“Heru, nanti siang kamu datang ke sekolah Delia, ya.”
Mood-ku yang semula baik karena sempat berbalas pesan dengan Kelana mendadak berantakan ketika Rachel datang dan menyuruhku ke sekolah Delia.
“Kenapa gak lo aja?” tanyaku. Tak ada lagi aku-kamu, aku sudah muak dengan perempuan itu.
“Siang ini aku mau ke kantor Daffa, ada urusan.”
“Gak, gue sibuk. Lagian dia kan anak lo!” tolakku. Aku sudah rapi dengan setelan kerja, hendak bersiap pergi ke kantor. Di ambang pintu, aku melihat Delia yang juga tengah menatap ke arahku. Tak lama kemudian, Bocah itu mendekat dan menggoyang-goyang lenganku, menyebalkan sekali bukan? Ibu dan anak sama saja. Sama-sama hobi menguji kesabaran.
“Papa mau, ya, ke sekolah Delia, please. Kalau Papa atau Mama gak dateng, Delia bisa dimarahin Pak Andre,” mohon Delia.
Waktu menunjukkan pukul tujuh, aku sudah terlambat. Daripada mengurusi dua ma
“Mas mau pindahin Lintang ke sekolah lain.” Ucapan Mas Heru benar-benar mengganggu fokusku. Saat ini aku sedang bersama Daffa, usai bertemu Pak Andre kami kembali ke kantor. Sebenarnya aku tidak mau satu mobil dengannya, namun dia memaksa dengan dalih satu arah dan semacamnya, hingga membuatku tak bisa menolak. “Kamu masih kepikiran soal Lintang?” Daffa membuka obrolan. Aku membisu, terlalu malas bicara dengan siapa pun. Fokusku hanya tertuju pada Lintang. Sebenarnya, jauh sebelum Mas Heru aku pun pernah punya pikiran yang sama, yakni memindahkan Lintang ke sekolah lain. Tapi, apa Lintang mau? Baiklah, aku akan bicara padanya nanti. “Lan…” panggil Daffa. Aku menoleh sebentar, kemudian kembali mengalihkan pandangan. “Kalau kamu mau, kamu bisa cerita sama saya.” Aku memang butuh teman bercerita, tapi bukan Daffa. Jujur, aku takut salah orang dan semakin terbawa perasaan. “Makasih, tapi gue baik-baik aja.” “Saya gak percaya kamu baik-baik aja.” “Bukan urusan gue kalau lo gak perc
Sambil menunggu jam pulang yang kurang sepuluh menit, aku membolak-balik tiket liburan pemberian Daffa, sambil berpikir keras, haruskah aku menerima kebaikan Daffa lagi? Disatu sisi aku tak mau hutang budi, dan berakhir baper sendiri, tapi di sisi lain aku juga butuh waktu berdua dengan Lintang. Terlebih, dia memberikannya tidak cuma-cuma. Aku ingat betul pembicaraan dan negosiasi kami beberapa jam lalu.“Saya sudah siapkan tiket liburan untuk kamu dan Lintang. Terima, ya!”“Simpen aja tiket liburan itu, gue gak butuh!”“Jangan dipotong dulu, saya belum selesai ngomong. Tiket ini gak gratis, kamu bisa dapetinnya asal mau bantu saya.”“Bantu apa?”Brak! “Ngelamun mulu, ngelamunin apa sih? Hutang negara?! Yaelah, santai aja kali, negara juga gak minta lo buat bayar,” cerocos Mona. Ia datang sembari menggebrak meja, membuat ku nyaris jantungan karena tingkahnya.“Kenapa sih suka banget ngagetin?” omelku.Mona membalasnya dengan tawa. Di kantor ini memang hanya Mona yang mau berteman deng
“Marsel…” Mulutku terbuka saking terkejutnya.“Iya, Kelana, ini aku.”Marsel, sosok laki-laki yang pernah menjadi cinta monyetku semasa SMP, kini berdiri di hadapanku dengan rambut basah dan bertelanjang dada, mengapa dia ada di sini?“Hai,” sapanya seraya tersenyum.Aku masih membisu, belum percaya sepenuhnya akan kehadiran sosok itu. Bagiku ini seperti mimpi. Bagaimana tidak, Marsel yang dulu berpamitan akan pindah ke luar negeri, tiba-tiba ada di hadapanku saat ini.“Kok bengong? Gak mau peluk?” godanya.Aku mengerjapkan mata beberapa kali, memastikan apa yang kulihat ini nyata. Ternyata benar, sosok tinggi menjulang dengan tubuh atletis tersebut benar-benar berdiri di hadapanku sambil tersenyum jenaka.“Papa, Siapa yang dateng? Daren kayak denger suara Tante Kelana.” Teriakan Daren mengembalikan fokusku. Tunggu? Apa katanya tadi? Papa? Jangan-jangan …
Selang sehari setelah pertemuan dengan wali kelas Delia, Heru menemui Rachel yang sedang bersantai sembari menatap layar. Jelas sekali, wanita itu tengah menunggu pesan balasan dari seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Daffa. “Bales dong, Daff,” gerutunya. Rachel belum menyadari kehadiran Heru. Saat ponselnya ditarik paksa, barulah ia sadar Heru tengah menatapnya penuh amarah. “Ada apa? Bukannya gue udah bilang untuk gak saling mengusik?! Balikin HP gue!” pintanya dengan nada ketus. Heru sangat menyesal sudah meninggalkan Kelana. Memang benar kata orang, selingkuhan hampir selalu tidak lebih baik dari pasangan sah, dan sekarang ia bisa melihat kebenaran itu. Kelana dan Rachel jauh berbeda, Rachel terlalu fokus pada diri sendiri, hing
Pukul sebelas malam, kami kembali ke kediaman masing-masing. Aku merebahkan diri di samping Lintang yang sudah siap dengan setelan tidurnya, seraya menimbang-nimbang, haruskah mengatakan perihal rencana pindah sekolah sekarang? Atau nanti saja? Namun, lebih cepat lebih baik bukan, aku perlu mendengar pendapat Lintang tentang rencana tersebut. “Lintang sudah tidur, Nak?” tanyaku mengawali obrolan. “Belum, Bun.” “Bunda mau bicara.” Lintang membalik badan, menatapku penuh tanya. Aku tersenyum simpul, sembari mencium keningnya singkat. “Belum lama ini Bunda dipanggil sama wali kelas Lintang.” Lintang terlihat terkejut,
“Gak mungkin, Daff, lo udah sama Rachel,” batin Kelana. Lagi, Kelana berusaha membentengi hatinya, menolak rasa yang kian tumbuh subur. Ia belum menyadari, bahwa semakin ditepis rasa tersebut akan merekah indah. Tak peduli seberapa kuat pun ia berusaha menekan semuanya, suara hati tak bisa dibohongi. Cepat atau lambat, hatinya akan menuntun Kelana untuk menemukan pelabuhan terakhir. “Bunda, kata Om Daffa laper,” teriak Lintang dari arah ruang tamu. Teriakan itu membuyarkan lamunan Kelana. Waktu menunjukkan pukul sebelas siang, ia bergegas menggoreng tempe dan membuat sambal goreng.Sembari memasak, Kelana dapat mendengar gelak tawa Lintang. Gelak tawa itu menjadi melodi yang begitu indah di telinganya. Kalau dipikir-pikir, sudah lama
Siang ini, aku terlibat pembicaraan cukup serius dengan Kelana. Kulihat wanitu itu terdiam setelah mendengar pengakuanku beberapa detik lalu. Benar adanya, jika setelah obrolan tadi aku tak berharap Kelana percaya, karena aku tahu, percaya pada seseorang setelah merasakan sakitnya dikhianati bukan hal yang mudah, butuh waktu dan proses yang panjang. Aku hanya ingin diberi ruang dan kesempatan untuk berusaha, agar menjadi seseorang yang memiliki arti sendiri dalam hidupnya. “Kenapa diem?” tanyaku saat Kelana tak kunjung membuka suara. “Enggak.” “Kasih saya kesempatan, ya,” pintaku. Tak ada gelengan maupun anggukan, yang kulihat sekarang hanyalah diamnya Kelana. Jika biasanya aku bisa membaca pikiran wanita itu, maka kali ini semuanya gelap. Kelana hanya mematung tanpa ekspresi. Mungkinkah semua kesempatan yang kuharap tak bisa lagi kudapat? “Daff, sebaiknya lo pulang, gak enak dilihat orang.” Lagi-lagi seperti ini. Kelana selalu mengalihkan pembicaraan, padahal aku berharap dia me
“Selamat pagi. Kusut amat tu muka kayak baju belum disetrika,” sapa Mona dengan raut cerianya. Aku yang sedang tidak mood hanya menatapnya sebentar, kemudian mengalihkan pandangan. Wajah masam dengan mata panda terlihat jelas cukup membuat Mona mengerti, jika ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiranku.Dia berlalu setelah meletakkan kotak makanan berwarna merah muda di atas meja. “Tumben banget bawain bekel, pasti ada maunya,” batinku. Benar saja, selang beberapa menit dia kembali menggangguku yang sedang fokus dengan pekerjaan. “Kelana,” panggilnya setengah berbisik. “Hmmm.” Aku menjawab panggilan itu dengan deheman singkat. “Malam ini gue nginep di tempat lo, ya.” Berteman cukup dekat dengan Mona membuat aku sedikit banyak paham tabiatnya. Dia tidak akan melakukan sesuatu di luar kebiasaan jika tidak ada alasan tertentu. “Lo kan tahu, Mbak, kontrakan gue kecil.” “Gak apa-apa, gue cuma l