“Kakek--”“Aku benar kan?” Mata Dananjaya Tua memicing beberapa saat, lalu ia mendengkus sinis mendapati Brahmana yang tidak kuasa menjawab dirinya.Ia beralih menuju sofa santai yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.“Sudah bukan waktunya kamu bermain-main dan bersenang-senang, Bram.” Dananjaya mengempas tubuhnya di atas sofa dan mulai berbicara panjang.“Saya tidak pernah bermain-main, Kek. Kakek sangat mengetahui itu.”Dananjaya melirik Brahmana yang masih berdiri di tempat semula. “Kalau begitu, laksanakan perintah Kakek. Kita akan melamar ke keluarga Robert minggu depan. Kamu tidak bisa sembarang mengambil pasangan yang tidak jelas asal-usulnya. Apa kata orang nanti?”Brahmana mengeratkan rahang lalu berjalan mendekat ke arah kakeknya duduk. “Saya sudah mengatakannya pada kakek. Saya tidak bisa menikah dengan Katrina. Saya--”“Kakek tahu, bahwa kamu in
“Terima kasih kau masih mau menemuiku, Runa.”Aruna menatap wajah pria yang cukup rupawan itu di hadapannya. Ia akhirnya menemui Ardiya di suatu cafe Minggu hari ini.Setelah negosiasi yang hampir alot dengan Brahmana, Aruna diizinkan bertemu dengan Ardiya tanpa ditemani Brahmana ataupun tanpa diantar supir Brahmana.“Diya… Kamu pikir aku itu teman macam apa, yang langsung memutuskan hubungan pertemanan hanya karena hal sepele?”Ardiya mengangkat wajah dan menatap manik kecoklatan milik Aruna. “Kau benar-benar tidak menganggap ini hal besar?”Gelengan kepala diberikan Aruna sebagai jawaban. “Meskipun demikian, kamu berhutang penjelasan padaku, Diya. Aku bahkan tidak tahu, apakah nama Ardiya bahkan nama aslimu.” Aruna mencebik.Ardiya melipat bibir dan menunduk kembali. “Namaku Kevin Ardi Dananjaya. Ardiya berasal dari Ardi Dananjaya yang aku singkat.”“Kenapa kam
“Apa yang kamu lamunkan, Kev?” Joe bertanya saat mereka berdua berada dalam mobil milik Ardiya. Joe yang menyetir, telah mematikan mesin mobil sejak tadi namun Ardiya terlihat asyik memandang ke luar jendela. Ardiya hanya menggeleng cepat lalu membuka pintu mobilnya. “Ayo,” tukasnya singkat pada Joe. Joe mengangkat bahu lalu berjalan menyusul Ardiya yang telah lebih dulu masuk ke sebuah rumah di pinggiran kota. Ardiya mengetuk pintu, tak lama kemudian pintu itu terbuka dan menampilkan satu sosok lelaki bertubuh tinggi tegap. Laki-laki itu bergeser ke sisi untuk memberikan jalan bagi Ardiya dan Joe masuk ke dalam. “Sedang apa dia?” tanya Ardiya pada laki-laki itu. “Ada di kamarnya, Bos. Terkunci seperti yang diperintahkan,” jawab laki-laki itu. Ia ikut berjalan di belakang Ardiya menuju satu ruangan di lantai dua. Laki-laki itu kemudian mendahului Ardiya untuk membukakan pintu bagi Ardiya dan Joe masuk ke dalam ruangan yang serupa kamar itu. Begitu pintu terbuka dan Ardiya mel
Bagai seorang remaja yang tengah kasmaran, gejala itu terlihat begitu nyata pada Aruna. Erwin yang melihat sang putri menebar senyum tanpa henti, serta mata yang terpaku pada layar ponsel dengan senyum mengembang tiba-tiba, cukup paham apa yang terjadi. Dan Erwin pun tahu, pria mana yang beruntung mendapatkan perhatian putrinya itu. Ya. Bukan Aruna yang beruntung, melainkan Brahmana sang CEO Dananjaya Group-lah yang beruntung karena mendapatkan hati putri tercinta Erwin. Aruna adalah seorang yang istimewa. Seorang perempuan bersahaja, pekerja keras dan tangguh. Putrinya itu pun memiliki ketulusan yang cukup sulit ditemukan di jaman seperti ini yang serba pamrih. Erwin tersenyum. Apapun yang membuat putrinya bahagia, ia akan mendukungnya. Sepenuh hati. Terdengar suara pintu diketuk, Aruna terlihat langsung membenahi bajunya dan bergegas ke pintu rawat inap sang ayah yang sebenarnya tidak dikunci itu. “Runa,” sapa seseorang bersuara rendah begitu pintu dibuka Aruna. Pria bertubu
“Mata lu kemana?” hardik wanita itu lagi.“Kenapa kamu melotot, heh?!” Wanita itu kembali berkata kasar lalu berkacak pinggang, tatkala melihat Aruna yang menatap balik tidak terima.“Anda yang nabrak saya, Mbak,” kata Aruna tetap mengutamakan ketenangan.Teman wanita itu lalu maju dan memandang Aruna dari atas hingga ke bawah lalu mendecih. “Kamu ke sini apa benar mau beli, atau berniat lain?”“Apa maksud Anda?” Kening Aruna mengernyit.“Eh, lu bener Din,” tukas wanita yang berkacak pinggang. “Ni cewek kagak keliatan mampu buat belanja di sini.”“Apa maksud kalian?”“Mbak! Sini mbak!” panggil wanita yang berkacak pinggang pada pramuniaga yang berjaga tidak jauh dari mereka.Perempuan berseragam itu langsung menghampiri dengan senyuman manis di wajahnya.“Iya kak, ada yang bisa saya bantu?”&ldqu
Sontak semua yang ada di area itu menolehkan kepalanya ke asal suara. “Siapa kamu!” sentak Bella kesal sembari berbalik. Namun saat melihat sosok jangkung dengan setelan jas coklat gelap berdiri dengan aura intimidatif nya itu, ia seketika terperangah. Tak ayal dengan Dini, matanya membelalak lebar melihat makhluk jelmaan dewa itu di dekat pintu gerai. Pria gagah nan tampan itu diikuti beberapa orang di belakangnya. “Siapa--” Kalimat sang manager terpotong tatkala dari belakang pria tinggi dan tampan itu, maju seseorang dengan kacamata dan wajah seriusnya. “Pa-pak.. Fathan??” Manager itu mengenali Fathan. Tidak ada yang tidak mengenali tangan kanan sang Bos Besar pemilik plaza termegah di ibukota ini. Fathan adalah orang yang memang sering mewakili sang Bos Besar pada pertemuan jajaran atas di management Amerta. “Apa yang kamu lakukan? Suruh bawahanmu melepaskan tangannya dari nona Aruna!” ujar Fathan dingin disertai tatapan tajam pada sang manager. Sang manager menatap gugu
“Ini semua yang dilaporkan oleh orang-orang kita, Tuan Besar.” Dananjaya Tua menggeretakkan giginya. Ia lalu mengempas lembaran foto-foto di tangannya ke atas meja, namun karena kuatnya empasan itu, membuat beberapa lembar foto terserak jatuh ke atas karpet tebal yang melapisi ruang kerja besar di mansion milik Dananjaya. Sang asisten --Nuh, memberi kode pada seorang pelayan yang berdiri di dekat pintu. Sang pelayan pun tergopoh menghampiri dan tanpa disuruh dua kali, pelayan itu membungkuk dan memunguti foto-foto yang berserakan. Tanpa berani menaikkan wajah, pelayan itu meletakkan dengan hati-hati semua foto yang ia pungut dari bawah, ke atas meja kerja Dananjaya kembali. Setelahnya ia segera kembali ke tempatnya berdiri mematung. “Beraninya anak bodoh itu terang-terangan mempertontonkan ini!” geram Dananjaya sambil mencengkeram ujung pegangan kursi. “Apalagi yang anak itu lakukan di Amerta?” Nuh mendekat lalu meneruskan laporannya. “Setelah membelanjakan banyak barang pada
Aruna bergegas menghampiri satu orang pria yang berdiri di samping seorang pria yang menelungkupkan kepala di atas meja dekat sebuah kolam. Ia tiba di cafe sesuai petunjuk dari nomor asing yang meneleponnya. “Diya?” panggil Aruna sambil menepuk bahu pria yang menelungkupkan kepalanya di atas meja itu. Tidak mendapat jawaban, Aruna beralih pada pria yang berdiri di samping. “Apa yang terjadi Pak?” “Orang ini mabuk dan membuat sedikit keributan dengan pengunjung kafe lainnya. Untungnya tidak terjadi luka-luka. Tapi ada beberapa kerusakan. Saya harap nona bisa sekaligus mengurusnya,” jawab pria itu sedikit kesal. “Bagaimana teman saya ini bisa mabuk? Apa di kafe ini ada minuman beralkohol?” Aruna menatap pria itu dengan mata terpicing. “Ya. Kami memang menyediakan minuman tertentu atas pesanan konsumen sendiri. Jangan memandang saya seperti itu Nona, kafe ini memiliki izin untuk minuman beralkohol,” ujar pria itu dengan raut muka tidak suka. “Astaga…” keluh Aruna. Ia menatap Ardiya