Tidak pernah sekalipun dalam bayangan Yuda bahwa ia akan mengalami nasib seperti ini. Dulu, ibu yang selalu ada untuknya telah tiada, karena penyakit yang dokter sebut sebagai kangker perut. Saat itu usia Yuda tepat 5 tahun.
Selama hidup bersama ibu, Yuda tidak pernah mengenal ayah. Ibu tidak pernah bercerita apapun tentang pria itu. Pun Yuda tidak pernah bertanya. Entah kenapa ia merasa Ibu akan merasa sedih jika ia membahas tentang ayah.
Namun, tepat 7 hari setelah ibu meninggal dan membuat Yuda hidup sebatang kara, datang seorang pria yang mengaku sebagai ayahnya. Namanya Heru.
Heru memiliki penampilan bak preman, sesuai dengan siapa dirinya. Ia sering mabuk dan bermain judi. Tak jarang, ia juga membawa perempuan-perempuan asing ke rumah, menidurinya di setiap sudut rumah dan sama sekali tidak masalah jika Yuda melihat.
Tak
Seperti bocah 5 tahun pada umumnya, Luna masih suka sekali bermain di luar rumah. Seperti siang hari ini, ia meminta ijin pada Starla untuk mengelilingi komplek perumahan, dan mampir ke taman bermain jika ia pulang agak lama.“Hati-hati, okay? Jangan menyeberang sembarangan. Jika ada orang asing yang memberimu makanan apapun, kau tidak boleh menerima. Masih ingat bukan, apa yang kau pelajari dari Mom dan Dad dulu tentang bagaimana menghadapi orang asing yang tidak kau kenal?” tanya Sivia sambil memasangkan sebuah tas ransel di punggung Luna.“Yes, Mommy. Aku tidak boleh mempercayai siapa pun,” jawab Luna sambil mengangguk-anggukkan kepala.“Good! Kau juga ingat bukan, jika beberapa hari yang lalu ada yang mencuri tasmu?”Luna meringis hingga barisan gigi putihnya terlihat s
Luna bersiap pergi ke taman kota sekitar pukul 9 pagi seperti biasa. Dengan rambut dikuncir dua, Luna pamit pada Starla.“Mom sudah menyiapkan banyak bekal makanan untukmu. Semuanya sudah Mom masukkan dalam tas,” ucap Starla, mengelus rambut hitam Luna. “Masih tidak mau menceritakan pada Mom siapa temanmu itu?”Luna menggeleng polos. Sebenarnya dia ingin, namun Yuda melarangnya entah karena alasan apa.Starla menghela napas, mengecup kedua pipi Luna. “Baiklah jika kau masih menyimpan rahasia tentang temanmu itu. Tapi ingat pesan Mom, tetap hati-hati. Kau tidak tau dia punya niat jahat atau tidak.”“Dia baik, Mom,” kekeh Luna kecil.“Tetap saja kau harus berhati-hati. Ini Indonsesia, bukan Belanda di mana ayahmu mempunyai kekuasaan. Mengerti?”Lun
Luna sudah menyeberang jalan ketika iris mata hitam Yuda menangkap sesuatu di atas tanah yang berkilauan. Ia mengernyit, lantas menunduk dan mengambil benda tersebut.Sebuah kalung emas dengan bandul huruf L yang di kedua sisinya terdapat ukiran sayap mungil, tak lain dan tak bukan adalah milik Luna. Yuda ingat pernah melihatnya di leher Luna. Berniat ingin mengembalikan, Yuda sempat berlari mengejar Luna. Akan tetapi tidak berlanjut sebab ia kehilangan jejak Luna.Yuda pun kembali ke bawah pohon, memasukkan kalung tersebut ke dalam tas. Ia pikir besok akan langsung mengembalikannya pada Luna.Yuda mengambil selimut yang dibawakan oleh Luna, berikut dengan tas ransel pink bergambar princess. Satu kotak yang berisi buah juga ditinggalkan Luna, katanya untuk makan malam Yuda.Bocah lelaki umur 7 tahun itu tersenyum tipis. Merogoh saku di mana ada uang 15 ribu dari sana. Yuda tidak mengemis, hanya saja kemarin ada kakak-kakak baik hati yang memberi uan
"Berlutut!"Suara itu terdengar begitu tegas dan tidak terbantahkan. Erik berdiri dengan jarak tiga meter dari tempat Starla berdiri. Mata Starla bergerak untuk menatap pria itu dan langsung dapat menangkap sosok pria bertubuh tegap dengan iris mata abu-abu tengah menatapnya dengan ekspresi tidak terbaca.Sungguh, jika mampu, Starla ingin menolak perintah tersebut. Namun tubuhnya justru berkata lain. Selalu begitu."Aku bilang berlutut, Starla!" Sekali lagi terdengar perintah Erik. Suaranya semakin berat menusuk hingga terasa merasuk dalam kulit Starla, membuat di detik itu juga, tubuhnya langsung melakukan apa yang pria itu mau."Good girl." Erik memuji puas.Starla tidak akan berbohong jika ada rasa senang tersendiri setiap mendengar Erik berkata demikian."Aku tidak ingin kau menatapku, Starla. Turunkan pandanganmu ke lantai, sekarang!"Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun kalimat protes, Starla langsung menurut. Ia menunduk, menatap lantai dengan motif kayu yang mengkilat bersih."
"Ke mana saja kamu baru pulang sekarang?" Suara bariton seorang pria mengejutkan Starla tepat saat ia masuk mengendap-endap ke dalam rumah. Starla meneguk saliva kasar. Tadi dia pikir, ini masih terlalu pagi bagi pria itu untuk bangun. Lagipula ni masih jam 3 dini hari. "A...yah belum tidur?" tanya Starla terbata. Lampu ruang tengah masih mati sehingga menyebabkan Starla sedikit kesulitan mencari sosok pria dengan rambut hitam yang sudah mulai beruban.Adadi mana dia? Pertanyaan Starla terjawab tidak lama kemudian karena lampu tiba-tiba menyala. Mata gadis itu menyipit dan ia pun mendapati Darma berdiri di depan saklar lampu. Pria yang hampir berusia 50 tahun tersebut memakai piyama tidur, matanya melotot tajam ke arah Starla sementara bibirnya merengut tipis. "Jawab pertanyaan Ayah, dari mana kamu jam segini baru pulang?" desis Darma tajam.
"Kamu menguping pembicaraan Ayah?" desis Darma, rahangnya mengetat keras. Starla diam tidak menjawab. Sebenarnya ia tidak bermaksud untuk menguping pembicaraan Darma dengan Pak Danu, atasan Darma yang terjadi melalui telpon. Tapi saat itu, Starla baru pulang kerja. Seperti biasa, gadis itu akan mencari Darma untuk memberitahukan bahwa ia sudah sampai di rumah dengan selamat. Tapi yang didapati oleh Starla justru pembicaraan itu. "Ayah tidak pernah mengajari kamu menguping, Starla!" tegas Darma murka. "Sejak kamu pacaran dengan Bima, dia memberikan pengaruh-pengaruh yang buruk buat kamu! Kamu jadi sering pulang terlambat! Telepon sampai larut malam hingga pagi harinya bagun kesiangan. Dan kamu bahkan ..." Darma menggelengkan kepala. "Kamu mengabaikan semua adat istiadat dan budaya asli kita, mengabaikan didikan Ayah selama ini dengan cara merusak kehormatanmu sebagai perempuan pada laki-laki yang bukan suami kamu!"
Sudah dua bulan lamanya Starla tinggal bersama Bima. Ia merasa cukup bahagia. Dulu mungkin hanya panggilan telepon dan pertukaran chat yang bisa menjadi pengobat rindu. Tapi sekarang, setiap hari Starla bisa selalu melihatnya, menyentuhnya, dan menciumnya...Starla tidak tau jika tinggal berdua bersama seorang yang amat ia cintai bisa menyebabkan hari-harinya menjadi seindah ini."Selamat pagi," sapa Bima serak. Tangannya memeluk tubuh telanjang Starla yang berada di balik selimut. Tadi malam merupakan satu dari sekian banyak malam penuh gairah yang telah dihabiskan Starla bersama Bima."Pagi," jawab Starla."Jam berapa ini?" tanya Bima saat ia merasa Starla mencoba untuk beringsut bangun. Matanya mengerjab tipis, mencari-cari di mana letak jam dinding berada."Sudah jam tujuh. Aku harus bangun dan siap-siap berangkat kerja sekarang," jawab Starla.Bima mendesah, mengubah posisi ti
Sudah sekitar satu jam lamanya Starla berdiri di depan gerbang kantor. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, di mana banyak kendaraan berlalu lalang. Awan yang tadinya cerah sudah berubah gelap diiringi kilat dan gemuruh petir yang sesekali menyambar di angkasa. Angin yang bertiup semakin kencang dari menit ke menit membuat Starla memeluk tubuhnya sendiri karena rasa dingin yang menusuk kulit."Neng masih di sini?" Pak Tarjo, satpam yang berjaga di gerbang bertanya pada Starla. Ia mendongak menatap langit yang kian menggelap karena selain sudah masuk jam setengah 6 sore, mendung tebal juga bergelayut siap menjatuhkan titik-titik air hujan kapan saja."Iya, Pak.""Nunggu siapa, Neng? Jemputan?" tanya Pak Tarjo lagi, sesekali mengusap kedua telapak tangannya sebab ia juga merasa kedinginan setelah keluar dari ruang pos jaga demi menghampiri Starla. "Mending pulang aja sekarang, Neng. Mau hujan ini," saran Pak Tarjo.