‘Cantik dia bilang?’ tanya Prims dalam hati.
Ia merasakan tubuhnya bergeligi mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Arley.
Pipinya menghangat dengan cepat, dia malu karena selama ini tidak ada seorang pun yang memujinya cantik, selain mendiang ibunya.
Seolah belum cukup membuat Prims menggigil dengan jantung yang berdetak kencang, Arley kembali mendekat saat Prims menarik dirinya dari Arley.
Pria itu kembali tersenyum tipis yang semakin membuat tubuhnya meremang, “Apakah kedua pipimu yang berubah merah itu juga karena terkena cat?” tanya Arley dengan dagu yang mengedik pada wajahnya.
Prims yang salah tingkah tidak tahu harus berbuat apa karena lagi-lagi Arley membuatnya kehabisan kata.
Selagi Prims mencoba menormalkan detak jantungnya kembali, Arley masih tidak mengalihkan tatapannya sama sekali.
Dia tidak berpaling, melainkan menikmati kepanikan Prims yang menarik di matanya.
Mencegah dirinya untuk tidak salah tingkah, Prims menata napasnya yang terasa sesak saat mendengar apa yang dikatakan oleh Arley. “B-bukankah aku sudah bilang, Tuan Arley?” tanya Prims lirih, menatap mata pria yang berbaring berhadapan dengannya ini, saat temaramnya lampu mengambil alih setiap inci penjuru ruangan, alih-alih terlihat redup, kedua irisnya malah terlihat berbinar.“Apa?” tanya Arley balik, suaranya terdengar rendah.“K-kalau kamu harus memperhatikan apa yang kamu katakan karena itu agak ...” Prims menjedanya, memilih kata yang tepat. “Berbahaya,” lanjutnya berhati-hati. “Aku sudah mengatakannya tadi siang, ‘kan? Ucapanmu bisa membuat orang lain ....”Prims menghela napasnya, sengaja tidak melanjutkannya karena ia yakin seharusnya Arley tahu apa yang ingin dia katakan.Pria itu tak menjawabnya, dia hanya terus memandang Prims tanpa mengatakan apapun.Seolah menikm
“U-untuk apa menutup mataku?” ulangi Prims dengan suara yang serak. Mendengar kalimat tak biasa dari Arley membuatnya satu jarak mundur. Namun karena saking gugupnya, langkah kakinya tidak bertumpu dengan benar sehingga yang terjadi dia malah kehilangan keseimbangan dan nyaris saja limbung ke belakang. “Akh!” jeritnya kecil tepat saat Arley menahan pinggangnya sebelum dia terhempas ke lantai. Prims menahan napasnya saat tubuhnya tak lagi memiliki jarak karena mereka berdua melakukan kontak fisik. “Apakah memakaikan dasi untukku membuatmu seterbebani itu sampai kamu akan kabur, Primrose?” tanya Arley dengan suaranya yang dalam, sedang Prims masih mencoba menata napasnya yang memburu naik turun tak beraturan. “T-tidak, Tua
Prims sangat panik saat Arley menyebut warna bra yang sedang dia kenakan di balik dress broken white yang telah basah itu.Setelah menikmati sebentar kepanikan Prims, Arley akhirnya melepas jas yang dia kenakan dan meletakkannya di depan tubuh Prims untuk menutupi pakaian dalamnya yang tercetak jelas.“Pakai ini untuk menutupinya,” ujarnya yang diterima oleh Prims dengan malu. Karena rasanya Prims tidak pernah berhenti membuat Arley menyerahkan jas miliknya, entah ini untuk yang ke berapa kali.“T-terima kasih,” ucap Prims dengan gigi yang rasanya bergeligi.Arley mengangguk tak kentara, sebelum matanya yang gelap memandang Prims dan bertanya, “Apakah kamu sengaja melakukan ini?”
Hari pertama ditinggal Arley, Prims menjalani rutinitas seperti biasanya. Setelah sarapan sendirian dengan Jodie yang berdiri menemaninya, dia membawa kanvas ke luar rumah dan melanjutkan untuk melukisnya.Menikmati beberapa jam di luar dengan kuas dan cat warna, Prims bisa menjumpai potret seorang gadis di kanvas miliknya yang sudah jelas akan dibawa ke mana arah lukisan ini. Romantisme, karena nantinya ‘gadis’ di kanvas itu tidak akan sendirian melainkan ada seorang pria di sampingnya.Menjelang sore, dia mengatakan pada Jodie jika dia akan pergi ke kelas masak.Dengan diantar oleh Will, sopir milik Arley, dia tiba di sana. Dan sepertinya ... dia akan kembali bertemu dengan Richard karena kabar sekilas yang dia dengar chef Adam masih belum bisa datang.
“Tidak, Nyonya! Aku tidak pernah berselingkuh darinya!” bantah Prims atas tuduhan yang baru saja dilayangkan ibu mertua terhadapnya bahwa dia telah berselingkuh dari anak semata wayangnya.Yang mengejutkan bagi Prims adalah ... bagaimana caranya Alice, adik tirinya itu tahu bahwa dia mengikuti kelas memasak?Bagaimana caranya dia tahu bahwa chef pengganti yang datang di sana adalah Richard?Tapi, bukankah harusnya Prims tidak perlu menanyakan hal itu? Karena dia tahu betul seberapa luas pergaulan Alice. Barangkali ada salah satu peserta yang merupakan teman dekatnya dan bercerita padanya, bukankah hal itu bisa saja terjadi?“Lalu disebut apa kalau kamu tidak berselingkuh? Bermesraan dengan pria lain padahal kamu sudah menikah itu bukan hal yang bisa dinormalisasi, Primrose!”Prims menghela napasnya, dia menatap Katie dan menjaga nada bicaranya agar tidak terdengar gemetar, “Aku memang ikut kelas memasak di Wellness Cooking
‘Sayang dia bilang?’ batin Prims masih dengan menengadahkan wajahnya pada Arley dan seulas senyum tipisnya.‘Kapan aku pernah memberitahunya soal itu?’ batinnya masih dipenuhi banyak tanya. Dia tak ingat pernah mengatakan pada Arley perihal pertemuannya dengan Richard.Ah, atau … ini hanya cara pria itu untuk melindunginya?Hal itu seperti menambahi benang kusut yang ada di dalam benaknya setelah kedatangannya yang tiba-tiba.Mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh Arley bahwa Prims sudah mengatakan soal pertemuannya di kelas masak yang dia ikuti membuat semua orang terhening.Namun, seperti tidak ingin membiarkan Prims lolos begitu saja, Katie satu langkah mendekat pada Arley yang m
Tanya dari prims sepertinya telah membekukan seisi ruang ganti termasuk kedua bibir Arley yang kini terpasung bisu.Pria itu hanya bergeming, meski wajahnya terlihat datar, tetapi matanya menyimpan banyak kalimat. Prims tidak ingin terjebak dengannya di dalam kediaman dingin ini sehingga dia menyeret kakinya untuk mengayun pergi dari sana.Yang ada dalam benaknya adalah, menjelaskan seperti apapun akan sia-sia jika Arley lebih percaya dengan rumor yang digiring oleh Alice.Prims berbalik meninggalkannya, satu langkah beranjak, pergelangan tangannya diraih oleh Arley. Jemari besar pria itu menahannya untuk berdiri di sini, seolah tidak mengizinkannya pergi atau sekadar memalingkan wajahnya sebelum masalah mereka usai.“Primrose,” panggil Arley lirih. Dengan satu gerakan yang sedikit kuat dia membuat Prims menghadapnya kembali sehingga dua pasang iris mereka bertukar pandang seperti semula. Dia menghela napasnya dengan alis tegasnya yang berkeru
Deg!Deg!Keheningan merayap tetapi dada dibuncahkan oleh jantung yang detaknya sangat gaduh.Dengan cepat, Prims menarik tangannya dari genggaman Arley. Dia tidak ingin terbuai oleh denyut di balik dada bidangnya yang seperti sedang memengaruhinya untuk ikut berdenyut seirama dengan miliknya.Prims tidak ingin terjebak di dalam situasi yang membuatnya salah tingkah atau tiba-tiba setelah Arley mengatakan jika di dalam hatinya hanya ada namanya.Dengan gegas dia membawa langkahnya mengayun pergi, meninggalkan Arley yang berdiri terpaku di tempatnya tanpa beranjak bahkan untuk seinci.Pria itu menatap rambut panjang nan hitam Prims yang perlahan menjauhinya, dia memijit keningnya yang terasa nyeri saat desahnya dipenuhi dengan tanya, ‘Apakah dia tidak percaya dengan yang aku katakan kalau aku tidak melakukan apapun dengan adiknya?’Sementara itu di luar kamar, Prims berpikir ... tidak bertemu dengan Arley sementara waktu ini adalah keput