Share

Part. 6

“Sheryl, sarapannya jangan buru-buru gitu, Nak.” Anna mengusap lembut puncak kepala sang cucu.

Gadis kecil itu sedikit menegang dalam duduknya namun, mencoba bersikap biasa saja. Ia yakin banyak pertanyaan yang akan dilontarkan dari Eyang serta ayahnya. Makanya kenapa, ia buru-buru menyantap sereal berkuah manis itu. Sesekali, netranya melirik diam-diam ke arah pengasuhnya dengan gusar. Namun sepertinya, sang pengasuh asyik menyiapkan bekal di meja dapur.

“Kemarin, Eyang diberitahu Miss Rina tentang kejadian di sekolah.”

“Oh,” jawab Sheryl tanpa berani melihat ke arah Eyangnya. Persis seperti ketakutannya. Pasti nanti dirinya yang banyak mendapat ceramah. Seperti yang sudah-sudah.

“Memang kamu ngapain di sekolah, Princess?”

“Anka rebut pensil aku, Pa.” Sheryl mulai memelankan kunyahan pada serealnya.

“Terus?” tanya Daru tanpa mengalihkan matanya dari sang putri. Pagi ini, sosok kecil yang menjadi sumber semangatnya, sangat cantik dengan kepang dua pada rambutnya.

Dengan lugas, gadis kecil itu menjawab, “Aku tarik rambut Anka. Dia aja berlebihan, nangis terus.” Diletakkannya sendok yang sedari tadi menemaninya makan. Sebuah tisu yang ada di tengah meja makan, ia raih. Perlahan, Sheryl pun mengusap sisa susu yang menempel di bibirnya. “Sheryl mau berangkat sekarang.”

“Papa belum selesai bicara, Princess.”

Gadis kecil itu merengut.

“Kalau Sheryl ditarik rambutnya, pasti Sheryl kesakitan, kan? Pasti nangis.” Anna mencoba bicara mengenai sebab akibat yang cucunya perbuat. Entah sudah berapa puluh kali ia menasihati sang cucu mengenai perilakunya ini namun, semuanya dirasa sia-sia.

“Itu pensil kesukaan aku, Eyang.” Sheryl menatap eyangnya dengan sorot mata berkaca-kaca. “Aku enggak mau jahat, tapi Anka lebih jahat.”

Daru menghela napas panjang.”Memang Princess enggak bisa minta baik-baik?”

Dengkus tak suka diberikan Sheryl untuk Daru. “Sudah. Tapi Anka malah bilang ke teman-teman, kalau Sheryl yang ngambil pensil dia. Itu, kan, bohong.”

“Tapi bukan berarti kamu bisa melukai Anka seperti itu, Nak.” Anna kembali mengusap puncak kepala Sheryl dengan lembut.

Sheryl memilih beranjak dari kursinya. “Mbak, sudah belum? Ayo berangkat. Nanti aku telat.”

Sejak tadi, Kala bukan tidak memperhatikan interaksi ketiga orang ini di meja makan. Indera pendengarannya masih sangat jelas merekam segala percakapan tadi. Dirinya memang yang memberitahu Anna mengenai apa yang terjadi di sekolah. Bagi Kala, ini bukan masalah sepele. Harus ada penyelesaiannya namun, bukan seperti ini yang Kala harapkan. Ah, memang Kala siapa?

Princess harus minta maaf sama Anka. Princess salah.” Ini kata-kata Daru. Mutlak.

Untuk pertama kali sejak beberapa minggu Kala di sini, sorot mata seindah boneka itu terluka. Dengan hentakan kaki, ia melangkah pergi keluar tanpa pamit. Tak ada yang bisa dilakukan Kala selain segera menyusul nona mudanya, setelah ia berpamitan secara singkat pada majikannya itu.

Daru menghela napas frustrasi. Saat Daru pulang sore kemarin, hal pertama yang ia lakukan adalah bertanya pada sang ibu mengenai Sheryl. Apa yang ia dapatkan pun sebenarnya bukan kali ini saja. Entah sudah berapa kali, Sheryl dan Anka ini bersiteru. Masalahnya sepele. Tapi Sheryl selalu mengakhirinya dengan kekerasan.

“Jangan buat ini berlarut-larut, Aria.” Anna menepuk bahu sang putra pelan. “Enggak baik untuk Sheryl nantinya. Dia masih kelas dua, lho.”

Daru hanya bisa mengangguk pasrah.  

***

“Mbak bicara apa sama Papa dan Eyang?”

Kala yang baru saja menaruh bokongnya di kursi penumpang berjengit kaget dengan pertanyaan yang baru saja lolos dari bibir Sheryl.

“Mbak, aku tanya beneran. Mbak ngadu ke Papa dan Eyang tentang cerita aku kemarin?” Sheryl sudah menunjukkan sikap antipatinya. Tangannya bersidekap dan matanya menuntut untuk segera Kala jawab.

“Enggak, Non.”

“Aku pernah dengar dari Eyang kalau janji itu hutang. Mbak sudah janji ke aku enggak akan cerita artinya Mbak punya hutang ke aku.”

Kala mengangguk. “Kalau Mbak yang ngadu ke Papa dan Eyang, seharusnya tadi Eyang bilang bukan dari Miss Rina, kan?” Wanita itu memilih menatap lekat-lekat anak asuhnya. “Dan pasti, Eyang akan bertanya sama Non siapa yang bikin Non basah kuyup pas pertama masuk sekolah.”

Merasa yang dikatakan pengasuhnya itu benar, kening Sheryl berkerut seolah sedang berpikir keras. Perlahan ia menurunkan tingkat waspadanya.

“Awas aja ngadu,” katanya.

Sisa perjalanan mereka ke sekolah diisi dengan hening. Kala sibuk berpikir mengenai semua yang terjadi pada Sheryl, pun respon yang anak itu dapat dari orang tuanya. Terutama Daru. Akan berat rasanya untuk Sheryl meminta maaf pada Anka. Kala bisa pastikan itu.

“Jadi, Non enggak tahu siapa yang siram Non di kamar mandi?” tanya Kala memastikan sekali lagi. Getar suara Sheryl berbeda. Ada nada kebohongan di sana, Kala bisa merasakan hal itu. Pun kedua bola matanya yang sibuk mencari pengalih. Bukan terfokus pada satu titik.

“Tahu, sih. Tapi udah, lah.” Sheryl mengibaskan tangan. Rambutnya yang basah sudah cukup mengering. Seragamnya juga sudah diganti dengan kaus biasa yang selalu ada di mobil.

Kala pun memilih tak melanjutkan sesi interogasinya. Kepalanya masih jelas mengingat semua kejadian itu, dua minggu lalu. Entah kenapa ia merasa, semua yang terjadi pada Sheryl memiliki benang yang tertahut meski samar. Apa perbuatan Sheryl pada Anka, buah dari keadaan sang anak yang pulang dalam keadaan basah di hari pertama sekolah? Kala masih belum bisa merangkai benang merah yang mendadak kusut di depan matanya.

 “Non masih marah?” tanya Kala sembari melirik ke arah nona muda yang kini asyik melihat channel kesayangannya. Disney Channel.

“Marah sama siapa?”

“Anka, mungkin.”

Kala dengan jelas mendengar suara musik itu terhenti, yang artinya Sheryl mem-pause apa yang sedang ia tonton. “Aku benci dia, Mbak.”

Saat Kala melirik ke arah Sheryl, gadis itu hanya menatap lurus ke depan. Tak terpengaruh oleh hal apa pun. Sorot matanya terlihat kecewa dan tak suka secara bersamaan. Kala yakin, pasti terjadi sesuatu antara gadis kecil ini dengan temannya; Anka.

“Dan aku juga enggak akan mau minta maaf ke Anka. Jangan paksa aku seperti Papa atau Eyang, Mbak.”

Mata mereka bersitatap. Kecewa, sedih, kalut, marah, dan benci ada di sana. Kuat sekali. Hingga besar rasa ingin Kala untuk menarik sang nona muda dalam peluknya. Sekadar berbagi, semua yang dirasa jangan ditanggung sendiri. Dirinya masih terlalu dini untuk merasakan hal itu.

“Iya. Mbak enggak akan minta Non untuk minta maaf.”

Tiba di gerbang sekolah, lagi-lagi Sheryl langsung berlalu begitu saja tanpa pamit. Kala sudah tak heran lagi. Ia hanya memperhatikan betul-betul, anak majikannya hingga menghilang di balik ujung koridor.

Wanita itu memilih duduk di salah satu sudut yang cukup jauh dari kerumunan banyak orang. Selama menunggu Sheryl di sekolah, Kala manfaatkan masa tersebut untuk mencari pekerjaan di laman pencarian kerja yang tersedia secara online. Berkas-berkasnya pun sudah disimpan dalam memori ponselnya. Ia hanya tinggal upload sesuai dengan kriteria yang diminta.

Ini hari Rabu, hari intra Sheryl berenang di sekolah. Yang artinya, jam kepulangannya lebih lambat dari hari biasa. Kala jadi teringat mengenai selembaran yang semalam Daru beri. Ada-ada saja memang majikannya ini. Padahal Kala sudah mulai terbiasa dengan do's and dont's seorang Sheryl dalam keseharian. Beberapa yang krusial ia buat notes tersendiri di ponselnya. Terutama dalam hal makanan.

Tanpa ia sadari, jam pulang Sheryl tiba. Baru akan menunggunya di depan pintu runag tunggu, anak itu sudah ada di sana. Wajahnya tertekuk. Kepang rambutnya sudah tak lagi beraturan, mencuat sana sini.

“Non Sheryl,” panggil Kala hati-hati.

“Temani aku beli baju renang, Mbak.”

Tanpa banyak kata, Kala segera mengambil tas dan juga tote bag kecil berisi bekal yang tadi ia siapkan. Sebelah tangannya yang bebas ia gunakan untuk menggenggam gadis kecil itu. Tangan mungilnya begitu dingin dan gemetar.

Di mobil, Kala segera mengoleskan minyak kayu putih pada tangan yang hanya memenuhi genggaman Kala separuhnya. Mengusapnya pelan agar dingin yang tadi sempat menyapa, bisa segera mereda. Dirasa cukup, Kala menghentikan kegiatannya. Matanya penasaran atas apa yang dialami gadis yang kini duduk diam dengan wajah yang menatap jalan di depan.

“Non Sheryl ada apa?”

“Aku cuma mau beli baju renang.”

“Iya, Mbak tahu. Bukannya semalam Mbak sudah siapkan di tas, ya?”

“Mbak, aku cuma mau beli baru renang baru. Bisa, kan, enggak tanya terus. Sheryl enggak suka!”

Miss_Cha_Riyadi

Hallo semuanya, aku kembali di Goodnovel. semoga rumah baru Kala Mantari aman dan bisa buat aku kembali menulis lagi. Muahahahhaha. Aniwey, follow akun aku ya. Tengkyu Cinta.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status