darman, papa aryo.Aku hanya menengok ke arah mereka, dan terus mondar-mandir di depan rumah. Akhirnya aku memutuskan untuk berlari pergi dari rumah, yang membuat keluarga aryo panik."Clara mau kemana?" Teriak mama aryo, yang membuat Aryo dan papanya langsung melihat ke jalan.Aku tidak menggubris apa yang di teriakkan oleh mamanya aryo."Dek, kejar clara buru. Udah setengah 11 malam ini. Takut ada apa-apa" Mama aryo panik, aryo langsung mengejarku. Beberapa kali ia meneriaki namaku, tapi aku terus berlari ke gang ujung desa sambil menangis, berharap orang tuaku aka
Aku melangkahkan kaki ku pelan-pelan menuju rumah. Sepanjang jalan aku hanya diam, menganggap diriku sangat egois. Tidak berfikir bapa yang akan tetangga ucapkan jika melihatku dan aryo di gang malam-malam.“ Kalau malam ini orang tuanya clara belum pulang, mama nginep di rumah clara ya pa” Ucap mamanya aryo meminta izin dengan suaminya.“ Ya ma, gapapa. Mama jagain clara di rumah aja ya, sambil nunggu orang tuanya pulang” Jawab papa aryo mengizinkan.Aku mendengar percakapan itu, sontak membuatku menangis. Aku merasa bersalah telah lari dari rumah malam-malam. Aku malu dengan apa yang aku lakukan, hanya memikirkan diriku sendiri, tidak memikirkan orang-orang baik di sekitarku.“ Paman, bibi. Clara minta maaf ya, clara sudah banyak merepotkan, clara nggak berfikir bagaimana harga diri keluarga paman dan bagaimana harga diri keluarga clara. Maafin clara ya, clara nyesel sudah lari dari rumah malam-malam, clara egois!!” Ucapku kepada orang tua aryo sambil meneteskan air mata lagi.Aku m
Derasnya air sungai yang mengalir saat musim hujan. Sawah-sawah mulai penuh dengan air. Suasana pedesaan yang masih asri, dikala fajar tiba burung bersaut-sautan. Saat senja, pemandangan di ujung desa sangatlah tidak ada duanya. Namaku Clara Arlita Xenasya, mereka memanggilku ara. Aku lahir di tengah keluarga sederhana, orang tuaku hanyalah seorang buruh harian lepas, dan ketika beliau tidak ada panggilan kerja, biasanya beliau menggarap sawah milik pak lurah. Hidup di pedesaan yang masih jauh dari kata tercukupi. Listrik masih sering mati ketika hujan, tabung gas LPG pun tidak semua kebagian, sinyal hanya ada di beberapa titik saja, dan jalan pedesaan yang masih belum di aspal. Akan tetapi desaku kaya akan air yang jernih, dan pemandangan yang indah. Berbeda dengan kota, semua tercukup tapi untuk mendapatkan air bersih saja mereka harus membeli.Teman-temanku selalu berkata bahwa anak desa sepertiku tidak perlu bermimpi tinggi untuk hidup di tengah pe
Menjalani hari-hari tanpa dukungan dari keluarga dan teman-teman, tidak membuatku pesimis akan mimpiku yang akan terwujud ini. Meskipun aku harus menepis semua omongan-omongan yang keluar dari mulut semua orang yang berkata buruk tentang impianku. Mereka semua tidak memiliki mimpi, tidak seperti aku.“Kak, ibu pamit mau kerja dulu ya” Pamit ibuku, pukul 6 pagi.Ibuku bernama Xena wulandari, beliau pernah bermimpi ingin memiliki butik terkenal di kota Yogya, akan tetapi impiannya kandas ketika mendapatkan kabar bahwa orang tua beliau meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, yang menyebabkan ibuku harus bekerja serabutan untuk hidup bersama saudara-saudaranya. Sayangnya, setelah kegagalan yang bertubi-tubi menyebabkan ibuku tidak percaya akan mimpinya lagi, maka sampai hari ini, beliau hanyalah seorang buruh cuci di salah satu rumah pengusaha di kota yogya, selain itu terkadang ibuku juga harus mencari tambahan uang untuk bisa membayar buku sekolahku.
Menghabiskan waktu di sekolah tercinta, bercanda ria dengan teman sekelas, mengikuti rapat dengan anggota organisasi, mengikuti ekstrakurikuler dan berdoa agar jadi pulang pagi. Hari begitu seru jika selalu kita syukuri. Bangunan sekolah yang hanya sederhana, mungkin bisa dibilang sudah tidak layak dijadikan sekolah. Akan tetapi, inilah sekolah satu-satunya yang mampu menampung kami, anak-anak orang miskin di pelosok desa. Bahkan ketika hujan anginpun, kita selalu was-was dan berdoa agar dinding kelas tidak roboh.“Pulang sekolah mau kemana, beibbb?” Tanya dea, ke Drimisya Girl. Terdengar sangat lucu, tapi ini nama geng kami, gabungan dari Wulan anggita Utami, Clara Arlita Xenasya, Dea Rahma, dan Bilqis Ria Ramadhani.“Aku langsung pulang, mau belajar” Jawabku cepat.“Dihh... masih aja berharap keajaiban pengen masuk UGM ternyata” Ejek wulan kepadaku.“Udahlah ra, orang tuamu kita itu sama, cuman buruh kadang juga
Memiliki teman yang selalu ada ketika sedang berada di titik terbawah, membuatku selalu bersyukur bisa akrab dengan mereka. Sejak kecil kita memang selalu main bersama, mungkin karna rumah kita yang tidak terlalu jauh, dan mungkin juga karna kesamaan perekonomian yang kita alami. Tapi mendapatkan teman seperti mereka bertiga adalah anugrah yang tidak henti-hentinya aku syukuri, walaupun kita berempat selalu berbeda pendapat, apalagi soal mimpi.Pagi ini, wulan dan dea datang ke rumahku, hanya untuk sekedar mengobrol, akan tetapi ria tidak ikut karna dia sedang pergi ke kota bersama kakak perempuannya. Kita janjian pukul 10 pagi, dan seperti rakyat pada umumnya, janjian jam 10 datangnya habis dzuhur.“Hallooo sayang.. lama banget ya pasti nunggunya hahaha” Sapa wulan mengagetkanku, aku saat itu sedang menjemur jagung di depan rumah sambil menulis sebuah cerpen.“Astaga kaget” Jawabku spontan.“Ini belum malem lo, kok udah mimp
Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya, karna hari ini adalah hari libur, dan aku ingin ikut ibuku bekerja di kota. Jam 4 pagi aku sudah bangun dan membantu ibuku di dapur. Mulai hari ini, ibuku mencoba menjual donat yang akan di titipkan di warung-warung dekat rumah. Karna perekonomian keluarga kami yang sedang menurun, di tambah sudah 1 minggu bapak sakit, sehingga uang ibuku tidak cukup untuk membeli beras dan memberiku uang saku.“Hari ini clara libur bu, gurunya baru ada rapat buat persiapan ujian, hari ini aku ikut ibu ke kota ya, bantu ibu. Biar kerjaan ibu cepat selesai, terus sorenya kita bisa bikin gorengan buat di titipkan di warung mie ayam, yaa bu. Boleh yaaa!! ” rengekku dengan ibu, agar di bolehkan ikut ke kota. Aku tidak tega melihat ibuku membanting tulangnya sendirian, menanggung nafkah keluarga sendirian.“Boleh, asalkan harus bawa buku, jadi kalau kerjaan agak longgar kamu bisa belajar, deal ya” Perintah ibuku.&