Dan karena itu pula, Ardiya ingin memberikan bukti cintanya yang paling besar, adalah memberikan kesempatan Cleo untuk senyuman yang sama.
Meski sekalipun, senyuman itu berasal dari Brahmana.
Tidak satu kali pun Brahmana melirik Cleo. Bahkan dengan kejam, menolak tegas semua ajakan dan tawaran Cleo.
“Siapa kamu dengan tega melukai hati gadis sebaik Cleo?!” Ardiya menyentak marah pada Brahmana. Tangannya mendorong bahu Brahmana dengan kasar.
Ia mendatangi Brahmana di ruang perpustakaan, kala mendapati Cleo yang menangis setelah ajakannya ditolak mentah-mentah oleh Brahmana.
“Jika kamu menyukainya, kenapa tidak kamu saja yang mengencaninya?” ujar Brahmana datar.
“Brengsek kamu!” Ardiya melayangkan pukulan ke arah wajah Brahmana.
Namun dengan gesit, Brahmana menghindari pukulan itu lalu menangkap tangan Ardiya dan memutar tubuh adik sepupunya itu hingga Ardiya mengerang kesakitan.
“Jangan
“Apa?” Brahmana menghentikan kegiatannya melakukan pengecekan berkas di atas meja dan menatap tajam Fathan. “Maaf Tuan, tapi semua schedule besok dikosongkan atas permintaan Tuan Besar.” “Besok penandatanganan MoU dengan Mr. Harun dan kamu tahu seperti apa beliau. Kerjasama itu bisa saja dibatalkan olehnya jika kita merubah jadwal yang disepakati besok.” Fathan meringis. “Memang sudah dibatalkan, Tuan. Asisten tuan Harun telah mengirim email-nya.” “Apa?” “Maaf Tuan. Tuan Besar mengatakan tidak apa-apa kehilangan kerjasama dengan Tuan Harun, karena beliau sendiri yang membatalkannya.” “What the–” Brahmana beralih pada layar PC-nya dan mengecek kotak email. Dan benar saja, email dari perusahaan besar di Malaysia itu masuk dan memberitahukan membatalkan kerjasama mereka. “Apa yang Kakek lakukan.. Proyek dengan Harun ini bernilai besar…” desis Brahmana dengan raut wajah kesal. Cukup sulit baginya untuk menggaet perusahaan milik Tuan Harun itu dalam satu proyek bersama di negara in
“Kakek--”“Aku benar kan?” Mata Dananjaya Tua memicing beberapa saat, lalu ia mendengkus sinis mendapati Brahmana yang tidak kuasa menjawab dirinya.Ia beralih menuju sofa santai yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.“Sudah bukan waktunya kamu bermain-main dan bersenang-senang, Bram.” Dananjaya mengempas tubuhnya di atas sofa dan mulai berbicara panjang.“Saya tidak pernah bermain-main, Kek. Kakek sangat mengetahui itu.”Dananjaya melirik Brahmana yang masih berdiri di tempat semula. “Kalau begitu, laksanakan perintah Kakek. Kita akan melamar ke keluarga Robert minggu depan. Kamu tidak bisa sembarang mengambil pasangan yang tidak jelas asal-usulnya. Apa kata orang nanti?”Brahmana mengeratkan rahang lalu berjalan mendekat ke arah kakeknya duduk. “Saya sudah mengatakannya pada kakek. Saya tidak bisa menikah dengan Katrina. Saya--”“Kakek tahu, bahwa kamu in
“Terima kasih kau masih mau menemuiku, Runa.”Aruna menatap wajah pria yang cukup rupawan itu di hadapannya. Ia akhirnya menemui Ardiya di suatu cafe Minggu hari ini.Setelah negosiasi yang hampir alot dengan Brahmana, Aruna diizinkan bertemu dengan Ardiya tanpa ditemani Brahmana ataupun tanpa diantar supir Brahmana.“Diya… Kamu pikir aku itu teman macam apa, yang langsung memutuskan hubungan pertemanan hanya karena hal sepele?”Ardiya mengangkat wajah dan menatap manik kecoklatan milik Aruna. “Kau benar-benar tidak menganggap ini hal besar?”Gelengan kepala diberikan Aruna sebagai jawaban. “Meskipun demikian, kamu berhutang penjelasan padaku, Diya. Aku bahkan tidak tahu, apakah nama Ardiya bahkan nama aslimu.” Aruna mencebik.Ardiya melipat bibir dan menunduk kembali. “Namaku Kevin Ardi Dananjaya. Ardiya berasal dari Ardi Dananjaya yang aku singkat.”“Kenapa kam
“Apa yang kamu lamunkan, Kev?” Joe bertanya saat mereka berdua berada dalam mobil milik Ardiya. Joe yang menyetir, telah mematikan mesin mobil sejak tadi namun Ardiya terlihat asyik memandang ke luar jendela. Ardiya hanya menggeleng cepat lalu membuka pintu mobilnya. “Ayo,” tukasnya singkat pada Joe. Joe mengangkat bahu lalu berjalan menyusul Ardiya yang telah lebih dulu masuk ke sebuah rumah di pinggiran kota. Ardiya mengetuk pintu, tak lama kemudian pintu itu terbuka dan menampilkan satu sosok lelaki bertubuh tinggi tegap. Laki-laki itu bergeser ke sisi untuk memberikan jalan bagi Ardiya dan Joe masuk ke dalam. “Sedang apa dia?” tanya Ardiya pada laki-laki itu. “Ada di kamarnya, Bos. Terkunci seperti yang diperintahkan,” jawab laki-laki itu. Ia ikut berjalan di belakang Ardiya menuju satu ruangan di lantai dua. Laki-laki itu kemudian mendahului Ardiya untuk membukakan pintu bagi Ardiya dan Joe masuk ke dalam ruangan yang serupa kamar itu. Begitu pintu terbuka dan Ardiya mel
Bagai seorang remaja yang tengah kasmaran, gejala itu terlihat begitu nyata pada Aruna. Erwin yang melihat sang putri menebar senyum tanpa henti, serta mata yang terpaku pada layar ponsel dengan senyum mengembang tiba-tiba, cukup paham apa yang terjadi. Dan Erwin pun tahu, pria mana yang beruntung mendapatkan perhatian putrinya itu. Ya. Bukan Aruna yang beruntung, melainkan Brahmana sang CEO Dananjaya Group-lah yang beruntung karena mendapatkan hati putri tercinta Erwin. Aruna adalah seorang yang istimewa. Seorang perempuan bersahaja, pekerja keras dan tangguh. Putrinya itu pun memiliki ketulusan yang cukup sulit ditemukan di jaman seperti ini yang serba pamrih. Erwin tersenyum. Apapun yang membuat putrinya bahagia, ia akan mendukungnya. Sepenuh hati. Terdengar suara pintu diketuk, Aruna terlihat langsung membenahi bajunya dan bergegas ke pintu rawat inap sang ayah yang sebenarnya tidak dikunci itu. “Runa,” sapa seseorang bersuara rendah begitu pintu dibuka Aruna. Pria bertubu
“Mata lu kemana?” hardik wanita itu lagi.“Kenapa kamu melotot, heh?!” Wanita itu kembali berkata kasar lalu berkacak pinggang, tatkala melihat Aruna yang menatap balik tidak terima.“Anda yang nabrak saya, Mbak,” kata Aruna tetap mengutamakan ketenangan.Teman wanita itu lalu maju dan memandang Aruna dari atas hingga ke bawah lalu mendecih. “Kamu ke sini apa benar mau beli, atau berniat lain?”“Apa maksud Anda?” Kening Aruna mengernyit.“Eh, lu bener Din,” tukas wanita yang berkacak pinggang. “Ni cewek kagak keliatan mampu buat belanja di sini.”“Apa maksud kalian?”“Mbak! Sini mbak!” panggil wanita yang berkacak pinggang pada pramuniaga yang berjaga tidak jauh dari mereka.Perempuan berseragam itu langsung menghampiri dengan senyuman manis di wajahnya.“Iya kak, ada yang bisa saya bantu?”&ldqu
Sontak semua yang ada di area itu menolehkan kepalanya ke asal suara. “Siapa kamu!” sentak Bella kesal sembari berbalik. Namun saat melihat sosok jangkung dengan setelan jas coklat gelap berdiri dengan aura intimidatif nya itu, ia seketika terperangah. Tak ayal dengan Dini, matanya membelalak lebar melihat makhluk jelmaan dewa itu di dekat pintu gerai. Pria gagah nan tampan itu diikuti beberapa orang di belakangnya. “Siapa--” Kalimat sang manager terpotong tatkala dari belakang pria tinggi dan tampan itu, maju seseorang dengan kacamata dan wajah seriusnya. “Pa-pak.. Fathan??” Manager itu mengenali Fathan. Tidak ada yang tidak mengenali tangan kanan sang Bos Besar pemilik plaza termegah di ibukota ini. Fathan adalah orang yang memang sering mewakili sang Bos Besar pada pertemuan jajaran atas di management Amerta. “Apa yang kamu lakukan? Suruh bawahanmu melepaskan tangannya dari nona Aruna!” ujar Fathan dingin disertai tatapan tajam pada sang manager. Sang manager menatap gugu
“Ini semua yang dilaporkan oleh orang-orang kita, Tuan Besar.” Dananjaya Tua menggeretakkan giginya. Ia lalu mengempas lembaran foto-foto di tangannya ke atas meja, namun karena kuatnya empasan itu, membuat beberapa lembar foto terserak jatuh ke atas karpet tebal yang melapisi ruang kerja besar di mansion milik Dananjaya. Sang asisten --Nuh, memberi kode pada seorang pelayan yang berdiri di dekat pintu. Sang pelayan pun tergopoh menghampiri dan tanpa disuruh dua kali, pelayan itu membungkuk dan memunguti foto-foto yang berserakan. Tanpa berani menaikkan wajah, pelayan itu meletakkan dengan hati-hati semua foto yang ia pungut dari bawah, ke atas meja kerja Dananjaya kembali. Setelahnya ia segera kembali ke tempatnya berdiri mematung. “Beraninya anak bodoh itu terang-terangan mempertontonkan ini!” geram Dananjaya sambil mencengkeram ujung pegangan kursi. “Apalagi yang anak itu lakukan di Amerta?” Nuh mendekat lalu meneruskan laporannya. “Setelah membelanjakan banyak barang pada