Sekarang sudah dua Minggu setelah Mas Dani menjatuhkan kata talaknya padaku.
Hari ini adalah hari yang tak akan pernah aku lupakan.
Hari ini aku akan resmi bercerai dengan Mas Dani. Karena sidang perceraian sudah di depan mata.
Perih! Sekali rasanya.
Apalagi saat membayangkan kenangan manis kami bersama. Saat kami memadu kasih dulu. Saat kami bercanda dan tertawa dalam satu atap yang sama.
Kini aku melamun dengan air mata yang tiba-tiba terjatuh di pipi.
Dona diasuh oleh adik. Saat ini ia tak berada di dekatku.
Entah Dona diajak kemana. Mu
pov 3***"Ya Pak Hakim, saya dan Diandra baiknya berpisah. Itu keputusan yang telah kami ambil."Teg!Dani berkata demikian meyakinkan hakim ketua yang sudah duduk sigap dengan jubah hitam yang terlihat menyeramkan.Diandra dan Dani terlihat kecewa dengan batin yang tersiksa oleh kepedihan.Nampaknya Dani sangat berat hati. Tapi dia menginginkan yang terbaik bagi anak dan istrinya. Bagaimanapun juga Dani tak bisa melihat istrinya dekat dengan orangtua Dani kembali."Betapa perihnya hati ini mendengar cetusan kalimat itu keluar dari mulut kamu, Mas," ka
PoV Diandra***Hari ini genap sudah dua bulan setelah resmi bercerai dengan Mas Dani.Meskipun sudah bercerai, tapi Mas Dani selalu menyempatkan waktu untuk melakukan video call bersama Dona. Atau sekedar voice call.Bukan tak sakit melihat semua itu. Melihat mereka saling rindu, tapi ini jalan yang telah kami pilih.Pagi ini aku mendapat panggilan interview kerja dari sebuah perusahaan yang jaraknya lumayan jauh dari area rumah.Perusahaan itu baru saja di dirikan dan membutuhkan karyawan yang banyak. Apalagi ada lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanku.
PoV Diandra***Subhanallah, puji syukur ke Hadirat Illahi Rabbi. Akhirnya interview berakhir dengan baik.Interview kemarin berjalan lancar hingga aku diterima kerja di bagian staff administrasi bagian keuangan.Walaupun posisinya tidak terlalu tinggi dan gajinya tidak begitu besar, aku tetap mensyukuri. Karena dengan bekerja keras insyaallah akan membuahkan hasil yang lebih baik lagi.Sungguh aku tak menyangka kalau kerja kerasku tak akan sia-sia. Dan mulai hari ini aku sudah bisa masuk kerja.Bukan tak malu pada ibu karena aku harus sering-sering menitipkan putri kecilku, Dona. Tapi bagaimana lagi, aku sangat
[Assalammualaikum, Mbak Diandra, ini saya Mbak Miranti. Saya dapat nomor Mbak dari mas Dani. Di save ya, Mbak. Soalnya nomor Mbak yang dulu tak bisa di hubungi. Saya baru tahu kalau Mbak Diandra nomornya baru lagi.]Malam hari itu tiba-tiba gawai baruku berbunyi. Ada pesan masuk dari sebuah nomor yang belum kuketahui. Tapi aku sedikit tak asing lagi. Seperti sering berkomunikasi, pastinya dari nomor lamaku sebelum berganti nomor baru ini.Dan ternyata, itu adalah nomor Mbak Miranti.Mbak Miranti tetanggaku sewaktu masih satu atap dengan Mas Dani.Aku benar-benar senang Mbak Miranti mengirimiku kabar.Segera kubalas pesannya.&nbs
PoV Reza***"Karin, kamu tiba-tiba ajak aku ketemu kenapa? Kamu masih kangen sama aku, ya," candaku pada Karin.Karin adalah wanita yang telah mengambil hatiku setelah kepergian istri pertamaku. Kemarin malam kami baru saja bertunangan, dan kini ia memanggilku untuk bertemu.Entah apa yang ingin ia utarakan."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Mas," jawabnya sendu.Kami sudah duduk berdua di kursi taman yang jaraknya kurang lebih tiga ratus meteran dari rumah Karin. Taman dekat danau yang sering kami pilih untuk sekedar bertemu melepas rindu.
PoV Reza***Saat ini aku sedang mengendarai roda empat untuk menuju rumah sakit."Hallo, Mbak, gimana keadaan Mama sekarang? Apa dia sudah membaik?" tanyaku pada Mbak Siska ditelepon dengan nada panik akan keadaan mama."Ibu sudah membaik, Mas, tadi untungnya ada beberapa karyawan yang segera membawa ibu ke rumah sakit terdekat."Mendengar jawaban dari Mbak Siska aku sedikit merasa lega. Tapi belum begitu lega kalau aku tak melihat sendiri keadaan mama.Jarak yang akan aku tempuh sekitar satu setengah jam. Lumayan lama untuk sampai di rumah sakit itu.
PoV DiandraAkhirnya jam makan siang telah tiba."Tit, kamu mau ke kantin sekarang?" tanyaku pada Tita yang masih duduk di kursinya."Aduh, kamu duluan aja ya, kamu enak udah beresin kerjaan kamu. Aku belum nih," jawab Tita meninggikan alis."Em ya sudah, aku ke bawah duluan, ya. Sekalian aku mau beli sesuatu. Makanya, jangan nyisir rambut sama ngaca terus. Tita, Tita.""Hiikh! Oke deh," jawab Tita kembali dengan kecut mesemnya.Yang lain sudah keluar duluan. Hanya tersisa aku dan Tita saja.Karena Tita berkata demikian akhirnya aku memutuskan untuk pergi lebih dulu. Ada sedikit urusan juga.Kini aku telah berjalan menuju lift untuk sampai di lantai dasar.Telah ku tekan tanda panah ke arah bawah. Namun pintu lift belum juga membuka karena ada orang lain yang sedang meng
PoV DiandraKini aku dan Tita telah berjalan menuju meja resepsionis. Berniat menjenguk Bu Susanti yang sudah akan check out. Dan memang Bu Susanti sudah nampak disana bersam Mbak Siska. Seorang pria pula.Aku seperti mengenal sedikit sosok laki-laki yang sedang menggandeng Bu Susanti itu. Selain Mbak Susanti yang kami ketahui kalau dia adalah sekertaris Bu Direktur."Aduh, itu pasti anaknya Bu Susanti, dari belakang juga fisiknya udah oke banget!" celetuk Tita menggigit jarinya.Bibirku mengernyit.Tita terus menggusur langkahku supaya kami lebih cepat untuk menghampiri mereka.Satu langkah, dua langkah. Dan akhirnya Bu Susanti, Mbak Siska dan pria itu yang kata suster tadi, dia adalah anaknya, kini telah ada di depan mata kami. Mereka masih memunggungi kami di depan meja resepsionis rumah sakit.Kini kami memberan