Prang … belentang … brak ….“Sonya suara ap ….” Awan kaget saat mendapati Sonya yang sedang melempar peralatan dapur ke dalam tempat cuci piring.Awan berlari menghampiri Sonya dan mematikan air keran, kedua tangannya menyusup ke perut Sonya memeluknya dari belakang. “Kamu kenapa?”Sonya berteriak keras sambil melemparkan spons untuk mencuci piring sembarangan, tangan Sonya mengelus punggung tangan Awan. Sonya menangis tersedu sembari menggeleng berkali-kali. “Hei … kamu kenapa?” tanya Awan sembari mengeratkan pelukkannya sedangkan bibirnya mengecup leher Sonya. “Kamu kenapa? Ada apa?”“Emir … Emir … aku nggak sanggup lagi, Wan. Aku ….” Seolah kehilangan kata untuk mendeskripsikan kelakuan Emir yang membuat Sonya bersedih, Sonya hanya bisa menggigit bagian bawah bibirnya dan menangis sekencang mungkin hingga tubuhnya bergetar hebat. Emir benar-benar lelaki yang mengacak-ngacak hidup Sonya, melemparkan dirinya ke sebuah lubang k
"Wan ... jadi pergi?" tanya Sonya yang sudah siap dengan mengenakan celana pendek dan kaus tank top hitam yang dipadankan dengan kemeja putih.Awan mengalihkan pandangannya dari televisi ke arah Sonya, pandangan mata Awan kosong. Ia berdiri dan mengambil kunci mobil, berjalan melintasi Sonya ke arah luar kamar seolah mengabaikan Sonya."Wan?" tanya Sonya bingung karena melihat Awan meninggalkannya sendirian di kamar, "Wan, kok aku ditinggal?"Blam ...."Eh ...." Sonya makin aneh saat melihat pintu kamarnya ditutup oleh Awan, ada apa ini? Kenapa tiba-tiba Awan mengabaikannya? Sonya langsung mengingat kelakuan Awan dulu yang ngambek karena dia terlihat bermesraan dengan Emir, sekarang apa kesalahan Sonya? Dia tidak bermesraan dengan Emir atau siapa pun juga, jadi kenapa Awan mengabaikan dirinya?"Awan ... Awan ...." Sonya mengejar Awan yang sudah berada di ujung jalan dan membuka pintu mobilnya. Sonya berlari tanpa peduli dengan kondisi jal
"Awan ... kamu kenapa?" Suara Sonya menyadarkan Awan dan mengembalikannya ke kenyataan, ia dengan cepat mendongah mendapati Sonya yang sedang berjalan ke arah dirinya dengan kaki terpincang-pincang karena menahan sakit. Wajahnya menunjukkan kalau Sonya merasa khawatir dan menahan sakit. "Awan ... kamu kenapa?" tanya Sonya lagi, langkahnya terhenti di hadapan Awan yang masih berjongkok. Kepala Awan saat ini berada di depan perut Sonya, Sonya yang mengenakan tank top hitam membuat perut bagian bawahnya terlihat. Awan mengaitkan telunjuknya ke tank top Sonya, menarik ke atas untuk melihat luka bekas operasi Sonya dengan lebih jelas. Matanya memicing dan mulai menyadari kalau bekas operasi itu ada dua bagian, segurat halus hampir tidak terlihat tapi, Awan yang sudah terlatih mulai sadar. Selama ini A
Mata Sonya membulat dan napasnya seolah tercekat di tenggorokkan, keringat dingin mengalir deras saat matanya terkena lampu jauh bus besar di hadapannya. Detik itu juga Sonya berdoa didalam hatinya bila ia tidak selamat dari keadaan ini, ia ingin dimatikan secepatnya dan bertemu dengan Janu. Anaknya.Sorot lampu seolah menyadarkan Awan, dengan cepat kewarasannya mengambil alih. Pikirannya berputar cepat, kesadarannya menggedor isi pikirannya membuat Awan kembali menghantam sebuah masa lalu yang sudah ia kubur sedalam mungkin di dalam hatinya, sebuah kotak pandora besar yang ia kubur di alam bawah sadarnya seolah terbuka.Sebuah gambaran masa lalu berkelebat dengan cepat di matanya, sosok wanita cantik berambut panjang yang sedang menjerit memanggil namanya menarik kesadaran Awan dengan paksa."Selena ...." Awan membanting stir ke kiri secepat yang ia bisa, ia hanya bisa berdoa semoga truk di samping kirinya mau mengalah dan melambatkan laju kendaraannya.
Sonya membuka matanya, tangannya mengusap samping ranjang yang dingin. Ingatannya dengan cepat kembali ke saat ia kembali pulang ke hotel, selama perjalanan bersama Awan, mereka sama sekali tidak berbicara dan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Awan sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun selain selamat tidur dan menggeret kopernya keluar dari kamar Sonya dan berpindah ke kamar lainnya di hotel itu. Sonya sama sekali tidak mencegah atau melarangnya karena dirinya tidak mungkin memohon pada Awan dan menggadaikan harga dirinya. Tidak, Sonya masih memiliki harga diri, hanya itu yang Sonya miliki untuk saat ini."Jam sepuluh," bisik Sonya sembari melihat layar ponselnya, ia ingat hari ini ia harus kembali pulang ke Jakarta dan kembali kerutinitasnya lagi. Harapan Sonya adalah saat pulang dari liburan ia bisa sedikit melepas stres namun, yang ada dia malah menambah beban pikiran. Sonya beranjak dari ranjang, manik matanya terhenti pada nampan beris
Awan berguling ke kanan dan ke kiri di atas tempat tidurnya, entah kenapa matanya tidak mau terpejam padahal waktu sudah menunjukkan pukul 4 subuh tapi, ia sama sekali belum tidur dari tadi ia hanya berguling ke kanan dan ke kiri melihat semua sosial media, menonton TV yang entah apa siarannya dan melihat sosial media Sonya, berkali-kali dan terus menerus.Oke ... Awan mengaku, ia lebih banyak melihat sosial media Sonya, foto-foto mereka berdua, bahkan ia sampai melihat sosial media Sonya berlogo F hingga ia tahu kapan wanita itu lulus kuliah dan apa mata kuliah juga dosen yang ia benci. Astaga ... Awan benar-benar tidak bisa untuk tidak memikirkan Sonya, diotaknya hanya ada Sonya ... Sonya ... Sonya dan Sonya."Astaga ...," maki Awan kesal sembari menggaruk bagian kanan dan kiri kepalanya. Dengan menyeret langkahnya Awan berjalan ke kamar mandi dan mencuci mukanya.
Awan berjalan ke arah ruang makan dan hanya mendapati Romli yang sedang asik makan. "Yang lain ke mana, Ki?" "Pada udah selesai makannya, kamu lama bener keluar kamar. Ngapain aja?" tanya Aki sembari menatap Awan penuh kecurigaan. "Nggak ngapa-ngapain, Awan cuman mandi dulu," jawab Awan singkat sembari duduk di kursi, tangannya mengambil teko teh dan mulai meracik teh yang akan ia minum. Saat meraciknya Awan sama sekali tidak fokus, pikirannya kembali melayang pada Sonya. Awan merasa tidak enak karena sudah meninggalkan Sonya dan memberikan sepucuk surat yang menurutnya sangat kekanak-kanakan. Argh ... kenapa dia harus sosoan memberikan sepucuk surat penuh untaian kata penyesalan pada Sonya? Astaga ... bahkan detik ini Awan sudah lupa apa yang ia tulis. "Wan ... kamu yakin mau minum itu?" tanya Romli membuyarkan lamunan Awan. "Hah? Emang kenapa? Tehnya belum kadaluwarsa, kan?" tanya Awan sembari mengambil bungkusan teh dan melihat tanggal kadaluwarsanya yang
"Tolong, pasien ini harus dirujuk," ucap Sonya sembari membaca rekam medis di tangannya. Saat ini ia sedang mengurus salah satu pasiennya."Keluarga pasien menolak, Dok," ucap Heni, salah satu perawat yang bertugas di sana."Hah? Nggak salah? Mereka menolak karena apa? Ini pasien sudah dari senin di sini dan sekarang sesak ditambah darah tingginya nggak karu-karuan." Sonya memijat keningnya karena tiba-tiba merasa pusing dengan kebebalan keluarga pasien. "Mereka menolak, Dok, padahal Dokter Susan sudah bilang, kalau pasien harus rujuk tapi, keluarga pasien menolak," terang Heni lagi."Mana Dokter Susan?" tanya Sonya, matanya mencari di mana Susan berada dan ia menemukan Dokter Bedah itu berjalan ke arahnya. "Dokter Susan.""Dokter Sonya? Kenapa? Bisa pasien dibius?" tanya Susan sembari mengambil rekam medis dari tangan Sonya."Bisa tapi, prosedurnya terlalu beresiko kalau tetap dioperasi di sini, nyawa pasien bisa bahaya bahkan