Satu bulan berlalu sejak kejadian di mana Rachel bertemu Daffa. Aku tak bertanya apa pun, begitupun Daffa yang seperti acuh tak acuh saja. Ya sudahlah, aku tak mau pusing memikirkan sesuatu yang bukan urusanku.
Hari-hariku sudah kembali normal, bekerja dari pagi hingga sore, dan malamnya menghabiskan waktu bersama Lintang. Bagaimana dengan Mas Heru dan Rachel? Beberapa kali Mas Heru menghubungi, mengajakku untuk sekadar minum kopi. Tentu saja kutolak, kami sudah bukan suami istri. Rachel? Aku tak tahu dan tak mau tahu. Selagi dia tak mengusikku, aku pun tak akan mengusiknya.
Waktu menujukkan pukul 11.40 WIB. Aku bergegas membereskan meja, guna menjemput Lintang. Hari ini aku ingin mengajaknya makan siang bersama.
"Lan, kantin yuk," ajak Mona.
"Enggak deh, Mbak, saya ada urusan," tolakku.
"Yaelah, urusan apa sih? Urusan sama Pak Daffa?" tebaknya seraya mencolek daguku.
Aku memutar bola mata malas. Satu-satunya orang yang senang sekali menggod
"Kalau Om Daffa jadi Ayah Lintang, mau gak?"Pertanyaan Lintang saat makan siang tadi mengalihkan fokusku. Kalau saja Kelana tak mengalihkan pembicaraan, tentu sudah kuiyakan permintaan bocah tersebut."Susah banget ngeyakinin kamu, Lan," batinku.Ah! Aku tak bisa tinggal diam. Satu bulan lagi masa iddah Kelana berakhir, dan saat itu tiba aku harus lebih memaksimalkan usaha, agar ia percaya pada niat baikku.Tok tok tok… Suara ketukan pintu mengembalikanku pada realita."Masuk."Derap langkah kaki mendekat. Livia─sekretarisku menghampiri. "Pak, ada yang ingin bertemu.""Siapa?" Aku merasa tak punya janji apa pun hari ini. Siapa gerangan yang datang?"Laki-laki, Pak, namanya Heru," jelas Livia.Heru? Heru siapa? Aku merasa tak mengenalnya. Mau apa dia menemuiku? Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala."Suruh masuk saja," titahku."Baik, Pak."Tak lama setelah Livia pergi, seorang pria berdiri
Bab 29 (PoV Daffa) Anak Saya?“Enggak, Daf, kita gak boleh begini.” “Kamu single saya single, kenapa gak boleh?” tanyaku dengan suara berat. Sebelum kancing kemeja itu terbuka sepenuhnya, kulihat Kelana menggeleng keras. Aku yang tak tak bisa lagi mengendalikan diri, memilih mengabaikan penolakannya. “Gue mohon jangan,” lirihnya. “Terlambat, Kelana, saya mau kamu,” sahutku dengan tatapan mengabur. Tepat setelah itu, kedua tanganku berhasil melepas dua kancing kemejanya. Kelana masih berusaha menahan. Aku yang sudah dipenuhi gairah tak bisa berpikir jernih. Aku tak bisa memikirkan apa pun saat ini, pikiranku dipenuhi dengan Kelana. Aku takut, takut Kelana akan kembali pada mantan suaminya. Sungguh, membayangkannya saja aku tak sanggup. “Gak gini caranya, Daff.” Penolakan demi penolakan yang keluar dari bibir Kelana tak ada satu pun yang kupedulikan. Hingga akhirnya, aku tak lagi merasakan penolakan itu. Kulihat Kelana memejamkan mata. Aku semakin berani, kuremas buah dadanya deng
“Daffa maafin aku, aku sayang kamu.”Tanpa pikir panjang, Daffa mendorong tubuh wanita yang memeluknya. Ia menatap nyalang wajah wanita itu. “Jangan sentuh gue!” tegasnya.“Aku minta maaf.” Wanita tersebut duduk bersimpuh di hadapan Daffa, memohon dan menangis tersedu-sedu. “Aku nyesel, Daff, aku nyesel, tolong maafin aku,” sambungnya masih dengan isak tangis.“Gue udah gak mau nginget yang dulu-dulu lagi, antara gue dan lo udah lama selesai,” ucap Daffa.Kelana yang baru kembali dari kamar kecil bingung melihat ada sosok yang tengah berlutut, ia sangat familier dengan sosok itu. Ya, Kelana yakin betul wanita yang saat ini berjarak kurang satu meter dari posisinya adalah Rachel. Sejak kejadian di rumah sakit, ia memang memiliki dugaan bahwa ada sesuatu antara Daffa dan Rachel.Demi menuntuskan rasa penasarannya, Kelana mendekat. Ia mengambil posisi di belakang Rachel yang tampak belum sada
“Lana…”Seseorang memanggil nama dan menyentuh pundakku. Aku terlonjak saking terkejutnya. Di belakangku berdiri Mas Heru, ia menatapku bingung.“Lana sendiri? Ngapain di sini?”“Cari angin.” Aku sengaja berbohong padanya. Namun, jelas sekali Mas Heru tak percaya. Dia melihat sekeliling. Saat itulah netranya melihat ke dalam kafe dan mendapati Rachel tengah bicara dengan seseorang.“Pasti lelaki brengsek itu penyebabnya, iya, kan? Udah berapa kali Mas bilang, Lana jangan deket-deket sama dia, dia gak baik buat Lana.”Ingin rasanya aku merobek mulut Mas Heru. Atas dasar apa dia bicara begitu? Apa dia merasa lebih baik dari Daffa? Oh tidak! Mereka berdua sama. Sama-sama player dan terlalu pandai menjanjikan hal-hal indah yang berakhir menjadi bualan semata. Aku berlalu begitu saja tanpa memedulikan Mas Heru yang masih berusaha memengaruhiku.“Lana, tunggu! Lana mau ke
Setelah Kelana pergi, aku menemui Rachel yang tengah duduk sendiri sambil memainkan ponselnya. Emosi yang semula berusaha kutahan, meledak lagi saat tak sengaja mendapati Rachel tengah mengirim pesan pada lelaki brengsek bernama Daffa.Brak! Aku menggebrak meja cukup keras. “Rachel! Keterlaluan kamu ya. Aku udah ninggalin Kelana demi kamu, sekarang apa? Kamu malah kembali sama laki-laki itu!”Rachel sama sekali tidak terkejut. Dia menatapku dingin. “Heru, Heru, kamu itu gak ada apa-apanya dibanding Daffa. Aku nyesel pernah ninggalin dia demi laki-laki seperti kamu!”Dadaku naik turun karena amarah dan emosi yang semakin memuncak. Sungguh, aku tak terima diperlakukan seperti ini. Lagipula, apa, sih, yang mereka lihat dari Daffa? Aku merasa jauh lebih tampan dan mapan, juga punya segalanya dibanding dia.“Gak tahu diri!”“Siapa? Aku? Atau kamu?”“Pulang sekarang, kita bicara di rumah!
“Om Daffa sama Bunda kenapa gak nikah aja?” tanya Lintang yang berada di antara aku dan Daffa. “Kata Kak Icha, kalau Om Daffa sama Bunda nikah, Lintang dan Kak Icha bisa jadi saudara. Lintang mau punya kakak, Bun,” sambungnya sembari menatapku. Aku melongo mendengar permintaan Lintang yang semakin ke sini semakin ada-ada saja. Kemarin ayah, sekarang kakak. Aku tidak akan menikah, apalagi dengan laki-laki yang belum selesai dengan masa lalunya. Sungguh, aku sudah muak dengan drama-drama begitu. Hidupku sudah sulit, berurusan dengan Daffa dan Rachel hanya akan semakin mempersulit segalanya. “Lintang ngomong apa, sih, gak usah ngaco,” sahutku. “Lintang sabar dulu, ya, Om Daffa lagi berjuang,” bisik Daffa di telinga Lintang seraya melirikku sekilas. Aku dapat mendengar jelas apa yang Daffa ucapkan, terlebih dia mengatakan itu sambil menatapku. Sengaja kualihkan pandangan agar tak bersitatap dengannya. “Kita pulang, yuk.” Aku mengalihkan pembicaraan agar pembahasan tentang hal ini tak
“Ahhhhh! Brengsek!” Setelah Kelana dan Lintang hilang dari pandangan, Daffa lepas kendali. Pot bunga yang berada di teras menjadi sasaran empuk atas kemarahannya. “Harusnya gak begini! Kelana, kenapa kamu susah banget percaya sama saya?!” batinnya.Suara getaran ponsel mengalihkan perhatian Daffa. Ia menatap benda pipih itu sebentar, kemudian mengabaikannya. Daffa tahu betul siapa pemilik nomor yang baru saja menghubungi. Ya, siapa lagi kalau bukan Rachel.Daffa bertanya-tanya, mengapa kembalinya Rachel bertepatan dengan dia yang sudah menemukan tambatan hati? Usahanya mendekati Kelana hampir berhasil, namun kehadiran Rachel mengacaukan segalanya. Sekarang Kelana marah, menganggapnya pembohong, bukan tidak mungkin Kelana juga punya pikiran jika ia dan Heru sama. Itulah yang paling Daffa takuti, belum lagi Rachel yang terus menerus mengganggunya, menghubungi berkali-kali meski tidak direspons.“Mau apalagi, sih, dia?!” gerutu D
“Heru, nanti siang kamu datang ke sekolah Delia, ya.”Mood-ku yang semula baik karena sempat berbalas pesan dengan Kelana mendadak berantakan ketika Rachel datang dan menyuruhku ke sekolah Delia.“Kenapa gak lo aja?” tanyaku. Tak ada lagi aku-kamu, aku sudah muak dengan perempuan itu.“Siang ini aku mau ke kantor Daffa, ada urusan.”“Gak, gue sibuk. Lagian dia kan anak lo!” tolakku. Aku sudah rapi dengan setelan kerja, hendak bersiap pergi ke kantor. Di ambang pintu, aku melihat Delia yang juga tengah menatap ke arahku. Tak lama kemudian, Bocah itu mendekat dan menggoyang-goyang lenganku, menyebalkan sekali bukan? Ibu dan anak sama saja. Sama-sama hobi menguji kesabaran.“Papa mau, ya, ke sekolah Delia, please. Kalau Papa atau Mama gak dateng, Delia bisa dimarahin Pak Andre,” mohon Delia.Waktu menunjukkan pukul tujuh, aku sudah terlambat. Daripada mengurusi dua ma