"Kami suruhan, Tuan Burhan. Kami bertugas untuk mengosongkan rumah ini, karena Tuan Burhan telah menyitanya sebagai pelunas hutang Rena," jelasnya. Mendengar itu, jantung Wildan serasa ingin loncat. Rena benar-benar keterlaluan, sudah membohonginya, dan sekarang membuatnya sengsara. ***Setelah membereskan pakaian, Wildan memutuskan untuk meninggalkan rumah tersebut. Rumah yang sengaja ia beli untuk Rena dulu, tapi dengan gampang Rena melenyapkan rumah itu. Kini Wildan memilih untuk pulang ke rumah ibunya. "Apa?! Jadi Alva itu bukan anak kamu! Dan sekarang Rena pergi dengan laki-laki lain." Erika terkejut mendengar cerita Wildan. "Iya, Bu." Wildan mengangguk. "Terus kalau sudah seperti ini, kita mau bagaimana?" tanya Erika. "Aku nggak tahu, Bu." Wildan menggelengkan kepalanya, lalu menyenderkannya di sandaran sofa. "Alina sekarang sudah bahagia dengan orang lain, sementara kamu. Diusir Amara dan diselingkuhin Rena," ujar Erika, mendengar itu kepala Wildan bertambah pusing. "Ter
Tiba-tiba bug, tubuh Wildan ambruk dan jatuh tersungkur. Alina yang melihat itu seketika terkejut, lalu ia menoleh ke arah belakang. Alina kembali terkejut saat melihat siapa yang menolongnya. ***"Iqbal, kamu .... ""Ma, Mama nggak apa-apa kan?" tanya Iqbal dengan raut wajah khawatir. "Iya, dari mana kamu tahu kalau .... ""Ayah yang kasih tahu, ayah nggak bisa jemput, lalu nyuruh aku untuk jemput, Mama." Iqbal kembali memotong ucapan Alina. Alina benar-benar bahagia, mungkinkah jika Iqbal telah menerimanya. Wildan memegang tengkuknya yang masih terasa sakit, perlahan pria itu bangun. Melihat Wildan bangun, Alina berjalan menghampiri Iqbal dan berdiri di belakangnya. Wildan meringis seraya memijit tengkuknya. "Dasar bocah bau kencur, jangan sok jadi pahlawan kamu," ujar Wildan. Sesekali ia memijit tengkuknya. "Lebih baik sekarang, Om pergi saja, sebelum aku panggil temen-temen untuk menghajar, Om." Iqbal menyuruh Wildan untuk mundur dan pergi. "Kamu yang harus pergi dari sini,
"Aku nggak mau, lepas, Boby aku nggak mau." Rena terus berteriak agar Boby mengurungkan niatnya itu, tetapi Boby tidak peduli dengan teriakan Rena. Ia tersenyum karena rencananya telah berhasil. ***Kini kebahagiaan tengah menyelimuti keluarga Adam, Alina berhasil melahirkan bayi perempuan yang sangat cantik. Meski harus melalui operasi, kini bayi mungil itu tengah menjadi rebutan oleh kakek serta neneknya. Sementara Adam memilih untuk menemani istrinya, yang kondisi masih lemah. "Terima kasih ya, Sayang." Adam mencium kening istrinya dengan lembut. Kebahagiaan itu kembali Adam rasakan, meski bukan dengan wanita yang sama. Namun Adam beruntung bisa memiliki istri seperti Alina. "Sama-sama, Mas." Alina menganggukkan kepalanya. Bagi Alina, kebahagiaan yang ia rasakan saat ini bahagia yang tidak ada duanya. Kini Alina bisa merasakan menjadi istri yang sesungguhnya, menjadi ibu dari anak yang ia lahirkan, meski bukan dari rahimnya sendiri. "Mas kapan aku boleh pulang?" tanya Alina. Ju
"Janji kamu untuk menikahi Sindy," jawab Mila, seketika Alina terkejut mendengar hal itu. Bukan hanya Alina, Adam pun demikian. ***Suasana menjadi tegang, khawatir terjadi kesalah pahaman terhadap sang istri. Adam berjalan mendekati Alina. Adam tidak pernah merasa berjanji untuk menikahi Sindy, adik kandung Winda mendiang istrinya. Namun kenapa tiba-tiba mereka datang dan menagih janji. "Maaf, tapi aku tidak pernah berjanji untuk menikah dengan Sindy," ucap Adam. "Adam, mbak itu nggak lupa, kalau kamu pernah berjanji untuk menikah dengan Sindy," kekehnya. Mila tetap bersikeras untuk meminta agar Adam menikah dengan Sindy. Adam menggelengkan kepala. "Enggak, Mbak. Kalau, Embak tidak percaya, kita tanya langsung ke mama sama papa!" tegasnya. Adam tidak habis pikir, kenapa tiba-tiba kakak iparnya datang dan bicara omong kosong seperti itu. "Apa alasan kamu, tidak mau menikah dengan Sindy?" tanya Mila. "Karena aku sudah menikah dengan perempuan kini berdiri di sampingku," jawab Ada
"Iya, mas Wildan mengira jika ibu adalah kamu," ucap Amara. Sejak saat itu, ibu mertuanya trauma dan memilih untuk mengurung diri di kamar.***Sejak pulang dari rumah Wildan, Arina sering melamun, jujur Alina merasa kasihan melihat mantan suaminya itu. Sejahat apapun Wildan, tetapi pria itu pernah menjadi bagian dari hifup Alina. Pernah menjadi imam dalam bahtera rumah tangganya dulu. "Sayang kamu kenapa? Kok ngelamun gitu, apa yang kamu pikirkan." Adam duduk di sebelah istrinya. Alina menghela napas. "Aku nggak apa-apa kok, Mas. Cuma masih kepikiran tentang ... keadaan mas Wildan yang sekarang. Maaf, Mas aku nggak bermaksud untuk .... ""Iya, nggak apa-apa, aku ngerti bagaimana perasaan kamu. Bagaimanapun juga, kalian pernah hidup bersama, kamu do'akan saja semoga Wildan bisa sembuh seperti dulu." Adam memotong ucapan istrinya, lalu merengkuhnya. "Mas, Nafisa di mana?" tanya Alina. "Masih di rumah mama, memangnya kenapa." Adam balik bertanya. "Memangnya belum pulang ya, kok tad
"Syukurlah, mudah-mudahan ini awal yang baik," gumamnya. Amara ikut bahagia melihat mantan ibu mertua dan suami yang kini sudah berbaikan. ***Tidak terasa lima tahun telah berlalu, kini Asha tumbuh menjadi anak yang cantik dan juga cerdas, tak beda dengan Nafisa. Sementara Iqbal juga semakin dewasa, bahkan kini Iqbal tengah melanjutkan kuliahnya di Jakarta, awalnya di Bandung, tetapi Adam memintanya untuk pindah ke Jakarta. Iqbal mengambil fakultas kedokteran, karena memang cita-citanya ingin menjadi dokter. Lima tahun lebih Alina membina rumah tangga bersama dengan Adam. Perbedaan usia tak menjadi masalah, justru Alina merasa lebih nyaman jika bersanding dengan suaminya yang sekarang. "Sayang dasinya di mana," teriak Adam dari dalam kamar. "Masih di laci, Mas." Alina pun ikut berteriak. Saat ini wanita berjilbab itu sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi. "Sayang nggak ketemu." Adam kembali beteriak, hal itu membuat Alina menghela napas. "Sayang sebentar ya, bunda ke atas dulu,"
@Wildan[Bu, uangnya sudah aku transfer, lima belas juta seperti yang, Ibu minta]Alina termenung setelah membaca pesan yang Wildan---suaminya kirim kepada ibunya. Sering sekali Wildan mentransfer uang dengan jumlah yang menurutnya tak wajar. Karena bukan hanya sekali atau dua kali saja. "Sudah sepuluh kali lebih, Mas Wildan memberikan ibu uang dengan jumlah yang banyak. Padahal anaknya kan bukan, Mas Wildan saja," gumamnya. Setelah itu Alina kembali meletakkan ponsel milik suaminya itu. "Alina, tolong buatkan kopi ya, nanti bawa ke ruang kerja aku," titah Wildan yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Ah iya, Mas." Alina mengangguk. Setelah itu ia bergegas turun ke bawah, lalu menuju dapur untuk menyeduh kopi seperti yang suaminya itu perintahkan. "Sampai kapan kamu dimanfaatkan terus oleh ibu serta saudara kamu sendiri, Mas." Alina membatin. Usai menyeduh kopi, Alina beranjak naik ke lantai atas, di mana ruang kerja suaminya berada. Setibanya di ruang kerja, Alina berjalan men
Wanita berjilbab yang memakai seragam kerja di restoran itu menoleh. Seketika Wildan terkejut setelah melihat siapa wanita yang bekerja sebagai pelayan restoran di mana ia akan makan siang. Bukan hanya Wildan saja yang terkejut, tetapi pelayan itu juga tak kalah terkejut. ***Sorot mata Wildan menyiratkan rasa amarah, bagaimana bisa seorang istri pengusaha bekerja sebagai pelayan restoran. Iya wanita berjilbab itu adalah Alina, istri Wildan. Jika orang tahu siapa Alina yang sebenarnya, mau ditaruh di mana wajah Wildan. "Mas, itu bukannya Alina?" tanya Rena. Wildan hanya diam, matanya tak lepas dari sang istri. Sementara itu, Alina masih berdiri mematung, ia tidak menyangka jika suaminya akan datang ke resto di mana Alina bekerja. Alina berusaha untuk tetap bersikap tenang, hatinya memang sakit saat melihat suaminya sendiri makan berdua dengan seorang wanita, terlebih wanita itu tengah berbadan dua. Entah itu anak siapa, dan mereka memiliki hubungan apa. Alina terpaksa bekerja seb