Tanpa menjelaskan apa-apa, Salman langsung memerintahkan dua orang pria berseragam polisi untuk menangkap Mas Agus.Bukan Mas Agus saja yang terlonjak kaget, aku pun heran mendapati Salman yang langsung membawa polisi masuk ke ruanganku, terlebih untuk menangkap Mas Agus, ayah dari anak-anakku.Dua orang polisi itu pun langsung bergerak sesuai perintah Salman mendekati Mas Agus yang tidak sempat melawan. Dengan gerakan sigap keduanya memegang tangan Mas Agus kemudian memborgolnya.. Mas Agus yang masih kaget tidak bisa berbuat apa-apa, terlihat pasrah ketika gelang besi itu sudah melingkar di pergelangan tangannya.“Ada apa ini, Salman? Kenapa kamu menyuruh polisi menangkap Mas Agus?” tanyaku heran. Protes lebih tepatnya, kenapa dia membuat keputusan sepihak begitu tanpa persetujuanku.Memang secara nyata hanya gelar CEO yang aku miliki, sementara semua pekerjaannya dia yang handle. Tapi tidak begini juga.Aku tahu Mas Agus telah banyak berbuat salah. Namun, di sisi lain dia salah
“Maafkan aku, Mas, telah lancang menggeledah celanamu. Bukan inginku begini. Tetapi, saat bangun nanti kamu pasti akan langsung meminta makan. Sementara tak ada sedikit pun makanan yang tersedia. Izinkan aku mengambil uangmu untuk membeli bahan sayuran juga lauk,” gumamku lirih memohon izin pada Mas Agus yang terlelap tidur. Sebenarnya lebih pada berbicara sendiri, karena aku berbicara sedikit berbisik. “Aku lapar, Mas. Anak-anak juga butuh makan. Aku janji, akan mengambil sedikit aja,” tambahku membela diri. Dari sore kemarin aku belum makan sedikit pun. Makan malam semalam, hanya cukup untuk anak-anak juga Mas Agus saja. Bukan aku diet atau berhemat, memang bahan makanan yang sudah habis, hanya cukup untuk makan tiga orang saja. Jatah bulanan pemberian Mas Agus sudah habis seminggu yang lalu. Sedangkan awal bulan untukku kembali mendapat jatah bulanan masih seminggu lagi. Dengan tangan gemetar, aku mulai meraba kantong celana Mas Agus yang digantung di belakang pintu kamar. Mencar
"Ngapain sama dompet aku? Mulai lancang kamu, ya! Mengobrak abrik barang pribadiku!” ketus Mas Agus merampas dompetnya di dekat kakiku.“Ma-maaf, Mas.” Suaraku bergetar ketakutan. Refleks aku mundur selangkah memberi jarak di antara kami.“Sejak kapan kamu jadi istri tak tau diri begini?” garang Mas Agus menatapku. Hatiku teriris mendengar pedas ucapannya.“A-aku cuma mau ngambil uangmu dikit aja, Mas. Untuk membeli tahu dan tempe buat di masak hari ini.” Gugup suaraku menimpali. Aku masih terus menunduk, terlalu takut bertemu mata dengannya.“Bukannya udah kukasih kemarin? Kemana aja uang sebanyak itu?” Suara garang Mas Agus membuatku semakin menciut.“Tiga minggu yang lewat Mas berikan, sudah habis kemarin beli beras 2kg untuk makan beberapa hari ke depan, Mas.”Meski takut, aku tetap harus menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Sebagai seorang suami yang bertanggung jawab, Mas Agus pasti akan memahami keadaanku.“Uang 1 juta kamu habiskan tiga minggu?” sentak Mas Agus tak percaya. T
“Selvi!”Samar aku mendengar suara Mas Agus semakin menjauh memanggil namaku sebelum kesadaranku hilang sepenuhnya. Pandangan di sekelilingku menjadi gelap gulita.Cukup lama rasanya aku berada dalam kegelapan sehingga aroma minyak kayu putih membuat panca Inderaku kembali berfungsi.Hiruk pikuk di sekelilingku membuat kesadaranku semakin muncul ke permukaan. “Akhirnya sadar juga,” ucap suara perempuan yang terdengar familiar. Suaranya dekat sekali di telinga. Mungkin orang itu yang juga menepuk-nepuk bahuku sambil memaksa penciumanku untuk menghirup aroma minyak kayu putih.“Alhamdulillah, matanya sudah mulai terbuka,” ucap suara lain yang juga seorang perempuan ketika kupaksa membuka kelopak mata yang terasa berat.Aku semakin jelas mendengar suara di sekelilingku seiringan dengan penglihatanku yang mulai jernih.“Mbak Jum,” lirih suaraku memanggil orang pertama yang mampu ditangkap netra. Cukup kaget dengan keberadaan Mbak Jum di rumahku, tetangga yang terpisah dua rumah dariku it
“Mari makan ... hidangan sudah siap.” Suara Mbak Jum membuyar lamunanku yang sedang memikirkan Mas Agus yang kabur entah ke mana. Tetangga rasa saudara itu mulai menata makanan yang selesai dimasaknya di atas meja makan. Entah dengan apa aku bisa membalas kebaikannya nanti, dengan uang tentu tidak bisa karena aku tidak memilikinya. “Rafni, adik bawamu sini, Nak. Ini Bude ambilkan nasi untuk kalian,” ucap Mbak Jum memberi perintah pada dua anakku untuk mendekat ke meja makan.Dua bocah yang memang sudah kelaparan itu segera menghambur ke meja makan. Masing-masing langsung mengambil piring yang telah berisi nasi lengkap dengan lauk dan sayurannya. “Mama sini makan juga,” panggil Ayuni menoleh ke arahku dengan mulut yang terisi penuh. “Mama biar makan di sana saja, ini Bude siapkan untuk mama. Kalian makan saja yang lahap,” tukas Mbak Jum lebih dulu sembari memperlihatkan piring di tangannya. Tidak ingin terlalu merepotkan Mbak Jum lebih banyak lagi aku berusaha bangkit. “Aku makan
“Ayo Mbak Selvi, kita lihat suamimu ke sana. Biar nanti aku cari pertolongan dengan meminta bantuan pada bapak-bapak yang lain.” Ajakan Pak Rahmad timbul tenggelam di pendengaranku.Kepalaku tengah sibuk memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi jika Mas Agus beneran pergi secepat ini. Bagai mana hidup kami setelah ini? Masalah pendidikan ke dua anakku? Dan masih banyak lagi kecemasan yang tiba-tiba mendera. “Papa kenapa, Ma? Apa papa pingsan seperti Mama tadi?” Guncangan pelan di tanganku mengembalikan kesadaranku. Putri bungsuku itu menatap cemas ke arahku. “Cepat bersiaplah, jika keselamatan Agus dipertaruhkan. Kabarnya sudah dari senja tadi dia seperti itu, aku baru dapat kabarnya barusan dari mendengar cerita beberapa pemuda yang singgah membeli rokok di warung.” Pak Rahmad kembali mendesakku. Kali ini dia terlihat mulai tak sabar dengan diriku yang lemot dalam mengambil keputusan. “Ayo kita jemput papa, Ma.” Ayuni juga ikut mendesakku melihat aku masih bergeming. Tanga
"Siapa perempuannya, Pak Rahmad?" tanyaku penasaran. Meski hati sudah tidak karuan rasanya, tapi aku berusaha untuk tetap tenang."Aku nggak tau, Mbak Selvi. Orang di dalam bilang itu cewek panggilan," jawab Pak Rahmad ragu."Astaghfirullahhal'adzim!" pekikku syok mendapati suamiku mulai bertindak di luar kebiasaannya.Mas Agus memang sudah jauh sekali berubah semenjak menjadi karyawan ini. Dia mulai bertindak semaunya. Sudah lama sekali dia tidak mabuk-mabukkan seperti ini, kalau tidak salah terakhir dia melakukannya saat kami hendak menikah dulu. Alasan dia melakukannya waktu itu untuk menghilangkan beban pikiran yang memenuhi kepalanya. Memang Mas Agus dulu stres mencari cara untuk mendapatkan restu dari orang tuaku. Walaupun akhirnya kami tetap bisa menikah, meski tanpa restu dari mereka.Dan sekarang, apa yang membuatnya banyak pikiran? Dia sudah memiliki pekerjaan tetap dengan gaji mengalir tiap bulan. Sedangkan sepuluh tahun ke belakang dengan penghasilan seadanya dia tidak mera
"Ternyata masih berani pulang dia," geram Rafni sambil menggeser langkahnya di belakangku, seperti berlindung dari pantauan Mas Agus. Sedangkan adiknya sudah tertawa riang dalam pelukan Mas Agus. Mas Agus pulang masih mengenakan pakaian yang dia pakai kemarin. Wajahnya terlihat sama kusutnya dengan pakaian yang dia kenakan, seperti orang bangun tidur. "Kakak jahat sama Adek, Pa. Suka bentak bentak." Terdengar Ayuni mulai mengadu. Mendengar pengaduan Ayuni semakin membuat Rafni menempelkan tubuhnya padaku. Walau pun kemarahannya sampai ke ubun-ubun, aku tahu putri sulungku ini takut pada papanya. "Kenapa kakak marah? Pasti Adek melakukan sesuatu yang membuat Kak Rafni marah." Ternyata Mas Agus menanggapi dengan cukup bijak. Dia tidak langsung meng-aminkan aduan Ayuni. "Adek mau ketemu Papa, terus kakak langsung marah-marah."Hening sewaktu-waktu. Mungkin Mas Agus bingung harus menjawab seperti apa. Aku dan Rafni juga masih membisu. Memperhatikan dua beranak itu dari jauh. Tidak ingi