"Maaf ya, Mas. Tapi aku tidak rela jika harta yang kamu miliki jatuh semua ke tangan Rena. Aku yang menemani kamu mulai dari nol, jadi aku yang lebih berhak. Jika Rena ingin hidup bersama kamu, dia juga harus memulai dari nol juga, sama sepertiku dulu." Alina memotong ucapan suaminya. Seketika Rena terkejut mendengar hal tersebut. ***Suasana mendadak hening, Rena benar-benar tidak menyangka jika semua harta kekayaan Wildan sudah berpindah ke tangan Alina. Rena juga tidak menyangka kalau Alina ternyata juga licik. Ia pikir jika Alina hanya wanita lemah yang mudah untuk dibodohi. Wildan mengusap wajahnya dengan gusar. "Aku tidak menyangka kalau kamu setega itu.""Apa aku tidak salah dengar, bukankah kamu yang lebih tega, Mas." Alina menatap pria yang sudah lima tahun bersamanya. "Kamu licik, bisa-bisanya kamu mengambil semua harta milik, Mas Wildan. Apa kamu tidak sadar, aku berhasil melahirkan seorang putra yang nantinya akan menjadi pewaris ayahnya. Tapi dengan licik kamu mengambi
"Aku tidak takut dengan tantangan kamu itu." Wildan menatap tajam pada wanita yang duduk di hadapannya itu. Suasana benar-benar tegang, bukan hanya Erika dan Wildan yang kecewa, tetapi juga dengan Rena. Kecewa dan kesal telah berubah menjadi satu. ***"Dikasih pilihan yang enak kok nggak mau," ucap Erika dengan sinis. Sementara Alina hanya tersenyum, sejak dulu ibu mertuanya memang seperti itu. "Rena, Bu lebih baik kita pulang saja, karena percuma bicara dengan perempuan keras kepala seperti dia," ucap Wildan. Setelah itu mereka bertiga segera berpamitan, tatapan sinis dari mereka kembali Alina dapatkan. Bahkan mungkin sekarang mereka bertambah benci terhadap Alina atas masalah tersebut. Namun bagi Alina itu tidak menjadi masalah. "Aku harus kuat, aku tidak boleh lemah," gumamnya. Setelah itu Alina beranjak masuk ke dalam kamarnya. Setibanya di kamar, Alina meletakkan tasnya setelah itu ia berjalan menuju lemari untuk mengambil berkas penting yang akan ia jadikan satu. Alina jug
"Apa." Wildan terkejut saat tahu jika isi amplop itu adalah surat perceraian dari Alina. Wildan tidak menyangka jika diam-diam Alina menggugat cerai dirinya. Bahkan Alina juga menjual rumah yang sudah lima tahun mereka tempati bersama. ***"Alina kamu benar-benar tega, diam-diam kamu menceraikan aku," gumamnya. Wildan meremas kertas yang ia pegang. Setelah itu, Wildan mengambil ponselnya berniat untuk menghubungi nomor Alina. Namun, setelah dicoba, hasilnya nihil, nomor Alina sudah tidak aktif lagi. Wildan mengerang frustasi, setelah itu ia berlari ke dalam untuk mengambil sertifikat rumah miliknya itu. "Ada apa, Tuan?" tanya bi Inah. "Ada sesuatu yang akan saya ambil, Bi." Wildan berlari masuk ke dalam menuju ruang kerjanya yang berada di lantai dua. Setibanya di ruang kerja, Wildan langsung mencari yang ia butuhkan. Setelah cukup lama mencari, akhirnya yang ia butuhkan dapat ditemukan. Wildan langsung mengeceknya, beruntung sertifikat tersebut masih ada dan tidak ada yang berub
Saat Wildan hendak keluar dari butik, tiba-tiba ia menghentikan langkahnya, lantaran matanya tidak sengaja menangkap sosok perempuan yang sangat ia kenal. Perempuan berjilbab yang wajahnya sangat mirip dengan Alina, tetapi yang membuat Wildan heran, perempuan itu tengah berbadan dua, bahkan tangan kanannya menuntun anak kecil yang mungkin usianya tiga tahun. ***"Alina, tidak mungkin. Ini pasti mimpi," gumamnya. Mata Wildan tak lepas dari wanita berjilbab yang ada di hadapannya itu. "Mas ayo." Amara menarik tangan Wildan dan membawanya keluar dari butik tersebut. "Kenapa wajahnya sangat mirip, tapi apa mungkin dia Alina," batinnya lagi. Pikiran Wildan mendadak kacau gara-gara wanita berjilbab itu. Namun yang membuat heran, jika itu adalah Alina, kenapa perutnya besar, seperti orang hamil. Bukankah Alina dulu sempat menjalani operasi angkat rahim, jadi mustahil jika Alina hamil. "Mas kamu kenapa sih, kok dari tadi diem terus." Amara menepuk pundak Wildan, seketika pria berkemeja p
Selama ini Amara tidak tahu jika Alina adalah mantan istri Wildan. Amara juga tidak tahu kalau istri sepupunya itu adalah Alina, karena mereka memang tidak menikah di jakarta. Amara baru pertama kali melihat istri Adam, hal ini membuat Wildan terancam. ***"Selamat ya, semoga langgeng," ucap Adam, seraya menjabat tangan Wildan. "Iya, terima kasih," sahut Wildan. "Selamat ya," ucap Alina seraya menjabat tangan Amara. Ia melirik mantan suaminya yang terlihat gugup. Awalnya Alina terkejut kalau Wildan menikah dengan sepupu Adam, suaminya. Namun, Alina memilih untuk diam, dan bersikap biasa saja, Wildan adalah masa lalu terburuknya. Yang membuat Alina heran, kenapa Wildan menikah lagi, lalu bagaimana dengan Rena. Ternyata bukan hanya Wildan yang terkejut saat melihat kehadiran Alina. Namun Erika pun demikian, perempuan itu tak kalah terkejut. Erika khawatir jika nanti mantan menantunya itu akan mengadu jika Wildan adalah mantan suaminya. "Iya, terima kasih. Nafisa salim nggak." Amar
Jantung Amara terasa berhenti berdetak setelah membaca pesan kedua yang dikirim di ponsel Wildan. Apa maksud dari pesan itu, apa benar jika Alva adalah anak Wildan. Jika benar, itu artinya Wildan sudah membohongi dirinya. ***"Apa yang kamu sembunyikan dariku, Mas." Amara bergegas turun ke bawah dengan membawa ponsel milik Wildan. Dengan hati yang terbakar Amara berjalan menghampiri suaminya yang sudah menunggu di mobil. Amara membuka pintu mobil, lalu menunjukkan pesan tersebut kepada Wildan. Detik itu juga pria berkemeja biru itu terlonjak kaget, raut wajahnya juga berubah tegang. "Ada hubungan apa sebenarnya kamu sama Rena, tolong jelaskan," ujar Amara dengan sorot mata tajam. Seketika Wildan diam, ia harus mencari cara agar Amara kembali percaya padanya. Tidak bisa dipungkiri jika Wildan benar-benar marah dengan ulah Rena. Wildan sudah bilang, selama ia berada di rumah Amara, Rena dilarang untuk menghubunginya, tetapi wanita itu tidak mau mendengarkannya. "Sayang, kan aku sud
Amara mengantar suaminya sampai di teras depan, saat membuka pintu utama. Seketika mereka terkejut saat melihat Rena sudah berada di depan pintu. Terlebih Wildan, jantungnya seakan ingin loncat saat melihat istri keduanya sudah ada di depan mata. ***"Rena." Wildan membatin. "Rena kamu ada di sini, sama siapa? Terus Alva mana?" tanya Amara. "Alva ada di rumah sakit, aku ke sini untuk memberitahu ayahnya. Kalau sudah seminggu lebih putranya mencarinya," ucap Rena dengan sorot mata yang tajam. Rena sudah tidak peduli lagi, jika nanti harus diceraikan oleh Wildan, asalkan ia sudah memberitahu jika lelaki yang bersama Amara bukan laki-laki baik. "Maksud kamu, Rena aku nggak ngerti ke mana arah bicara kamu," ujar Amara yang benar-benar merasa bingung dengan sikap Rena. "Sayang sudahlah mungkin Rena .... ""Temui putra kamu, Mas. Apa kamu lupa dengan darah dagingmu sendiri." Rena memotong ucapan Wildan. "Rena, mas Wildan itu suami aku, dia bukan .... ""Dia juga suamiku, ayah Alva." R
Alina terkejut lalu menoleh ke arah kiri, terlihat jika suaminya sudah berdiri di sebelahnya dengan wajah yang sudah merah padam. Ternyata bukan hanya Alina yang terkejut, Iqbal pun demikian, dan sepertinya usahanya akan gagal, karena potongan martabak yang ia campur dengan obat sudah terlempar ke lantai. ***"Mas, kenapa martabaknya .... ""Iqbal, ayah kecewa sama kamu. Apa ini yang ayah ajarkan, kamu sekolah itu untuk belajar yang bener, bukan seperti ini." Adam memotong ucapan Alina. Suasana benar-benar tegang, bahkan Nafisa langsung bangkit dan memeluk kaki Alina. "Iqbal melakukan ini karena, Ayah menikah lagi, apa ayah lupa kalau bunda meninggal gara-gara dia," ungkap Iqbal. "Iqbal." Adam mengangkat tangan hendak melayangkan tamparannya ke pipi Iqbal. Namun niatnya terhenti saat Alina memegangi tangan suaminya itu. "Jangan, Mas. Aku tahu kamu ayahnya dan berhak melakukan apa saja, tapi bukan seperti ini caranya," ujar Alina. Sementara Iqbal sudah memalingkan wajahnya. Adam m