"Ayah, tadi ada temen aku nangis di sekolah."
Kata Dona anak manisku. Malam ini ia menginap di rumah mama, di rumahku. Karena kebetulan besok hari libur. Rencananya aku akan bawa Dona buat jalan-jalan ke tempat wisata terdekat bersama mama dan juga Nessia.
"Nangis kenapa Sayang?" tanyaku menyelidik. Aku membelai rambutnya. Kini kami sedang duduk di ruang televisi. Sedangkan mama dan Nessia ada di kamar. Mungkin masih melaksanakan kewajiban lima waktu. Sedangkan aku sudah beberapa menit yang lalu.
"Katanya mama sama papanya bercerai," jawab Dona dengan polos.
Keningku mengernyit. "Oh ya? Kasihan dong," jawabku menatap dirinya yang sendu.
"Memang bercerai itu gimana? Kok kasihan? Aslan juga nangis-nangis. Katanya, papanya kini pergi dari rumah. Dia nangis terus di sekolah," jawab Dona kembali dengan penuh keheranan.
"Oh nama teman kam
PoV Dani***Beberapa bulan kemudian."Mas Dani? Kamu nyari aku?" tanya Alessa kaget. Karena aku menghampirinya ke rumah sakit tempat ia praktek. Kebetulan ini lagi jam istirahat.Aku hanya tersenyum."Ya udah, kita ngobrol di taman saja, yuk," ajak Alessa."Oke," jawabku singkat.Alessa membawaku berjalan ke arah taman samping rumah sakit. Dimana di sana memang terdapat taman dibubuhi beberapa kursi dan tanaman bonsai.Sesampainya di kursi taman kami duduk berdampingan dengan jarak kurang lebih lima puluh sentimeter."Mas Dani? Kamu tumben kesini? Tadi suster bilang kamu cari aku," tanya Alessa kebingungan.Ia memanggilku Mas, karena usianya memang dibawahku. Alessa berusia sekitar 29 tahun, dan belum menikah karena sibuk berkarir."Ya, sengaja, kok. Mumpung lagi istirahat, dan aku lagi gak dil
PoV Dani***"Kamu kok diem aja?" tanyaku pada Alessa di dalam mobil. Karena kami belum sampai.Alessa kaget. "Heumh, oh, enggak, ya memangnya mau ngobrol apa?" jawab Alessa."Kamu kok belum menikah di usia kamu saat ini?" tanyaku memulai pembicaraan.Alessa diam."Aku memang fokus untuk berkarir dulu." Ia menjawab singkat."Hem," ujarku.Tuh kan, dia malah fokus berkarir. Bukan ingin fokus berumah tangga.Usiaku ternyata tiga puluh dua tahun sekarang. Kenapa ternyata? Karena tanggal dan tahun lahir sebenarnya baru kuketahui sejak aku bertemu dengan orang tua kandungku. Jadi memang dulu ibu dan bapak hanya menebak-nebak saja. Dan aku dengan Diandra hanya beda usia beberapa bulan. Kami lahir di tahun yang sama. Diandra lahir di bulan Desember sedangkan aku lahir di bulan Februari.Lho, kok pikiran ini jadi bahas
PoV Bu Susanti***"Cucu Oma. Yuk kita masuk!" ajakku pada cucuku yang sudah berlari menghampiriku di teras depan. Memang aku sengaja memanggilnya bersama menantuku pula. Ada sesuatu yang ingin kuberikan padanya.Mereka berdua sudah mengucapkan salam dan mengecup punggung tanganku seperti biasanya. Cucuku sangat santun sekali."Mah, Diandra mau ke dapur dulu," kata Diandra. Sepertinya ia ingin menyajikan sesuatu yang ia bawa di kantong kresek putihnya. Gelagat matanya memperlihatkan."Iya. Mama sama Dona ke kamar, ya," jawabku.Diandra pun mengangguk dan dia langsung menuju ke arah dapur. Sedangkan aku dan cucuku berjalan menuju kamar."Oma memangnya mau kasih aku apa?" tanya cucuku sambil berjalan menggandeng lenganku."Ada, aja. Yuk kita masuk ke kamar."Aku dan Dona masuk ke dalam kamar."Kamu duduk ya, Sayang. Oma ada hadiah buat kamu."Dona duduk dengan tatapan menyelidik.Aku mengambi
PoV 3***"Ya ampun, Non. Non kenapa?" Mbok Arum menanyakan perihal Diandra yang meringis. Diandra juga memegangi perutnya."Aduh, Mbok. Perut saya sakit. Kayaknya saya mau melahirkan." Diandra terus meringis sambil berusaha duduk di sofa."Owalah, Non. Iyo, pasti si Non iku mau lahiran." Mbok Arum mulai panik."Sabar ya, Non. Saya telepon dulu den Reza." Mbok Arum segera meraih gagang telepon."Mbok, Mas Reza bilang ia ada di luar kota. Dia pasti lama. Mbok cari taksi saja." Diandra memberi usul dengan nada kesakitan."Owalah. Piye iki? Yo wes Mbok cari taksi dulu." Mbok Arum makin panik."Mbok panggil pak satpam saja." Diandra kembali meminta.Mbok Arum sangat panik sekali. Mau bertindak ini, mau bertindak itu jadi kebawa suasana kepanikan."Mbok sini teleponnya. Tolong hubungkan ke mama, Mbok!" pinta Diandra."Iyo, Non. Iki telepone. Mbok panggil satpam dulu biar cepat bawa Non."Mbok Ar
PoV Dani***"Mah! Di mana anak dan istriku?" Bang Reza telah datang. Aku baru balik dari toilet. Dari kejauhan aku melihatnya yang baru datang."Za, kamu cepat masuk. Anak kamu ada di ruangan ini. Dan Diandra ada di ICU." Mama kedengarannya memberitahu Bang Reza tentang kondisi anak dan istrinya.Nampak Bang Reza masuk ke dalam ruangan NICU. Dia ingin melihat anaknya yang kondisinya ... arkh!Aku mendekat ke arah mereka. Ke arah Mama dan juga Mbok Arum. Namun Bang Reza sudah masuk ke dalam ruang NICU."Dani?" Mama menyapaku."Mana bang Reza, Mah?" tanyaku memendam kekesalan."Dia baru saja masuk." Mama menjawab dengan pelan.Aku mengangguk lalu duduk."Mbok, Mbok pulang saja, ya. Di rumah tak ada siapa-siapa. Dona pasti juga akan segera pulang dari sekolah," ujarku pada Mbok Arum."Baik, Den. Si Mbok pulang dulu." Mbok Arum pamit padaku juga pada mama.Beberapa menit berlalu setelah Mbok Arum pe
PoV Diandra***"Mah? Aku kok hubungi mas Reza kok gak aktif, ya," tanyaku pada Mama di telepon."Oh ya? Mungkin Reza sama Dani masih di pesawat. Ponsel mereka mungkin tak di aktifkan," jawab Mama."Iya, sepertinya. Nanti kalau Mas Dani hubungi Mama, tolong kasih tahu aku ya, Mah, aku juga mau hubungin Mas Reza.""Iya, nanti Mama juga akan coba hubungi mereka." Mama menjawab. Kami pun segera mengakhiri panggilan.Mas Reza dan Mas Dani diharuskan untuk pergi ke luar kota. Katanya ada proyek yang menyimpang. Jadi mereka berdua terjun langsung ke sana."Mbok, Fathan udah tidur?" tanyaku pada Mbok yang tadi sempat kutitipi Fathan putra bungsuku."Udah, Non, tuh, wes pules," ujar Mbok."Ya sudah, makasih ya, Mbok," ucapku lagi."Iyo, Non. Kalau gitu Si Mbok permisi," pamitnya. Mbok pun pergi.Ya Tuhan ... akhirnya aku masih bisa menjalani hidup ini. Setelah melahirkan sempat kritis da
PoV 3***"Ness!" Diandra meraih lembaran yang Nessia baca. Ia menyelidik cemas. Pipinya sudah basah kuyup sejak tadi.Mata Diandra menyidik setiap nama korban yang sudah ditemukan. Dan banyak dari mereka yang sudah tak bernyawa. Dan itu makin membuat Diandra putus harapan. Tapi dia terus berdoa. Semoga ada keajaiban bagi korban-korban pesawat itu."Nessia? Kedua Abang kamu dimana?" tanya Diandra. Karena dia tak menemukan nama Reza ataupun Dani di daftar korban yang sudah ditemukan. Ia yakin, mereka benar-benar tidak ada di daftar korban ditemukan."Iya, Mbak. Beberapa korban masih dinyatakan hilang," jawab Nessia dengan sendu.Diandra hanya bisa menganga dengan penuh doa. Penumpang pesawat yang berjumlah 132 orang itu baru 123 orang yang ditemukan. Dan 70% sudah tak bernyawa akibat ledakan pesawat di udara.Astaghfirullah aladzim!"M-Mah, mas Reza dan mas Dani, mereka belum ditemukan, Mah. Aku yakin, mereka masih h
PoV Author***"Toloooong! Toloooong!"Dani terus melambaikan tangan sambil berteriak. Dimana Reza saat itu sudah pingsan kembali."Haaaarkh! Toloooong!"Akhirnya, cahaya itu makin mendekat. Dan mereka adalah tim SAR yang mencari keberadaan korban kecelakaan pesawat."Toloooong! Toloooong! Kami disini, Pak!" Dani terus berteriak meminta bantuan. Dan mereka pun mendekat.Tubuh Dani bukan tak sakit. Tapi dia masih mampu berusaha meminta pertolongan."Pak, tolong, Pak, Kakak saya sudah kehabisan banyak darah sejak tadi. Tolong kami, Pak!" Dani beteriak histeris pada beberapa orang yang sudah datang dalam dua perahu karet."Ayok, ayok bantu!" Para tim SAR sibuk di posisi masing-masing. Yang menangani Reza dan menangani Dani. Mareka juga tak lupa memasangkan alat pelampung. Karena mereka akan menaiki perahu untuk sampai di dermaga.