Share

Pamit

Putri mengangguk patuh, wajahnya merona menunjukkan bahwa dia tengah merasa malu. Bagaimana tidak? bagi wanita pemalu dan pendiam seperti dia, jangankan dicium, dipegang tangannya saja langsung salah tingkah. 

"Ya sudah, sekarang kita lanjutkan berkemas. Kita bilang sama Bapa dan Ibu nanti sekalian pergi."

Yuda sadar dia telah salah langkah, memerintah Putri dengan membentak hanya akan menambah masalah saja. Buktinya di lembutin sedikit saja langsung menurut begitu. 

"Ya, Mas." Sahut Putri singkat, dia segera membereskan pakaian yang tadi dilempar oleh Yuda. Kini Putri tak mempermasalahkan tentang pakaian apa yang harus dia pakai nanti, karena sejatinya istri memang harus menurut pada suami. 

Lagipula seorang istri itu berpenampilan menarik untuk suaminya, jika sang suami lebih suka Putri memakai dress dan rok, mau tidak mau Putri harus memakainya. 

Ajaib sekali bukan? Ciuman dari Yuda bagaikan sihir yang menghipnotis Putri, dari yang tadinya sedikit memberontak, kini begitu menurut. 

Selama menunggu Putri berkemas, Yuda duduk di ranjang sambil memainkan ponselnya. Dia tidak perlu berkemas, karena Yuda tidak membawa apapun ke rumah orang tua Putri itu. 

Dari awal memang sudah Yuda rencanakan akan memboyong Putri setelah ijab, hanya saja dia tidak membicarakannya dengan Putri. Dia hanya bilang setelah menikah, mereka berdua akan tinggal di apartemen milik Yuda. 

"Mas, apa tidak sebaiknya kamu bicarakan dulu sama Bapa dan Ibu sekarang? Sambil menunggu aku berkemas."

Putri memberanikan diri untuk mengemukakan pendapatnya, karena dia merasa risih saja melihat Yuda yang hanya bersantai, sementara dia tengah repot berkemas. 

"Kamu berani nyuruh suami?"

Mendengar pertanyaan Yuda, sontak Putri menggeleng cepat. "Ti-tidak, Mas. Lupakan saja." Sahutnya sedikit tergagap. Nada bicara Yuda memang tidak setegas saat memerintah tadi, tetapi Putri tidak ingin membuat suaminya murka dan membentak lagi. 

Sisi lain dari Yuda yang baru Putri ketahui setelah pernikahan, yaitu cukup emosian dan mudah marah. Padahal selama ini jika Putri berkata apapun yang sekiranya menyinggung, Yuda biasa saja. 

Jangan-jangan Yuda sengaja menahannya, demi mendapatkan penilaian baik dari Putri dan keluarganya. Belum apa-apa belang Yuda mulai terlihat. 

Tapi karena Putri sudah terlanjur cinta pada Yuda, mau dibentak seperti apapun dia akan tetap bertahan, terlebih sekarang ikatan mereka sudah kuat dan suci. 

"Enak saja nyuruh-nyuruh suami." Yuda menggerutu sambil kembali fokus dengan gawainya. Baginya, wanita pantang menyuruh seorang pria, apalagi jika pria tersebut adalah suami. 

Dengan perasaan yang berkecamuk, Putri melanjutkan berkemasnya. Sungguh berat harus meninggalkan kedua orang tua secepat itu, tapi Putri juga ingin patuh terhadap suaminya. 

Selesai membereskan pakaian dan beberapa barang yang sekiranya penting, Putri duduk termenung. Dia masih ingin tinggal di ruangan kecil tersebut, ruangan itu adalah saksi hidup Putri selama ini. 

"Sudah selesai?"

Putri menoleh kaget kalau Yuda bertanya, "Su-sudah, Mas." Entah kenapa semenjak Yuda membentaknya tadi, Putri bawaannya menjadi takut dan serba salah, sehingga untuk berucap saja sering tergagap. 

"Kenapa nggak bilang dari tadi? Malah melamun, ayo kita pergi sekarang."

Yuda berjalan sambil menarik tangan Putri, sebagai pasangan pengantin baru, mereka harus menjaga image. Masa iya baru saja sah jalannya sudah jauh-jauhan. 

"Nanti di depan Bapa sama Ibu ngomongnya yang tegas, jangan terlihat bahwa kamu terpaksa pergi." Bisik Yuda mengingatkan. 

Putri sungguh tercekat, kenapa dia merasa seperti diintimidasi oleh suaminya sendiri? Perkara sikapnya di depan orang tua sendiri saja harus diatur oleh Yuda. 

"Iya, Mas."

Mereka berdua pun berjalan beriringan keluar kamar, Yuda mengambil alih koper yang tadinya diseret oleh Putri. 

Semua mata yang sedang berkumpul di luar menatap heran dengan kemunculan Putri dan Yuda yang membawa koper. 

"Loh, loh, Putri, Yuda. Kalian kok bawa koper begitu? Memangnya mau kemana?" Tanya seorang pria paruh baya yang tidak lain adalah ayah dari Putri. 

"Kami mau pindah ke apartemen, Pa. Bukannya Putri sudah menyampaikan sama Bapa dan Ibu, setelah menikah kami akan tinggal di apartemen?"

Ayah Putri mengernyit, "Iya, sih. Tapi apa secepat ini? Lihat, keluarga kita masih berkumpul untuk merayakan pernikahan kalian, masa kalian sudah mau pergi?"

"Mas Broto, sudahlah biarkan saja. Namanya juga pengantin baru, mungkin ingin tempat yang sepi. Lagipula bukannya bagus, mereka sekali belajar mandiri."

Seorang pria yang lebih muda menyambar ucapan kakaknya itu. 

"Nah, benar yang dibilang Paman Andi."

Mendengar ada yang membelanya, tentu saja membuat Yuda semakin besar kepala dan senang. 

Pak Broto menghela nafas, "Ya sudah kalau begitu, tapi tolong anak Bapa dengan baik ya. Jangan buat dia sedih."

Sebagai seorang ayah, tentu saja Pak Broto sangat berat melepas anak satu-satunya keluar dari rumah. Apalagi Putri cukup dekat dengan ayahnya selama ini. 

"Pasti, Pak." Sahut Yuda dengan mantap, dia harus meyakinkan keluarga mertuanya, bahwa dia adalah pria yang baik dan bertanggungjawab. 

Seketika Putri melepaskan tangannya yang sedang digenggam Yuda. Dia berlari memeluk ayahnya. "Maafin Putri ya, Pa. Putri harus pergi secepat ini. Bapa harus jaga Ibu dengan baik, jaga kesehatan juga."

Bulir bening mulai terjatuh dari sudut mata wanita cantik itu, tapi dengan cepat dia mengusapnya. Putri tidak ingin melihat orang tuanya melihat air mata tersebut. 

"Ya, kamu juga jaga diri baik-baik. Jangan lupa sering berkunjung kesini, karena ini juga tetap rumah kamu." Sahut Pak Broto sambil menepuk punggung putrinya. 

Putri mengangguk pasti, kemudian dia mengurai pelukannya dan beralih memeluk wanita paruh baya, yang sedari tadi menatapnya dengan nanar. 

"Bu, maafin Putri." Saat memeluk wanita yang sudah melahirkannya ini, Putri tidak sanggup berkata-kata lagi, tangis yang sudah dia tahan sedari tadi pun pecah seketika. 

"Ibu yang minta maaf, karena selama ini sering marah sama kamu. Pasti Ibu akan sangat rindu berdebat denganmu."

Sesekali Bu Puspa menyelipkan kekehan, agar anaknya tak semakin sedih. Dia mengurai pelukan, lalu menangkup wajah ayu buah hatinya itu. 

"Kamu harus berjanji akan bahagia, agar Ibu tidak menyesal telah membiarkanmu keluar dari rumah ini."

Seakan memiliki sebuah firasat buruk, Bu Puspa berucap demikian, dia kemudian beralih menatap menantunya yang masih berdiri di depan kamar. 

Bu Puspa merasa sedikit janggal dengan sikap Yuda yang agak arogan, tidak sopan seperti biasanya. Bukannya bergabung untuk berpamitan, Yuda malah berdiri sambil memainkan gawai. 

Putri tercekat, dia sendiri tidak yakin apakah nanti akan bahagia, mengingat sikap Yuda yang belum apa-apa saja tadi sudah berubah. Tapi demi membuat orang tuanya tenang, Putri pun mengiyakan. 

"Putri pasti bahagia, Bu. Mas Yuda begitu mencintai Putri, jadi dia tidak akan menyakiti Putri."

Oh tidak, mengucapkan kata tersebut saja membuat Putri merasa mengkhianati diri sendiri. 

**** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status