“Selvi!”
Samar aku mendengar suara Mas Agus semakin menjauh memanggil namaku sebelum kesadaranku hilang sepenuhnya. Pandangan di sekelilingku menjadi gelap gulita.
Cukup lama rasanya aku berada dalam kegelapan sehingga aroma minyak kayu putih membuat panca Inderaku kembali berfungsi.
Hiruk pikuk di sekelilingku membuat kesadaranku semakin muncul ke permukaan.
“Akhirnya sadar juga,” ucap suara perempuan yang terdengar familiar. Suaranya dekat sekali di telinga. Mungkin orang itu yang juga menepuk-nepuk bahuku sambil memaksa penciumanku untuk menghirup aroma minyak kayu putih.
“Alhamdulillah, matanya sudah mulai terbuka,” ucap suara lain yang juga seorang perempuan ketika kupaksa membuka kelopak mata yang terasa berat.
Aku semakin jelas mendengar suara di sekelilingku seiringan dengan penglihatanku yang mulai jernih.
“Mbak Jum,” lirih suaraku memanggil orang pertama yang mampu ditangkap netra. Cukup kaget dengan keberadaan Mbak Jum di rumahku, tetangga yang terpisah dua rumah dariku itu jarang sekali meninggalkan rumahnya karena mempunyai warung di rumahnya.
Kurasakan punggung tanganku disentuh lembut. “Saya, Mbak Sel. Gimana perasaannya, Mbak?”
Belum sempat aku menjawab, sentuhan lain pun kurasakan di tangan sebelah kanan. Kali ini lebih kecil dari tangan Mbak Jum. “Mama udah bangun? Mana yang sakit, Ma?” Suara kecil itu aku tahu milik Ayuni, putri bungsuku.
“Sudah, Nak. Mama nggak papa, kok,” kilahku sambil memaksa sudut bibir membentuk senyuman.
Wajah mungil itu menatapku sendu dengan mata terlihat sembab. Dia pasti menangis selama aku tak sadarkan diri. Di sebelahnya berdiri anak sulungku yang keadaannya tak jauh berbeda.
Kasian putriku, mereka pasti cemas melihatku pingsan. Aku membatin.
“Semua ini gara-gara papa! Jika papa tidak menendang mama, mungkin mama tidak akan pingsan.”
Suara lantang Rafni, membuatku tersentak. Tak mengira jika dia melihat kejadian tadi.
Sepertinya bukan hanya aku saja yang kaget, ruang depan rumah KPR-ku mendadak ramai seperti gaungan kawanan lebah pulang ke sarang.
Setiap kepala yang berada di sana menyuarakan pendapat mereka. Barulah aku sadar jika rumahku dipenuhi banyak orang, mungkin semua warga komplek berkumpul di sini.
“Kenapa ada banyak orang di sini, Mbak Jum?” tanyaku menyuarakan penarasan. Jika Mbak Jum saja di sini aku merasa wajar karena rumahnya memang berdekatan denganku. Namun, melihat beberapa wajah asing ikut berada di dalam rumahku tentu ada berita heboh yang membuat mereka berkumpul di sini.
“Tadi ....” Mbak Jum menjeda ucapannya, dia melirik sekilas pada Rafni yang berdiri di sampingnya.
Mbak Jum terlihat ragu-ragu untuk berbicara.
“Katakan saja, Mbak,” ujarku meyakinkan.
Mbak Jum membuang napas pelan sebelum melanjutkan ucapannya, “Tadi, putri cantikmu ini berlarian di sepanjang komplek. Dia menangis histeris memanggil semua orang untuk meminta bantuan menyelamatkan kamu yang tergolek pingsan.”
“Bude bangga sama kamu, Nak. Kamu penyelamat mamamu,” lanjut Mbak Jum mengusap kepala putri sulungku.
Aku pun ikut melirik pada Rafni yang kini berlinangan air mata. Mentalnya pasti terguncang melihat kejadian hari ini.
“Jangan menangis, Nak. Mama sudah baik-baik saja.” Tanganku terulur untuk menenangkan Rafni.
Aku mencoba bangkit, sebagai tuan rumah yang baik aku harus menyapa tamu yang berkunjung ke rumahku, meski kedatangan mereka karena kejadian yang tak mengenakkan.
Tangan Mbak Jum bergerak bebas menyanggah punggungku ketika tiba-tiba tubuhku terhuyung kehilangan tenaga. Aku belum begitu pulih.
“Terima kasih, Mbak Jum.” Aku berucap lirih. Mbak Jum mengangguk sebagai jawaban.
Aku mendongak untuk memperhatikan setiap wajah yang kini masih memenuhi rumahku. Setelah kesadaranku pulih seutuhnya, kini banyak wajah akhirnya bisa kukenali. Beberapa dari mereka adalah rekan sesama ibu rumah tangga yang sering berjumpa di warung Mbak Jum ketika berbelanja sayur.
“Terima kasih banyak atas perhatian ibu-ibu dan bapak-bapak semua yang telah bersedia datang ke sini setelah mendengar teriakan minta tolong anak saya. Aku merasa bersyukur sekali tinggal di lingkungan yang penghuninya perhatian terhadap sesama.”
Sepatah kata kusampaikan untuk ucapan terima kasih. Meski setelah ini aku akan menjadi tranding topik di komplek ini, setidaknya aku cukup terharu atas simpati mereka.
Serempak mereka menjawab sehingga aku tidak bisa mendengar jelas apa yang mereka ucapkan.
***
Semua orang kini telah pergi, setelah memastikan keadaanku sudah benar-benar membaik, dan setelah mereka merasa puas membicarakan masalah yang kuhadapi sampai ke akar-akarnya, bahkan mungkin dikuliti sampai habis, rumahku kembali tenang.
Hanya bersisa Mbak Jum yang sibuk di dapur mungilku untuk menyiapkan makanan untukku dan juga anak-anak.
Aku teringat memang belum makan sejak pagi, mungkin itu juga yang membuatku pingsan karena menahan emosi pada saat perut kosong.
Teringat dengan ucapan Rafni tadi, aku penasaran sejauh mana anak sulungku itu mendengar percekcokan kami. Sebelum aku masuk ke kamar tadi untuk mengambil uang di dompet Mas Agus, dua anak itu tengah bermain di depan rumah Mbak Jum.
“Nak, sini dulu,” panggilku pada Rafni yang tengah asyik menonton kartun bersama adiknya. Sementara aku masih berbaring di sofa, di belakang mereka.
Rafni beranjak mendekatiku menyadari aku memanggil dirinya. “Ada apa, Ma?” ucapnya.
Aku ragu untuk bertanya, cemas jika jawabannya nanti akan membuatku bersedih. Selama ini aku selalu menghindari pertengkaran dengan Mas Agus di depan anak-anak. Takut jika percekcokkan kami akan mengganggu perkembangan mental mereka.
“Terima kasih banyak ya, Nak. Sudah mencari pertolongan untuk Mama.” Alih-alih bertanya, aku akhirnya mengucapkan terima kasih. Sulungku yang sebentar lagi berusia sembilan tahun itu sudah mengerti keadaan darurat yang membutuhkan pertolongan orang lain.
“Rafni nggak mau kehilangan, Mama. Rafni ingin selalu bersama Mama.” Wajahnya yang polos kembali terlihat sendu ketika dia mengutarakan perasaannya.
Aku raih tangannya, menenangkan dirinya yang mulai terisak sambil berucap, “Iya, Sayang. Mama akan selalu bersama kamu dan juga Ayuni.”
“Janji kita akan selalu bersama. Tapi, nggak usah bawa papa,” ucap Rafni terlihat kesal ketika menyinggung Mas Agus.
Matanya berkilat menyiratkan kebencian yang terpendam di hatinya. Miris rasanya melihat anak sulungku itu menyimpan amarah untuk salah satu orang tuanya.
“Kenapa?”
“Papa jahat! Dia bahkan pergi setelah membuat Mama pingsan.” Suara Rafni meninggi dengan napasnya yang memburu. Mba Jum yang berada di dapur sempat menoleh pada kami mendengar luapan emosi Rafni.
Sulungku tengah berada di puncak kemarahan. Kutarik tangannya pelan supaya tubuhnya jongkok, sejajar denganku yang berbaring. Mengusap punggungnya untuk menenangkannya.
Semenjak siuman aku belum melihat batang hidung Mas Agus. Mungki kah Mas Agus pergi meninggalkan kami? Dengan suara pelan aku menggumam, “Ke mana perginya dia? Apa dia berniat menelantarkan kami di sini?”
“Mari makan ... hidangan sudah siap.” Suara Mbak Jum membuyar lamunanku yang sedang memikirkan Mas Agus yang kabur entah ke mana. Tetangga rasa saudara itu mulai menata makanan yang selesai dimasaknya di atas meja makan. Entah dengan apa aku bisa membalas kebaikannya nanti, dengan uang tentu tidak bisa karena aku tidak memilikinya. “Rafni, adik bawamu sini, Nak. Ini Bude ambilkan nasi untuk kalian,” ucap Mbak Jum memberi perintah pada dua anakku untuk mendekat ke meja makan.Dua bocah yang memang sudah kelaparan itu segera menghambur ke meja makan. Masing-masing langsung mengambil piring yang telah berisi nasi lengkap dengan lauk dan sayurannya. “Mama sini makan juga,” panggil Ayuni menoleh ke arahku dengan mulut yang terisi penuh. “Mama biar makan di sana saja, ini Bude siapkan untuk mama. Kalian makan saja yang lahap,” tukas Mbak Jum lebih dulu sembari memperlihatkan piring di tangannya. Tidak ingin terlalu merepotkan Mbak Jum lebih banyak lagi aku berusaha bangkit. “Aku makan
“Ayo Mbak Selvi, kita lihat suamimu ke sana. Biar nanti aku cari pertolongan dengan meminta bantuan pada bapak-bapak yang lain.” Ajakan Pak Rahmad timbul tenggelam di pendengaranku.Kepalaku tengah sibuk memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi jika Mas Agus beneran pergi secepat ini. Bagai mana hidup kami setelah ini? Masalah pendidikan ke dua anakku? Dan masih banyak lagi kecemasan yang tiba-tiba mendera. “Papa kenapa, Ma? Apa papa pingsan seperti Mama tadi?” Guncangan pelan di tanganku mengembalikan kesadaranku. Putri bungsuku itu menatap cemas ke arahku. “Cepat bersiaplah, jika keselamatan Agus dipertaruhkan. Kabarnya sudah dari senja tadi dia seperti itu, aku baru dapat kabarnya barusan dari mendengar cerita beberapa pemuda yang singgah membeli rokok di warung.” Pak Rahmad kembali mendesakku. Kali ini dia terlihat mulai tak sabar dengan diriku yang lemot dalam mengambil keputusan. “Ayo kita jemput papa, Ma.” Ayuni juga ikut mendesakku melihat aku masih bergeming. Tanga
"Siapa perempuannya, Pak Rahmad?" tanyaku penasaran. Meski hati sudah tidak karuan rasanya, tapi aku berusaha untuk tetap tenang."Aku nggak tau, Mbak Selvi. Orang di dalam bilang itu cewek panggilan," jawab Pak Rahmad ragu."Astaghfirullahhal'adzim!" pekikku syok mendapati suamiku mulai bertindak di luar kebiasaannya.Mas Agus memang sudah jauh sekali berubah semenjak menjadi karyawan ini. Dia mulai bertindak semaunya. Sudah lama sekali dia tidak mabuk-mabukkan seperti ini, kalau tidak salah terakhir dia melakukannya saat kami hendak menikah dulu. Alasan dia melakukannya waktu itu untuk menghilangkan beban pikiran yang memenuhi kepalanya. Memang Mas Agus dulu stres mencari cara untuk mendapatkan restu dari orang tuaku. Walaupun akhirnya kami tetap bisa menikah, meski tanpa restu dari mereka.Dan sekarang, apa yang membuatnya banyak pikiran? Dia sudah memiliki pekerjaan tetap dengan gaji mengalir tiap bulan. Sedangkan sepuluh tahun ke belakang dengan penghasilan seadanya dia tidak mera
"Ternyata masih berani pulang dia," geram Rafni sambil menggeser langkahnya di belakangku, seperti berlindung dari pantauan Mas Agus. Sedangkan adiknya sudah tertawa riang dalam pelukan Mas Agus. Mas Agus pulang masih mengenakan pakaian yang dia pakai kemarin. Wajahnya terlihat sama kusutnya dengan pakaian yang dia kenakan, seperti orang bangun tidur. "Kakak jahat sama Adek, Pa. Suka bentak bentak." Terdengar Ayuni mulai mengadu. Mendengar pengaduan Ayuni semakin membuat Rafni menempelkan tubuhnya padaku. Walau pun kemarahannya sampai ke ubun-ubun, aku tahu putri sulungku ini takut pada papanya. "Kenapa kakak marah? Pasti Adek melakukan sesuatu yang membuat Kak Rafni marah." Ternyata Mas Agus menanggapi dengan cukup bijak. Dia tidak langsung meng-aminkan aduan Ayuni. "Adek mau ketemu Papa, terus kakak langsung marah-marah."Hening sewaktu-waktu. Mungkin Mas Agus bingung harus menjawab seperti apa. Aku dan Rafni juga masih membisu. Memperhatikan dua beranak itu dari jauh. Tidak ingi
"Mas, kenapa sambel dan sayur sebanyak itu kamu habiskan? Seharusnya cukup untuk makan kita sampai malam. Dan, ini aku belum makan tapi semuanya sudah ludes," cecarku didepan yang sibuk bermain ponsel. Sementara Ayuni sudah terlelap di sampingnya. Terpaksa aku melahap nasi putih yang dioles pada sambal mangkok supaya ada sedikit rasanya.Mas Agus cuek saja, seakan suaraku tidak sampai ke telinganya. Terlebih dia tidak mendongak dengan kedatanganku, tetap fokus pada ponsel dalam genggamannya."Itu sisa bahan kemarin yang aku masak, Mas. Udah nggak ada apa-apa lagi di rumah yang bisa di masak. Nanti malam kita mau makan apa?" Aku kembali berucap meski Mas Agus terus mengabaikanku."Kamu pikir sendiri lah gimana supaya bisa makan. Salah sendiri kenapa kamu habiskan jatah belanja yang aku berikan," pungkas Mas Agus santai tanpa menoleh ke arahku."Mau cari di mana, Mas? Mas tahu sendiri kalau selama ini aku hanya mengandalkanmu, Mas," ujarku pasrah.Tak habis pikir melihat Mas Agus yang s
"Mulai berani kamu sekarang, ya! Berani kamu mengadukan perbuatan Mas pada ibu-ibu komplek!" tuding Mas Agus begitu aku sampai di depannya. "Udah puas menertawakan, Mas? Hah!" Tatapannya garang menatapku. Seakan mampu melahapku hidup-hidup. "Maaf, Mas. Aku pergi hanya untuk menghibur diri. Apa salahnya jika aku berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Sementara Mas juga nongkrong bersama teman-teman, Mas. Bahkan sampai pergi dengan perempuan panggilan pula." Entah apa yang membuatku mulai berani untuk melawannya. Rasanya tidak betul jika aku harus selalu mengalah. Dia yang salah."Tuh kan, liat saja! Baru sekali berkumpul dengan mereka, kamu sudah mulai berani melawan suami. Memang dasar istri benalu tidak tahu diri, masih untung aku mau menampung dan memberimu makan. Jika tidak, sudah jadi gembel kamu di sini!" Setiap kata yang keluar dari mulut Mas Agus kini hanya umpatan dan kemarahan."Jaga bicara kamu, Mas! Aku ini istrimu, memang wajib kamu nafkahi," bentakku ikut meninggikan suara
“Mas, berangkat, Dek,” kata Mas Agus di depan pintu. Dia selesai memakai sepatu hendak berangkat. Sikapnya kembali biasa, seperti tidak ada bencana dalam bahtera kami.“Iya, Mas,” jawabku menyusul mendekatinya untuk mengecup punggung tangannya. Sebuah kebiasaan yang tidak perah lupa aku lakukan semenjak awal menikah, berharap keberkahan di sana. Mungkin saja kebiasaan kecil ini yang membuat rumah tangga kami masih bertahan. Meski hati marah, kebiasaan seakan sudah menjadi hal wajib yang harus aku lakukan.Seperti biasa Mas Agus langsung berangkat kerja setelah sarapan. Dia tidak mau tau dengan anak sulung kami yang juga akan berangkat sekolah. Baginya tugas mengantar Rafni ke sekolah adalah tanggung jawabku. Tugas dia menjamin uang jajan dan biaya sekolah Rafni terpenuhi. Walaupun belakangan dia mulai lupa dengan tanggung jawabnya.Kami hanya mempunyai satu kendaraan, yaitu sepeda motor yang selalu dipakai Mas Agus untuk pergi kerja. Makanya aku tidak bisa pergi kemana-mana karena
“Saatnya berikan hidangan terbaik untuk tetangga yang baik hati,” ujarku girang seraya melangkah ringan menuju rumah. Aku tidak mau mengecewakan Mbak Jum yang telah menyelamatkanku dari ancaman kelaparan hari ini. Sementara Ayuni kutitipkan bersama Mbak Jum, putri bungsuku itu senang bermain di rumah Mbak Jum karena banyak mainan bekas anak Mbak Jum yang sekarang sudah besar. Ikan pemberian Mbak Jum langsung kumasak tumis cabe hijau sesuai permintaannya. Beberapa ekor aku bakar untuk kedua putriku yang tidak suka pedas, kemudian sisanya aku goreng, disimpan buat stok besok.Selesai bagian tumis, langsung aku bagi dua, satu mangkok untukku, satu lagi untuk Mbak Jum. Untuk bagian Mbak Jum sengaja aku buat lebih banyak. Segera kuantar mangkok yang berisi tumis ikan itu ke rumah Mbak Jum, khawatir Mas Rahmad, suami Mbak Jum pulang cepat pada jam istirahat makan siang. Berbeda dengan Mas Agus, Mas Rahmad selalu pulang ke rumah saat istirahat siang. Selain itu aku juga harus segera m