Share

Bab 5 Kedatangan mertua

Bekas merah di leher suamiku membuat malam ini terasa panas sekali. Ingin rasanya aku merobek lehernya, membelah otaknya mengeluarkan seluruh rekaman, apa yang ia lakukan tadi.

Amarahku makin kesini makin berkecamuk.

Andai saja aku bisa menguntit dirinya sampai aku memergoki kegiatan gelapnya di luar, mungkin semua pertanyaanku akan segera terjawab.

Tapi aneh. Kalau suamiku selingkuh dia punya uang darimana? Apakah mau wanita centil di luar sana menggoda laki-laki yang sudah berumah tangga namun tak memiliki uang?

Selama ini uangnya selalu di berikan padaku. Berapapun itu.

Jelas aku tahu betul gajinya di kantor hanya sedikit. Dan itu semua dia berikan padaku.

Jangan-jangan benar. Mas Dani punya bisnis lain yang amat menguntungkan di luar sana. Dan dari uang itulah ia bisa berbuat hal yang tidak pernah ku sangka.

Apa mungkin jatah uangku darinya lebih sedikit dibanding yang ia kasih pada wanita-wanita di luar sana?

Ah, Mas, kamu membuat batinku makin mengamuk.

Malam ini susah sekali mata terpejam. Selalu saja kuingin melihat dan memastikan bekas merah di leher kamu yang membuatku makin hancur.

Rasa ngantuk yang tak kunjung datang membuat emosiku makin meluap-luap. Ingin rasanya ku membangunkannya dan membudalkan amarah atas apa yang aku lihat.

Tapi, bisa saja itu hanya bekas gigitan serangga, bukan?

Kalau aku terus-terusan hanya curiga, rasanya aku hanya semakin dibuat gila.

Karena tak ada rasa ngantuk aku pun hengkang dari kasur dan mengacak-acak rambut atas keadaanku yang tidak bisa berbuat sesuatu. Aku memang wanita yang bodoh, tak bisa mencari jalan keluar saat terpentok karena sudah punya anak seperti ini.

Semakin lama pradugaku ini tak kunjung mereda.

Melihat jam di dinding sudah mulai menunjukkan pukul dua belas malam tepat. Suara detikkannya itu seperti terus memacu getaran emosi di dada.

Malam ini emosiku mengalahkan semuanya.

Tak ada ide-ide yang muncul karena otakku kini makin memanas. Memikirkan suami yang terus-menerus membuatku gila menduga, dan memikirkan diriku yang seperti amat bodoh sekali.

Di pukul setengah satu tepat aku merasakan emosi yang mulai mereda.

Segera aku bergegas keluar kamar dan mengambil air wudhu. Berharap pikiranku bisa menjadi jernih untuk memikirkan rencana-rencana yang akan aku lakukan.

Seusai wudhu kuraih kain berwarna putih-putih yang biasa kupakai. Itu pun adalah alat sholat yang dijadikan maskawin oleh Mas Dani untukku.

Warnanya masih putih dan bagus. Ya walaupun sudah ada sedikit bercak-bercak kotoran endapan air dan keringat, namun masih selalu kupakai. Karena mukenah ini menjadi saksi ijab dan qabul dulu.

Rasanya sayang kalau harus menggantinya. Biar saja terus kupakai karena kalau harus membeli lagi mukena ini pasti tidak lagi kupakai.

Sebelum melaksanakan ibadah malam, kepalaku menoleh ke arah samping. Menoleh ke arah anak dan suami yang telah bersamaku selama empat setengah tahun ini.

Mataku memandang sayup mereka. Rasanya tak mungkin suamiku berkhianat membagi hatinya untuk wanita lain. Karena selama ini sikap dan perhatiannya tak sedikitpun berubah. Ya hanya itu. Lebih sering pulang malam di waktu-waktu tertentu.

Pandanganku segera kualihkan pada sehelai sejadah yang kudapat dari mas kawin saat ijab qobul pula. Sejadah yang agak lebar dan tebal. Warnanya pun masih sangat bagus dan lembut.

Segera ku pasrahkan diri ini pada-Nya. Berharap semua pertanyaan ini segera terjawab.

Harus ku tinggalkan sejenak rasa kacau ini ketika bersujud. Dan menyerahkan seluruh diri dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan ikhlas pada-Nya.

***

Pagi ini nampaknya Mas Dani belum bangun. Padahal dia kan harus pergi ke kantor. Aku berniat membangunkannya. Karena tidak seperti biasa dia belum bangun.

Dona sudah selesai kumandikan dan sekarang dia di bawa oleh Siva anak tetangga. Katanya Siva ingin membawa Dona main di rumahnya. Lantas aku perbolehkan saja, karena ini bukan kali pertama Dona di bawa Siva. Lagi pula Dona suka anteng saat di ajak main oleh Siva yang sudah berusia empat belas tahun.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan namun Mas Dani tak juga bangun.

Segera aku menuju ke kamarnya, karena kalau aku tak kerja, mau makan apa keluarga ini. Aku kerja juga tak boleh, tapi dia malah malas-malasan. Karena aku seperti lebih nyaman menerima gaji bulanan dari kantor di bandingkan uang dari bisnis-bisnis yang tidak pernah ku ketahui.

Biarlah aku sebentar menjadi wanita bodoh dulu. Sembari aku mengikutinya diam-diam.

"Mas, bangun. Sudah siang, kamu kan harus ngantor."

Aku bergegas ke kamar membangunkannya. Menarik sedikit selimut yang masih membalut tubuh kekarnya.

"Hemh!"

Dia malah menggeram seperti kerbau sambil menggeliat.

"Apaan sih! Aku libur hari ini. Jangan ganggu!" hentaknya.

Kembali menarik selimut sampai ujung kepala. Dan kini badannya semua tertutupi oleh selimut yang sudah mulai pudar warnanya. Tapi sayang kalau harus diganti, selimut itu adalah selimut yang dibawa waktu seserahan.

Walaupun warnanya sudah mulai pudar, namun kehangatannya tidak pernah pudar sampai saat ini. Bahkan rasanya sangat nyaman sekali di banding selimut-selimut baru yang tersimpan di lemari.

Bibirku sedikit monyong.

Lalu kembali ke luar karena tak ingin berdebat. Mungkin dia sedang malas.

Hukh...

Aku kangen ibu sama bapak di kampung kalau begini. Rasanya aku ingin sekali memeluk mereka, curhat pada ibu.

Tapi yang ada mereka malah semakin cemas.

Tok tok tok!

Suara ketukan pintu tiga kali tiba-tiba terdengar.

Kualihkan pandangan ini ke arah pintu keluar masuk. Dan menduga-duga siapa yang datang pagi-pagi seperti ini.

Kusimpan sejenak gelas yang sudah kuisi air minum karena aku sedikit haus. Mungkin karena kesal.

Perlahan kumelangkahkan kaki menuju pintu. Terlihat bayangan di jendela yang sedikit terhalang oleh gorden siang malam.

Mereka berdua. Tapi belum jelas wajahnya.

Segera kuraih gagang pintu dan membukanya.

Ckrek!

Pandanganku sedikit dibuat terkejut.

"Ibu, Bapak?" ucapku menyalami punggung tangan mereka dengan takzim.

Mereka tersenyum padaku dengan sumringah.

Aku kaget namun bahagia melihat kedatangan mereka, ibu dan ayah mertua yang datang dari luar kota.

"Sehat, Nak?" tanya mereka sambil kupersilahkan masuk.

"Alhamdulillah, Bu, Pak. Yuk silahkan duduk," jawabku sopan.

Mereka langsung duduk dan segera kusuguhi air minum. Air mineral untuk menyambut kedatangan mereka sebelum ku suguhi mereka hidangan lain.

"Silahkan, Bu, Pak, diminum dulu. Pasti kalian kehausan."

Mereka pun menganggukkan kepala dan langsung menyeruput minuman masing-masing satu gelas air mineral yang kusuguhkan.

Nampaknya mereka amat kehausan. Karena perjalanan mereka dari rumah kesini bisa sampai dua setengah jam.

Kedatangan kedua mertuaku sontak membuatku kaget. Karena tak ada pesan atau telepon sebelumnya kalau mereka akan datang berkunjung.

Aku masih belum membuka mulut. Biar ibu atau bapak yang bicara terlebih dahulu.

"Cucu Ibu mana?" ucapnya menanyakan keberadaan Dona.

"Oh, Dona sedang ada di rumah tetangga, Bu. Tadi Siva, anak tetangga membawanya untuk bermain," jawabku lembut.

Lantas aku masih belum tahu apa maksud dan tujuan mereka datang kesini. Apakah ada perlu sesuatu atau hanya ingin sekedar menginap saja. Kami sangat jarang bertemu karena jarak tempat tinggal yang saling berjauhan. Terakhir aku dan mas Dani ke rumah mertua lima bulan yang lalu. Itupun saat lebaran.

Akhirnya kami saling basa-basi.

Mengobrol saling bertanya kabar.

Ibu dan bapak akhirnya menjelaskan maksud dan tujuan mereka datang. Dan ... tujuan mereka datang sangat membuatku terkejut.

–––

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status