Sonya mengambil botol air dari kulkas, lalu meminumnya hingga tandas. Berharap air itu bisa mencairkan kebekuan pikirannya karena ulah suami dan beban pekerjaan.
Bayangan sosok Janu, membawa langkah kaki Sonya menuju kamar putra semata wayangnya. Janu yang didapatkannya dengan susah payah melalui proses bayi tabung, harus pergi meninggalkannya secepat itu. ia bahkan belum sempat menghabiskan banyak waktu bersama Janu karena kesibukannya di rumah sakit. Pukul sembilan malam dan itu hari kedua Emir meninggalkan rumah setelah pernikahan mereka.
Langkahnya gontai menuju lemari menatapi rak demi rak di mana pakaian Janu berada. Air matanya keluar tak henti sejak tadi. Hatinya terasa sangat kosong seakan hidup yang dijalaninya sekarang pun tak ada gunanya. Sepasang pakaian rumah yang paling sering dikenakan Janu, tenggelam di tangannya.
“Nak ... maafin, Mamah,” isak Sonya sembari berbaring di kasur milik Janu. Sonya meringkuk di ranjang anaknya itu berusaha untuk menenangkan dirinya dari gelombang kesedihan yang tiba-tiba menerpa Sonya.
“Maafin Mamah, Sayang. Maafin Mamah yang nggak bisa jaga kamu. Mamah salah, Sayang. Mamah salah ....” Sonya menangis sesenggukan akibat rasa bersalah yang sudah menguasai dirinya saat ini, tubuhnya bergetar dan lututnya makin dekat dengan dadanya, tangis Sonya terdengar sangat pilu dan menyayat hati siapa pun yang mendengar suaranya.
“Maaf, Sayang, Maaf ....” Sonya menutup matanya sambil terisak hebat, ini adalah satu-satunya situasi yang membuat Sonya menitikkan air matanya.
Rasa kehilangan Janu yang mampu membuat Sonya menangis hingga kesulitan bernapas, hanya itulah hal yang membuat Sonya menangis parah. Bahkan, kelakuan Emir yang tukang selingkuh dan berhubungan badan dengan semua wanita murahan yang bisa ia bayar di muka bumi ini.
“Maafkan Mamah, Janu anak Mamah yang paling Mamah sayang, maaf ... maaf.” Sonya terus bergumam kalimat tersebut, sebuah kalimat yang Sonya harap bisa menghapus rasa bersalah yang Sonya menggerogoti dirinya.
Sonya beranjak dari ranjang Janu dan pergi keluar kama anaknya itu, melangkahkan kakinya dengan gontai ke kamar miliknya, Sonya ingin mengistirahatkan tubuhnya yang sudah babak belur akibat pertengkaran dengan Emir dan rasa bersalah yang menyelimutinya. Dengan cepat Sonya membaringkan tubuhnya di ranjang miliknya sendiri sembari memeluk pakaian Janu, mengisap wangi malaikat kecilnya hingga Sonya terlelap tidur.
***
"Sonya ... Sonya," panggil Emir pelan sembari mengusap bahu Sonya yang sudah tertidur sembari memeluk pakaian Janu.
Selama dua hari ini Emir tinggal bersama selingkuhannya, namun, tadi malam selingkuhannya pergi ke acara keluarganya dan Emir menolak untuk ikut karena dirinya masih berstatus suami Sonya. Emir akhirnya pergi ke klub malam yang sering dia datangi untuk memanjakan hasratnya dengan wanita-wanita malam yang ada, sayangnya karena ada sesuatu hal Emir harus pergi meninggalkan klub lebih cepat dan mendatangi Sonya.
Sonya istrinya yang cantik dan memiliki tubuh bak gitar Spanyol namun, setiap Emir menatap wajah dan manik matanya detik itu juga Emir akan merasakan rasa bersalah dan insecure yang teramat sangat. Rasa bersalah karena dirinya tidak dapat menjaga Janu dengan baik hingga mengakibatkan kematian anak semata wayangnya itu dan rasa insecure karena saat ini dirinya yang harusnya berperan sebagai kepala keluarga yang mampu menghidupi keluarganya harus berada di bawah Sonya karena sudah beberapa tahun ini Sonyalah yang menghidupi keluarganya.
Pekerjaan Emir benar-benar tersedat, sebagai kontraktor yang mengandalkan tender dari almarhum bapaknya saat ini Emir sangat kesulitan mendapatkan tender yang menguntungkan dan besar, hal itu mau tidak mau membuat Emir harus pasrah saat semua biaya kehidupan dan modal usahanya di biayayai oleh Sonya, hal itu kadang membuat ego prianya tergerus dan membuat dirinya melakukan tindakan yang menyakiti Sonya.
"Sonya ... bangun," pinta Emir sembari mengecupi pipi Sonya berharap Sonya bangun.
Sonya bergerak dan memutar tubuhnya hingga mendapati Emir di hadapannya, hidung Sonya mencium bau minuman keras bercampur dengan parfum murahan beraroma mawar. "Kamu dari mana?"
"Aku mau peluk kamu, Sonya," ucap Emir sembari mencoba memeluk Sonya, minuman keras yang sudah dia tegak untuk menghilangkan rasa bersalah atas kematian Janu membuat dirinya melakukan sesuatu hal yang paling Sonya benci, menyetubuhi Sonya dalam keadaan mabuk.
"Kamu habis dari mana, Emir!? Kamu dari mana?" Sejujurnya Sonya tahu dari mana suaminya itu datang, Sonya tahu kalau sudah sebulan ini Emir bolak balik ke klub malam, menghamburkan uang seenaknya dan melakukan BO dengan wanita-wanita murahan di sana atau pergi dengan sekretaris sialannya. Sonya tahu semuanya, itu semua dapat Sonya liat dari tagihan kartu kredit milik Emir.
"Aku mau kamu, Sonya. Aku mau ...." Emir dengan cepat melumat bibir Sonya dengan kasar, tangannya dengan cepat menyusup ke balik celana dalam Sonya dan memasukkan jemarinya ke bagian kewanitaan Sonya.
Sonya terkesiap saat merasakan jemari Emir mengoyak kewanitaannya dengan kasar, detik itu juga rasa perih langsung Sonya rasakan di bagian inti tubuhnya karena Emir benar-benar menggerakkan telunjuk dan jari tengahnya dengan seenaknya, mengoyak bagian paling sensitif milik Sonya.
“Emir, sakit,” pekik Sonya sembari mendorong tubuh Emir lebih keras lagi berjuang untuk melepaskan jemari Emir yang terus bergerak memberikan rasa sakit yang langsung menyebar dari bagian inti ke seluruh tubuhnya.
“Diam, Sonya ... tunaikan tugas kamu, sialan?!” seru Emir yang terpicu rasa kesalnya karena mendapatkan penolakan dari Sonya, dengan cepat Emir menangkap tangan Sonya dan menahannya dengan tangannya di atas kepala Sonya, sedangkan tangan lainnya terus bergerak keluar masuk di bagian kewanitaan Sonya.
Sonya menjerit keras saat merasakan gigitan di bagian putingnya yang tersingkap dari pakaian tidurnya yang berdada rendah, Emir menggigit dan meliukkan lidahnya di puting payudara Sonya berharap Sonya terangsang namun yang Sonya rasakan hanya rasa sakit yang menghantam Sonya, suara rintihan Sonya terdengar di telinga Emir. Emir sama sekali tidak mengindahkan suara rintihan Sonya, dengan cepat Emir mencium bibir Sonya dengan kasar berusaha untuk meredam suara rintihan Sonya.
"Lepas!?" jerit Sonya di sela-sela ciuman Emir yang membuat bibirnya sakit bukan main karena suaminya itu menggigitnya dengan seenaknya.
Seolah kesetanan Emir sama sekali tidak peduli dengan teriakkan dan penolakan yang Sonya berikan, malah semua penolakan Sonya membuat Emir makin bergairah dengan cepat dibukanya celana panjang miliknya dan mengarahkan kejantanannya untuk memasuki tubuh Sonya dengan paksa.
"Ahh ... sakit, Emir sakit!?" jerit Sonya sembari menendang-nendang kakinya membuat Emir kesulitan ungtuk memasuki tubuh Sonya. Iya ... mungkin Emir adalah suaminya tapi, Sonya tidak mau dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan Emir dan lebih parahnya lagi dalam keadaan Emir mabuk juga memiliki bau badan seorang lonte.
"Emir stop ... aku mohon stop," isak Sonya sembari menggerakkan seluruh tubuhnya berjuang untuk mempertahankan celana dalamnya agar Emir tidak memasuki tubuhnya dengan paksa.
"Kenapa aku harus stop?" sentak Emir sembari melepaskan gigitannya dan menatap manik mata Sonya. "Kamu istri aku dan aku berhak akan diri kamu."
"Kamu memang suami aku dan kamu berhak akan diri aku tapi, aku tidak sudi melayani kamu dalam keadaan kamu mabuk dan wangi parfum lonte!?" teriak Sonya sembari menahan air matanya yang sudah berdesakkan untuk keluar dari matanya.
"Aku nggak mabuk dan aku nggak wangi lonte!?" teriak Emir yang masih dalam pengaruh alkohol, tangannya dilepaskan dari lengan Sonya, kakinya mengendur membuat Sonya dengan cepat mendorong tubuh Emir.
"Orang buta aja tahu kalau kamu mabuk, Emir!?" sentak Sonya sembari menjauhkan dirinya sejauh mungkin dari tubuh Emir.
"Oke fine ... fine, aku mabuk tapi, aku nggak pake lonte!?" teriak Emir sembari menatap manik mata Sonya yang terlihat menahan tangisnya.
"Emir, please jangan siksa aku lagi dengan kelakuan kamu yang suka bolak balik ke klub malam, aku tahu kamu lakukan ini semua karena rasa bersalah kamu karena kematian Janu, aku tahu. Jadi, aku mohon sama kamu ayo kita lalui ini bersama-sama, Emir," pinta Sonya berharap masih ada rasa sayang Emir pada dirinya.
"Aku nggak bisa, Sonya, aku nggak bisa," jawab Emir sambil menatap Sonya dan tertawa seperti orang gila, pengaruh alkohol benar-benar membuat Emir berperilaku sinting. "Setiap aku lihat mata kamu, aku selalu merasa bersalah."
"Emir ... udah aku mohon, udah. Stop, jangan ke klub malam lagi dan jangan pakai wanita-wanita murahan itu. Aku mohon, aku senang hari ini kamu nggak pakai wanita murahan itu dan memilih untuk menyentuh aku, aku senang." Sonya mendekati Emir seraya menyentuh pipi suaminya itu berharap kalau suaminya terketuk hatinya dan mau berubah.
"Aku nggak pakai lonte, Sonya. Aku nggak pakai mereka hari ini ...."
"Iya ... stop, aku mohon stop. Ayo ... kita sama-sama hadapi semua ini, ayo kita jalani semuanya." Sonya mengenakan baju tidurnya dan menutupi setiap lekuk tubuhnya.
"Hahaha ... aku nggak bisa Sonya, aku nggak bisa untuk berhenti minum dan pakai perempuan-perempuan itu," ucap Emir sembari memukul pipi Sonya pelan.
Sonya menyerngit karena menahan mual akibat bau alkohol dari napas Emir, "Kenapa?"
"Kalau aku stop minum aku pasti lihat kamu lagi dan aku setiap liat muka kamu aku langsung merasa bersalah lagi. Aku ... nggak bisa, Sonya.” Emir menggaruk kepalanya dengan keras seperti orang frustrasi.
"Aku nggak nyalahin kamu, Emir, itu hanya perasaan kamu aja. Ayo dong Emir kamu pasti bisa untuk menjauhi itu semuanya, buktinya sekarang kamu nggak pakai perempuan murahan dan malah pulang, Emir," bujuk Sonya.
Emir tersenyum dan menatap Sonya dengan tatapan mengejek, "Sonya, kamu tahu kenapa aku pulang dan aku nggak pake lonte?" tanya Emir.
"Karena kamu sadar itu salah dan mau bareng sama aku buat sama-sama melanjutkan hidup?" tanya Sonya penuh harap.
"Hahaha ... salah, Sayang. Salah, aku pulang dan nggak pake perempuan murahan karena limit kartu kredit aku habis!?" Setelah berkata itu Emir ambruk dan tertidur di samping Sonya.
Mendengar perkataan Emir, Sonya menggigit bibirnya. Bahkan suaminya pun seakan berubah menjadi sesuatu yang menambah kepahitan hidupnya. Keprgian Janu membuat kehidupannya bersama Emir seperti neraka. Setiap perkataan Emir yang dilontarkan padanya seakan berniat ikut membunuhnya perlahan-lahan. Semakin lama ... semakin berat mengharapkan seorang Emir yang bisa menenangkan kegelisahan hati dan mengisi kekosongan atas kepergian Janu.
Sonya bangkit dari ranjang. Emir menggeliat dan menyebut namanya.
“Sonya ... layani aku dengan gratis ....”
••
Air hangat mengguyur kepalanya dengan deras, suara gemercik air terdengar hampa di kuping Sonya, sehampa kehidupannya yang porak-poranda. Sonya menutup mata dan meremas spons yang sudah bercampur sabun, perlahan ia mengusap bagian tubuhnya yang tadi dikecupi Emir dengan keras, berusaha menghilangkan setiap jejak yang Emir torehkan di tubuhnya. “Mama ... jangan pulang lama, ya. Bantu aku susun puzzle. Sama papa nggak asyik.” Entah dari mana tiba-tiba saja suara Janu masuk ke dalam kepala Sonya, mengingatkannya pada kenangan manis antara dirinya dan Janu. “Ma ... Janu sayang Mama nggak banyak. Janu bisa sayang yang banyak kalau Mama pulang cepet dan peluk Janu sambil tidur, Janu kangen dipeluk Mama.” Sonya kembali menangis saat mengingat apa yang dikatakan oleh Janu, sebuah permintaan kecil yang sangat diinginkan oleh Janu yang belum bisa Sonya penuhi karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Andai waktu bisa diputar kembali, Sonya pasti
"Kamu udah enakan, Sonya?" tanya Lidya sembari menyodorkan teh hangat ke tangan Sonya yang bergetar. "Aku mau mati, Lid ... aku nggak kuat, aku nggak sanggup," bisik Sonya dengan tatapan hampa dan kosong menatap dinding putih di hadapannya. Entah bagaimana caranya Sonya bisa menjalankan mobilnya dan selamat sampi di rumah Lidya dalam keadaan histeris dan menangis di sepanjang jalan. Mungkin semesta masih menginginkan Sonya hidup dan menyiksanya lebih berat lagi, Sonya tidak tahu padahal Sonya sangat menginginkan dirinya kecelakaan dan mati, dia benar-benar sudah lelah dengan hidupnya ini. "Sonya ... jangan ngomong gitu," bisik Lidya sembari merangkul sahabatnya itu dan menahan tangisnya, hatinya terenyuh melihat penderitaan Sonya yang disia-siakan suaminya. "Aku udah nggak sanggup, Lidya, ke mana suami aku yang dulu sayang dan cinta sama aku? Ke mana laki-laki yang selalu menghargai aku dan mendukung aku meraih semua mimpi aku? Ke mana dia?" tanya Son
"Kenapa aku nggak mati aja, sih, Bu?" tanya Sonya dengan tatapan kosong. "Nak, nggak boleh ngomong gitu," Parwati yang sedang menyuapi Sonya menahan tangisnya saat mendengar perkataan Sonya, hatinya benar-benar sakit saat mendengar perkataan menantu kesayangannya itu. "Kadang aku ngerasa kalau semua kesakitan di hidupku, nggak ada habisnya," ungkap Sonya pelan. "Sonya Tuhan tidak akan mungkin memberikan cobaan pada umatnya bila umatnya tidak sanggup melaluinya, Sonya," bisik Parwati mencoba menyemangati Sonya sembari menyuapkan makan siang ke mulut Sonya. Dengan malas Sonya membuka mulutnya dan berjuang mendorong makanan yang mertuanya itu suapkan. "Tapi, Sonya udah nggak sanggup, Bu. Sonya nggak sanggup, Sonya mau mati aja, Bu," isak Sonya. "Sonya ... Sonya maafkan Ibu, tapi, Ibu harus menandatangani surat persetujuan tindakan medisnya, mereka bilang kamu harus secepatnya dioperasi kalau tidak nyawa kamu tidak tertolong," isak Parwati sembari
"Gimana?" tanya Sonya santai sama sekali tidak terpancing emosinya sama sekali."Maksudnya apa? Kenapa kamu tiba-tiba menjalani operasi pengangkatan rahim tanpa persetujuan aku!? Kamu gila atau apa? Kamu nggak mau punya anak lagi, hah!?" tanya Emir yang marah karena mengetahui kalau istrinya saat ini sudah tidak memiliki rahim lagi dan tidak mungkin bagi mereka berdua mendapatkan kembali anak. Padahal, Emir sangat menginginkan Sonya untuk hamil kembali."Kamu dari mana aja?" Sonya sama sekali tidak menjawab pertanyaan Emir.Emir menatap manik mata Sonya tidak percaya karena istrinya ini malah bertanya balik dan bukan menjawab pertanyaannya sama sekali. Dengan kesal Emir menutup pintu kamar rumah sakit, "Sonya, aku tanya sama kamu. Kenapa kamu melakukan prosedur operasi pengangkatan rahim tanpa persetujuan aku?"
1 tahun kemudian ...."Sonya udah," bisik Lidya yang kaget melihat Sonya mencabik-cabik tisu seperti orang kurang waras."Kenapa ibu maksa bangat bikin acara kaya gini, sih?" tanya Sonya semaput karena Parwati tiba-tiba meminta dirinya untuk mengadakan acara ulang tahun perkawinan dirinya dengan Emir."Ya ... mungkin dia ingin liat kamu sama Emir bahagia?" canda Lidya sembari mengambil gumpalan tisu yang sudah Sonya cabik-cabik."Wow ... bahagia banget hidup aku sama Emir, saking bahagianya aku senang banget dia nggak pernah pulang ke rumah," jawab Sonya sembari membawa gelas berisikan champagne dan menegaknya hingga habis."Dia beneran nggak pulang?" tanya Lidya yang mulai khawatir dengan kehidupan pernikahan Sonya yang benar-
15 menit sebelumnya ...."Kamu kenapa?" tanya Miska bingung saat melihat Emir yang menekuk wajahnya selama mereka berduaan di pojokkan rumah Sonya, bersembunyi dari para tamu undangan.Miska sudah tau status dirinya yang hanya dijadikan selingkuhan oleh Emir, Miska sama sekali tidak berkeberatan karena dia tahu kalau hubungan Emir dan Sonya sama sekali tidak bisa diselamatkan lagi tapi, mereka masih bersama demi kesehatan ibu kandung Emir."Kamu kenapa, Emir? Kamu sakit?" tanya Miska sembari menyapukan jemarinya di rambut Emir yang tebal.Emir yang merasakan sentuhan di kepalanya langsung menepis tangan Miska, dia sedang tidak mood untuk disentuh oleh selingkuhannya ini. Hatinya benar-benar panas saat mendengar perkataan Sonya yang mengatakan kalau selama ini tidak pernah terpuaskan olehnya. Ingin rasanya Emir sobek mulut Sonya saat mendengar hal tersebut, apakah dirinya semenyedihkan itu sampai tidak bisa membuat Sonya orgasme?"Mir, kamu kenapa?"
"Aw ... sakit, Bu Sonya."Sonya dengan sekuat tenaganya menarik rambut Miska dan menyeretnya untuk beranjak dari ranjangnya sambil sesekali tangannya menampar dan mencakar bagian mana pun dari tubuh Miska yang bisa Sonya kenai."Wanita kurang ajar!? Nggak cukup kamu bercinta di kantor suami aku, hah!? Sekarang kamu bercinta di kamar aku! Perempuan nggak punya otak!?" maki Sonya sembari terus memukuli Miska dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya menjambak rambut Miska sekeras mungkin hingga membuat tubuh wanita itu terseret kemudian entah tenaga dari mana Sonya mampu membanting tubuh Miska ke lantai dengan keras."Sonya! Apa-apaan kamu!? Lepasi Miska, Sonya!" sentak Emir yang kaget dengan betapa besar tenaga istrinya itu, tubuh Sonya yang kecil ternyata mampu menyeret Miska hingga terpelanting ke lantai."Bu Sonya, lepas, Miska mohon lepas, sakit, Bu," pinta Miska sembari mencengkeram tangan Sonya berusaha untuk melepaskannya.
Sonya menampar pipi Emir sekeras mungkin dengan tangan yang sudah terlepas dari kuncian suaminya itu, tubuhnya bergetar menahan amarah dan sorot mata tajam Sonya tidak bergerak dari manik mata Emir.“Mau kamu apa, hah?!” sentak Emir yang kaget saat mendapati rasa sakit akibat tamparan Sonya yang sangat keras.Sonya menyusupkan kakinya di antara tubuhnya dan menendang tubuh Emir dengan keras hingga membuat tubuh suaminya itu terjengkang, Sonya hanya melihat sekilas pada Emir yang tubuhnya menabrak lemari baju.“Mau aku? Mau aku kamu nggak udah bawa lonte ini ke rumah aku, ke ranjang aku?!” sentak Sonya sembari mendekati Miska yang menatap ketakutan pada dirinya. Dengan cepat Sonya menarik selimut yang menutupi tubuh Miska hingga membuat wanita itu hanya mengenakan pakaian dalamnya saja.“Astaga ... kamu suka lonte kaya begitu? Bahkan pakaian dalamnya saja murahan!? Mirip kaya anak SMA?! Nafsu kamu sama yang kaya begitu?!&rdquo