Tiap kali Kala masuk ke dalam ruangan yang kini mulai familier dalam hidupnya, hanya ada satu pigura besar yang selalu menyita perhatiannya. Pigura itu memenuhi hampir separuh dinding bagian kanan yang sengaja tidak terhalang rak tinggi. Senyum yang terlukis, begitu menawan ditambah bola matanya yang sungguh indah. Kala mengakui itu sejak kali pertama mereka bersitatap. Anak ini dianugerahi hal yang membuat banyak orang kagum sekaligus iri di saat bersamaan. Dirinya sudah duduk di depan pria yang sudah mengenakan piyama tidurnya. Serius sekali membaca laporan yang ia sodorkan beberapa menit lalu. Kala sesekali menahan napas, masih mencoba menutup gugup takut-takut ada hal yang terlewat dalam laporannya. “Sheryl buat kamu repot, Mbak?” Kala mengerutkan k
"I hate you,"desis Sheryl tepat di sisi Kala saat dirinya turun dari SUV mewah milik sang ayah. Mendengar hal itu, hati Kala seperti dirajam ribuan kerikil tak kasat mata yang membuatnya memundurkan posisi tubuh.Wanita berambut sebahu itu mengambil udara sebanyak yang ia bisa. Mencoba menormalkan semua indera yang baru saja lumpuh sesaat karena kata-kata yang mengudara tadi. Dari sudut matanya, Kala bisa melihat anak itu berjalan anggun dengan tangan yang menggandeng sang ayah. Seolah apa yang baru saja terucap hanya sebuah kata tanpa makna, yang justru ditafsirkan lain oleh diri Kala sendiri."Nak Kala jangan jauh dari Sheryl, ya. Ibu khawatir," kata Anna yang membuat Kala berjengit saking kagetnya. Ketika ia menoleh, wanita paruh baya yang nampak anggun dengan setelan kebayamaroonsudah berada tak jauh dari tempatnya berdiri."Iya, Bu."Kala meyakini dalam hati, ini akan cukup sulit untuk dilakukan. Masih segar
Kala berusaha maksimal menormalkan laju jantungnya. Tiap kali ia entaskan rindu pada kedua orang tuanya—terutama Rianto, sang ayah—ibunya selalu bisa membuat ia kembali kerdil. Rindu yang demikian menyuruk harus susut karena beragam ucapan dari wanita yang mengandung dan melahirkannya itu. Setiap kali ditanya mengenai pekerjaannya, Kala tahu ia berdosa. Akan tetapi ia belum siap untuk mengambil risiko harus dipaksa kembali ke kampung halaman. Bukan karena ia sudah mulai merasa menikmati pekerjaannya. Sama sekali bukan. Kala memilih lebih baik di sini, ketimbang harus kembali mendengar banyak hal yang masih berlarian di kepalanya. Satu hal yang pasti ia rasakan sekarang. Pedih tanpa luka yang tercetak di kulitnya. Ketika di akhir telepon, ibunya berkata, “Bapakmu titip pesan, jaga diri baik-baik. Kamu itu sekarang ke
Dua hari sudah Sheryl bersikap dingin padanya. Emosi sang gadis kecil luar biasa menguji Kala. Seisi rumah bilang, dirinya adalah pengasuh tersabar yang masih bertahan untuk Sheryl. Kala menanggapinya dengan senyuman. Sebenarnya ia tak sesabar itu. Self healing yang ia lakukan menghadapi Sheryl cukup besar. Hanya saja ia tak mengeluh.Baginya, Sheryl seperti sebuah kotak penuh rahasia. Dasar dari kotak itu ingin segera ia temukan. Dulu, Kala pernah bermimpi menjadi seperti apa dengan gelar yang ia punya. Semuanya dilindapkan dengan cinta dan Kala sudah tak ingin menyesalinya. Makanya, ketika dihadapkan dengan seorang Sheryl, ia merasa seperti menemukan oase di padang tandus hidupnya. Mungkin sedikit lagi jika ia bersabar akan membuahkan hasil. Kala berharap sekali akan hal itu. Jiwa Sheryl baginya entah kenapa mendadak penting.Pagi ini Sheryl belum ada di meja makan. Majikannya dinas keluar kota sementara Ibu Anna, kemarin soreflightke Pa
Kala tak mungkin tak bercerita mengenai apa yang terjadi pada nona mudanya. Terutama ini sudah kedua kalinya, hal yang sama terjadi. Beruntungnya Sheryl hari ini, ia tak mengikuti intra renang. Hanya mengisi essai sebagai pengganti seperti yang dikatakan gadis itu pada pengasuhnya. Mungkin karena cerita itu lah, kini Kala berada di sini. Setelah dipersilakan masuk oleh si pemilik ruangan, Kala berjalan perlahan. Ruangan yang menjadi ruang pribadi seorang Anna Susetyo. Sering Kala melewati pintu besar berukir ini namun, baru sekarang ia memasukinya. Kala disuguhi pemandangan surgawi di sini. Taman di dalam ruangan dengan banyak bunga, rak susun sukulen, juga kolam ikan yang gemericik airnya menenangkan jiwa. Mungkin jika Kala berlama-lama di sini, ia bisa terlelap tidur tanpa ada keinginan untuk bangun lagi. Saking menyenangkannya sudut i
"Sebenarnya saya takut, Bu, bertemu Bapak lagi." Kala bicara pada Anna akhirnya. Kejadian malam itu cukup membuatnya gemetar menghadapi sang tuan. Pagi di hari Senin ini, wanita paruh baya itu sudah duduk di meja makan. Sementara sang nona muda serta majikannya belum menampakkan diri.Anna hanya tertawa pelan. "Aria enggak marah, Nak. Toh, kamu sudah beri alasannya. Sekarang justru lebih bagus, Aria pasti enggak tinggal diam dengan kejadian ini." Dilihatnya si pengasuh sang cucu mengangguk pelan."Aria enggak pecat kamu,toh?"Kala mau tidak mau tersenyum. "Kalau saya dipecat, saya sudah enggak di dapur rumah ini lagi, kan, Bu?"Jawaban itu membuat Anna terkekeh. "Kami butuh kamu, Kala."Sudut bibir Kala tertarik sudah. Kali ini bukan jenis senyum canggung ketika berhadapan dengan majikannya, tapi senyum terharu karena penerimaan Anna sebagai nyonya besar yang demikian baik terhadapnya.Akan tetapi, khawatir yang tiba-tiba hadi
Empat belas tahun yang lalu, untuk pertama kalinya Kala bertemu seorang Janu Wirabrata. Itu pun secara tidak sengaja karena ternyata, Janu adalah keponakan dari dosen favorit Kala. Sadewa Winata. Mereka bertemu karena saat itu, Dewa sakit. Tidak bisa mengajar sementara bahan ajarnya dititipkan pada Janu.Santun, pintar, sopan, dan juga rendah hati. Itu sosok yang digambar Dewa mengenai seorang Kala Mantari, murid kebanggaannya itu. Mungkin itulah yang mendorong Janu terus mendekat ke arah Kala. Dihadiahi banyak perhatian, pengertian, kasih sayang juga cinta kasih, hati perempuan mana yang tidak luluh.Kala memejamkan mata, menggeleng pelan mengenyahkan memori kelam yang kembali terulang di kepalanya.“Tari ... kamu nangis?” tanya suara di ujung sana karena hanya mendengar isak kecil sejak telepon itu diterima.Tak ada tanggapan sama sekali, justru isak itu malah semakin jadi.“Tari ... kamu kenapa? Kamu dimarahi bos?
“Non ... tunggu,” panggil Kala cukup terengah. Dirinya sedikit kerepotan dengan bekal permintaan nona mudanya itu. Sebelum berangkat, Shery ingin nasi gulung dengan slice daging panggang. Persis seperti saat menu sarapan itu tersaji khusus untuk sang nona.Sementara begitu memasuki area mall yang elite ini, gadis itu setengah berlari. Katanya sudah tidak sabar bertemu Abyan. Padahal sepanjang jalan gadis itu memastikan kalau Abyan bukan anak reseh dan berisik. Karena Sheryl tidak mau berkenalan dengan anak tipe seperti itu. Gemas Kala dibuatnya karena beberapa kali dijelaskan, seolah gadis itu tak percaya.Kini, justru anak itu yang terlihat sangat bersemangat. Sheryl tertawa riang dan menunggu pengasuhnya agar langkahnya sama. “Aku enggak sabar, Mbak.”“Tapi jangan lari. Mbak khawatir kalau Non terjatuh, gimana?”Sheryl mengerjap pelan, seulas senyum ia beri pada Kala. Lalu dalam sekali gerak ia telah me