Jessica membukakan pintu untuk Gita dan Rangga ketika mereka bertandang ke rumahnya. Itu merupakan rumah dua tingkat dengan pekarangan yang luas. Tapi itu tak memiliki pagar sebab terletak di kompleks perumahan yang memiliki penjagaan ketat di jalan masuk dan keluar. Jadi area tersebut akan tetap aman baginya dan dapat menjauhkannya dari penggemar atau paparazzi. Sesosok wanita tinggi dan berambut cokelat muncul dari baliknya. Dia mengenakan pakaian santai dengan rambut dikucir kuda dengan asal. Dia tetap terlihat cantik meskipun tanpa make up. Tentu saja. Jessica adalah seorang model aktif sebelum hamil dan sekarang merawat bayinya. Namun dia sekarang berubah menjadi model yang merepresentasikan wanita hamil dan ibu muda. "Boleh suamiku masuk juga? Dia mengantarkanku ke sini." Gita telah mengirim pesan sebelumnya bahwa dia akan datang bersama Rangga tapi belum mendapatkan jawaban dari Jessica. Jessica melihat ke arah Rangga sebelum mengembalikan pandangannya kepada Gita. Lalu sebu
Setelah pertemuan dengan Jessica berakhir, Rangga memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah dan justru membelokkan mobilnya ke area pusat kota. Dia hampir putus asa mencari cara untuk mengembalikan mood istrinya ke sebelum insiden di rumah Lukman, dan akhirnya menemukannya tadi. Gita memancarkan binar berbeda saat bertemu Jessica, terutama baby Aldan. Tidak. Gita menjadi lebih baik sejak mengetahui paket dari brand sampai di perusahaan. Gita tampak antusias dan dia menginginkan perasaan itu bertahan lama. Jadi, dia berniat membawa sang istri ke toko perlengkapan bayi. "Kita akan ke mana?" tanya Gita, bergantian menatap jalanan dan Rangga. Raut wajahnya terlihat bingung. Tentu saja. Rangga tak mengatakan apa pun mengenai tujuan mereka."Kita akan membeli beberapa perlengkapan bayi," jawab Rangga masih berfokus pada jalanan. Mereka segera sampai di tujuan. Seketika, binar bahagia itu kembali meski Gita berusaha menutupinya dengan sebuah penolakan. "Tapi bukankah kamu harus beker
Gita terus mengecek tas belanjanya setelah mereka kembali dari berbelanja yang terasa seperti selamanya. Mereka berjalan dari ujung ke ujung hanya untuk mengecek seluruh koleksi toko tersebut. Catatan. Hanya mengecek sebab mereka cuma membeli perlengkapan untuk newborn. Selebihnya, itu keingintahuannya untuk melihat koleksi-koleksi lain untuk bayi yang berusia lebih dewasa. Dan waktu sudah menunjukkan pukul empat ketika mereka keluar dari toko untuk berpindah ke cafe terdekat sebelum pulang. Dia tertawa kecil sebab ini pertama kalinya dia berlaku seperti ini. Dia tidak pernah menikmati kegiatan berbelanja sebesar ini. "Kamu kelihatan senang banget," komentar Rangga dari arah belakang Gita. Dia baru saja kembali dari toilet dan mengamati sang istri dalam langkah pelannya menuju meja mereka, termasuk tawa yang keluar dari bibir wanitanya. Gita berbalik dan menyambut kedatangan Rangga dengan senyuman lebar. Dia biasanya malu jika tertangkap basah begini. Tapi sekarang, dia justru ingi
Farah tersenyum meremehkan mendengar ancaman Rangga. "Melaporkanku? Kamu pikir mereka akan percaya pada ceritamu bahwa aku menyerangnya?" Suaranya tak kalah mengejek. "Kenapa nggak? Aku tahu kamu punya image yang sangat bagus, tapi kamu bukan malaikat. Sifat aslimu akan tersebar cepat atau lambat." "Tapi kamu nggak punya bukti aku menyerangnya duluan. Mungkin, Gita-lah pelakunya." Ya. Tidak mungkin CCTV dipasang di dalam toilet. Itu merupakan area privat. "Nggak masalah. Aku akan pakai rekaman dari pesta. Aku sengaja menyimpannya." Rangga mungkin terdengar berlebihan. Tapi dia perlu mendapatkan bukti ketidakadilan atau kekerasan yang dialami istrinya jikalau kejadian serupa terulang. Meskipun Gita mengatakan tidak akan memperpanjang masalah tersebut, dia tetap menyimpannya sebagai pegangan. "Aku percaya hakim akan mengetahui mana yang benar dan salah." Wajah Farah memucat mendengarnya. "T-Tapi kamu nggak punya rekaman yang tadi." Dia berpura-pura tetap kuat meski suaranya sedikit
"Berhenti melakukannya. Kamu mungkin merusak ponselmu karena bolak-balik mengambil lalu meletakkannya di meja," kata Rangga setelah menangkap basah Gita mengambil ponselnya untuk yang kesekian kali. Dan yang dilakukan istrinya adalah sama. Membuka riwayat panggilan telepon dan pesannya. Gita, yang menyadari aksinya ketahuan, hanya merengut. Dia terpaksa kembali meletakkan ponselnya ke atas meja dengan bibir mengerucut. "Aku takut melewatkan panggilan atau pesan mereka," sungutnya. "Nggak akan. Ponselmu ada di depanmu dan kamu pasti kalau ada telepon atau pesan masuk." Gita merasakan beban di sampingnya saat Rangga mendudukkan dirinya di sofa yang sama dengannya. Dia tidak mau melihat suaminya karena telah mengomelinya. Tetapi Rangga tidak membiarkan hal tersebut dan justru menarik lembut dagunya untuk menatapnya sehingga mata mereka saling bertemu. "Aku benci kamu." Dia mengatakan kata-kata andalannya. Rangga hanya tertawa mendengarnya sebab dia tahu Gita tidak bersungguh-sungguh
Pagi ini, Rangga terbangun dengan sesuatu yang tak biasa. Dia mendengar seseorang muntah dan benaknya dapat menebak siapa. Gita. Jadi dia segera berlari ke kamar mandi untuk mengecek istrinya. Dan pemandangan yang didapatnya adalah Gita tengah duduk di lantai, di depan kloset dengan kepala menunduk saat istrinya memuntahkan isi perutnya. Rasanya tak tega hanya dengan melihat Gita demikian. "Apa yang terjadi?" tanya Rangga sembari menepuk pelan punggung Gita. Dia berjongkok di samping Gita dengan tatapan cemas di wajahnya. Gita menyelesaikan muntahnya, dan setelah merasa tak ada lagi yang dapat dikeluarkannya, dia menegakkan kepalanya seraya menggeleng. "Aku tiba-tiba ingin muntah begitu bangun tidur." Suaranya terdengar sangat lemah, begitu pun tubuhnya. Dia seolah-olah tak memiliki tenaga lagi dan baru tahu jika muntah akan menguras banyak energi. Tangan kiri Rangga bergerak ke dahi Gita untuk mengecek suhunya sementara tangan kanannya masih menepuk punggung wanitanya. "Kamu ngg
Muntah seolah hal yang mulai biasa terjadi di rumah mereka selama beberapa hari terakhir ini. Gejala itu terkadang berlangsung singkat namun pernah suatu hari Gita muntah hingga hampir makan siang. Itu membuat mereka frustasi, terutama Rangga yang melihat istrinya begitu. Rasanya sangat menyakitkan. Seperti hari ini. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan tapi Gita masih muntah di kamar mandi. Tunggu. Ke mana Rangga?"Yes, Jenny. Dia mual-mual dari pagi tadi jadi dia nggak bisa bertemu klien. Maaf karena kamu mesti mencari seseorang untuk menggantikannya." Rangga berbicara kepada Jenny melalui telepon seraya mengacak rambutnya frustasi. Dia ingin berada di samping istrinya dan membantu Gita melewati morning sickness-nya. Tapi di sinilah dia sekarang. Berdiri di dapur sembari menelepon Jenny setelah membuatkan air lemon hangat untuk sang istri. "Aku mengerti. Aku harap dia segera membaik." "Thanks." Selesai mengatakannya, Rangga kembali mendengar Gita muntah. Istrinya terdengar ber
"Jadi, gimana, Dok?" tanya Rangga setelah pengecekan menggunakan USG selesai dan kini mereka kembali duduk saling berhadapan. Dia siap mendengarkan hasilnya. "Well, hasilnya bagus. Dia tumbuh seperti yang diharapkan." Dokter Belinda memulai dengan mengatakan hal baiknya. "Tapi ada concern mengenai kondisi Bu Gita. Seperti yang pernah saya katakan, trimester pertama kehamilan adalah masa-masa rawan. Jadi dia perlu ekstra hati-hati untuk menjaga kehamilannya terutama setelah mengalami gejala-gejala ini. Saya sangat menyarankan Bu Gita untuk mengurangi aktivitas. Apakah memungkinkan Bu Gita untukn cuti?" Rangga menelan ludahnya dengan susah payah saat mendengar pertanyaan tersebut. Dia punya sedikit perasaan buruk tentang hal ini. "Apakah memang perlu cuti?" tanya Gita. "Saya sangat menyarankan untuk ambil cuti dan istirahat. Saat ini, bayinya sedang membutuhkan semua perhatian orang tuanya." Tangan Gita yang berada di atas pahanya menggenggam seiring kebingungan yang menderanya. Ak