Part 2
"Mas, tunggu, Maaas,!!" teriakku. Aku mengejarnya sampai ke mobil. "Mas, aku salah apa, Mas? Kasih tahu aku, apa salahku?""Sudahlah Hana, jangan seperti ini. Aku akan mengantar barang-barangmu yang lain nanti."Seketika hatiku mencelos. Ah, kenapa rasanya perih sekali, diceraikan tanpa sebab?Mas Bambang hampir saja masuk ke dalam mobil."Tunggu, Nak!" Suara bapak menghentikannya pergi. Mas Bambang kembali turun dan menatap bapak, hendak menyalami tangannya, tapi tiba-tiba ...Buuugghhhtt ... sebuah pukulan melayang di perut Mas Bambang hingga ia terhuyung ke belakang."Neng, ayo masuk!" sergah bapak."Tapi, Pak--""Neng, masuk! Si Bambang sudah gak mau lagi sama kamu, Neng. Jadi buat apa dikejar lagi. Masuk, Neng!" sergah bapak."Pergi kau!! Jangan pernah datang kesini lagi! Mentang-mentang kaya, bisa seenaknya sendiri!" seru bapak. Terdengar emosi dalam nada suaranya."Maaf, Pak, saya permisi!" ujar Mas Bambang seraya meringis kesakitan. Ia masuk ke dalam mobilnya dan melesat pergi, menghilang dari pandangan.Aku terduduk lesu di kursi ruang tamu, seraya memegang gelas berisi teh manis yang kembali dituang oleh ibu. Katanya biar aku tenang. Tapi boro-boro tenang, di hati ini sudah dipenuhi rasa sesak yang begitu menghimpit."Pak, si Bambang kenapa sih kok anter si Neng ke rumah? Jadi Neng diceraikan tanpa sebab?" Kudengar ibu berbicara pada bapak. Aku yakin, mereka sama shocknya denganku ini."Ya, namanya orang kaya, bersikap semaunya sendiri. Sudahlah Bu, kita harus sadar diri, keluarga kita itu miskin. Masih untung si Neng dikembaliin, dia gak disiksa ataupun dijadikan pembantu di rumah gedong itu," jawab bapak, ada rasa sesal pada tiap kata yang diucapkannya."Tapi kasihan si Neng, Pak.""Ya harus diterima saja, sehari dua hari, nanti lama-lama juga akan terbiasa."Terdengar helaan nafas ibu yang tampak kecewa dengan keadaan putrinya.Aku terbaring lesu di tempat tidurku. Pandanganku berkabut. Banyak sekali pertanyaan yang hinggap di pikiran. Sangat banyak hingga menghantuiku.Apa salahku? Kenapa Mas Bambang lakuin ini? Selama ini aku sudah berusaha menjadi istri yang baik. Melayaninya di rumah. Memang, aku tak bekerja karena Mas Bambang melarangku. Penghasilannya jauh lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kami.Pikiranku kembali melayang saat sebelum menikah dulu.Seorang wanita berumur 47 tahun, datang menemuiku dengan gaya pakaian berkelas layaknya sosialita. Rambut digelung ke atas, kaca mata hitam dan bibir yang merona merah, lalu baju yang dikenakannya pun menandakan bahwa ia orang kaya. Tas gucci berwarna hitam, sepatu hak tinggi, raut wajahnya pun tampak lebih muda dari usianya.Dia langsung memanggilku yang tengah bekerja jadi pelayan cafe. Bu Samira namanya."Hana?""I-ya saya, Bu," jawabku gugup."Saya ingin bicara denganmu sebentar saja. Duduklah di sini!""Ta-tapi saya sedang bekerja, Bu. Nanti--""Biar saya yang bilang pada bosmu. Saya minta waktumu beberapa menit saja," pungkasnya.Aku mengangguk dan duduk di hadapannya dengan rasa gugup luar biasa."Hana, langsung saja ke pokok permasalahannya ya?" ujarnya seraya melepas kacamatanya.Aku mengangguk lagi menatap wanita yang terlihat begitu elegan itu. Jantung berdegup dengan kencang.Sebuah amplop coklat diangsurkannya ke hadapanku. "Ini 20 juta untukmu.""Hah? Ini uang untuk apa, Bu?" keningku mengernyit."Saya tahu kamu butuh uang. Terimalah uang itu, tapi tinggalkan anak saya," ujarnya tegas. Pandangannya tajam kala menatap membuatku tak bisa berkutik. Deg, jantungku makin berdegup dengan kencang. Seketika hatiku sakit seolah diremas-remas. Jadi, beliau datang agar aku dan Mas Bambang berpisah? Aku tahu, aku dan Mas Bambang terlahir dari keluarga berbeda. Tapi sejauh ini Mas Bambang selalu meyakinkanku bahwa ia sangat mencintai dan serius denganku.Bahkan rencananya, Mas Bambang akan mengenalkanku secara resmi pada keluarganya.“Ma, apa-apaan Mama seperti ini?” Tiba-tiba Mas Bambang datang mengejutkan kami.Lelaki itu sedikit murka pada ibunya mengambil amplop uang yang ada di meja. “Mama sungguh keterlaluan, bukan begini caranya, Ma! Mama terlalu licik, ingin memisahkanku dan Hana dengan uang ini? Apa mama tidak menghargai perasaanku?” serunya kesal.“Bambang, dia itu gak pantas buat kamu, dia itu—““Aku tahu, Mama gak merestuiku karena Hana dari keluarga biasa saja. Tapi apapun itu, aku tidak mau berpisah dengan Hana. Aku sangat mencintai Hana, Ma!”“Mas—“Tangan Mas Bambang dilayangkan ke udara berharap agar aku tak bicara.“Pokoknya biarpun mama menolak, aku akan tetap menikahi Hana, Ma. Dengan atau tanpa restu kalian, aku akan tetap menikah dengan Hana!” ujar Mas Bambang dengan mantap kala itu, membuat beberapa pengunjung menatap ke arah kami bak tontonan sandiwara.Bu Samira tampak kesal, langsung bergegas pergi tanpa basa-basi lagi setelah mengambil kembali amplop itu dari tangan anaknya. Usai kepergiannya, Mas Bambang beralih ke hadapanku.“Hana, tolong jangan goyah, aku akan tetap menikahimu bagaimanapun keadaanmu.”“Tapi orang tuamu tidak setuju, Mas, aku takut ini akan jadi ganjalan kita ke depannya.”“Tidak, Hana, percayalah padaku, aku yakin suatu saat mereka akan luluh.”Berhari-hari bahkan berganti bulan, Mas Bambang terus meyakinkanku, membuatku luluh dan akhirnya mau menerimanya. Selama menjadi istrinya pun aku selalu diperlakukan istimewa, tapi entah kenapa tiba-tiba dia berubah ...***Beberapa hari berlalu sejak Mas Bambang menceraikanku, hidup terasa tak bersemangat. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Hambar juga hampa, bahkan rasanya hidup sudah tak berwarna lagi. Hanphone pun senyap tanpa suara, tak ada lagi pesan-pesan mesra maupun panggilan dari Mas Bambang. Dia benar-benar meninggalkanku tanpa alasan.“Neng, ada mobil tuh di depan,” ujar ibu di ambang pintu.“Mobil? Mobil apa, Bu?”“Mobil bawa barang, Neng.”Aku terlonjak dan segera berlari ke depan, melihat mobil pick-up yang tengah menurunkan barang-barang. Lemari, meja rias bahkan kompor dan gas yang aku gunakan selama di rumah Mas Bambang, serta baju-bajuku yang masih tertinggal di sana.Saat ditanya, sang sopir hanya menjawab menjalankan tugas saja dari Pak Bambang.***“Sudahlah, lupakan Bambang, Hana! Jadi janda bukan berarti akhir dari segalanya. Kamu harus bangkit! Ayo kau ikut aku saja ke kota. Kita cari pekerjaan di sana!” seru Dita yang selalu memberiku semangat dan kekuatan baru.Akhirnya akupun nekat untuk mencari pekerjaan di kota. Berbekal restu dari ibu dan bapak, aku akan berjuang lagi mencari rezeki dan kebahagiaan.“Apa benar ini rumahnya?” tanyaku pada Dita seraya menatap rumah bak istana di seberang jalan. Dita hanya mengangguk ragu. Ia bilang katanya ada lowongan disini, pemilik rumah yang mewah itu tengah mencari ART.Tiba-tiba seorang anak kecil berlari dengan kencang keluar dari pagar yang terbuka sedikit sepertinya hendak kabur dari kejaran dua orang di belakangnya, yang kuduga itu pengasuh anak tersebut.Aku menatap bocah laki-laki itu hendak menyeberang jalan, sementara dari arah berlawanan tampak mobil melaju dengan kencang.“Dek, awaaasss ...!” teriakku seraya berlari menyambar anak itu. kami terjatuh bersamaan di bahu jalan.Aku langsung duduk dan menggendong anak kecil yang kini sedang menangis karena shock. Beberapa orang mendekati dan ingin meraih bocah laki-laki ini, tapi sayangnya, ia makin mengeratkan pelukannya padaku.“Terima kasih sudah menyelamatkan putraku,” ujar seorang pria.Aku mendongak melihat pria jangkung yang berpakaian rapi, wajahnya begitu tegas dan rupawan. Ia mengulurkan tangannya hendak meraih bocah laki-laki ini dariku.Part 3“Permisi Bu, ini ada surat dari Jakarta untuk Bu Hana Aisyah,” ujar seorang kurir. Aku yang saat itu tengah menyapu lantai, segera menerimanya. Tanganku sedikit dingin dan gemetar saat membuka amplop putih itu ternyata isinya sebuah undangan. Aku mengejanya dengan seksama, undangan pernikahan “Bambang Wijaya dan Mariana.”Deg! Hatiku seperti diremas-remas kembali. Perasaan luka yang kemarin mulai mengering kini terkoyak lagi. Jadi ... ini alasannya Mas Bambang menceraikanku? Dia akan menikah lagi? Dan dia tega sekali mengirimkan undangan pernikahannya padaku padahal akta cerai belum kuterima.Jadi semudah itu Mas Bambang melupakanku? Sakit dan kecewa itu pasti. “Han, ini kesempatan bagus loh! Ada lowongan jadi ART di tempat orang kaya, gajinya 5 juta perbulan. Lima juta, Han, banyak banget kan?”“Masa sih ada gaji ART 5 juta?”“Udah deh gak usah kebanyakan mikir, Han. Kita langsung aja berangkat. Pasti diterima, Han, kita ini sama-sama rekomendasi dari Bu Haji Siti Sadiyah, b
Part 4'Mas Bambang?' Tampak keterkejutan dalam tatapannya. Hampir aja aku keceplosan ingin memanggil namanya dan membicarakan masalah kami. Dia yang pergi tiba-tiba, jadi inikah alasan yang sebenarnya?"Hei Mbak, tolong barang-barang kami dibawa masuk ya!" sergah seorang wanita di samping Mas Bambang. Apakah dia yang bernama Mariana? Seorang wanita muda yang tampak begitu cantik dan menawan. Dengan bibir merah merona dan rambut bergelombang berwarna pirang. Sungguh teramat cantik, bahkan aku yang seorang wanita pun turut mengagumi kecantikannya."Tunggu, tunggu, kamu pembantu baru di sini ya? Aku kok baru lihat kamu?""Eh i-iya, Nyonya, saya baru bekerja hari ini," sahutku, kali ini aku mengalihkan pandangan.Wanita itu manggut-manggut tapi pandangannya mengulitiku. "Lain kali jangan lihatin suamiku seperti itu. Aku tahu suamiku ini tampan. Tapi jangan lancang ya!" serunya lagi. Deg! Ah, rasanya sungguh tak karuan ..."Maaf, Nyonya." Aku menunduk dengan debar jantung yang tak me
Part 5“Dia pengasuh Alvaro, jadi aku yang lebih berhak menggunakan jasa tenaganya, bukan kamu. Ayo, kau ikut aku, Hana!”Aku terdiam untuk beberapa saat.“Kenapa masih diam? Ayo ikut saya, ada yang ingin saya bicarakan mengenai Alvaro!” tegasnya lagi. “Ba-baik, Tuan,” jawabku gugup. Duh rasanya tidak nyaman sekali apalagi saat kulirik dari ekor mataku, Mariana tampak menghentakkan kakinya kesal.Sampai di ruangan kerja Tuan Putra, aku masih berdiri menunggunya berbicara. Tapi lelaki itu justru asyik membaca buku.Sepuluh menit berlalu hingga lima belas menit berlalu, tak ada yang dia ucapkan, padahal kakiku mulai kesemutan.“Maaf Tuan, kalau saya lancang, ada tugas apa tuan memanggil saya? Den Alvaro sudah tidur dan--"Lelaki itu justru melayangkan tangannya, agar aku berhenti bicara. Aku menelan ludah, lalu menunduk. Sebenarnya orang yang seperti apa sih majikanku ini?Hingga waktu berlalu, detik berganti menit dan sampai lima belas menit tanpa suara.“Alvaro sepertinya cocok den
Part 6“Mommy!” teriak Alvaro. Dia langsung menghambur ke arahku. Entah kenapa bocah kecil imut ini memanggilku Mommy. Ia baru saja bangun tidur, tapi matanya sungguh indah. Rambutnya agak panjang untuk anak kecil seukuran dia, karena katanya dia susah untuk dibujuk.Aku tersenyum lantas menggendongnya. “Sayang, ayo kita mandi dulu. Air hangat sudah disiapkan loh,” sahutku sambil tersenyum. Aku senang sekali, di sini ada Alvaro, anak yang sangat lucu dan menggemaskan, jadi aku tak terlalu jenuh mengerjakan pekerjaan rumah yang melelahkan untuk ukuran rumah sebesar dan semewah ini. Ada pelipur lara hati saat melihat tingkahnya yang polos.Tapi, entah kenapa rasanya para keluarga mengucilkan anak ini, hanya ayahnya saja yang sangat protektif. Katanya sih, dia nakal banget hingga susah diatur. Barang apa saja yang dipegangnya akan dirusaknya, membuat para anggota keluarga gemas. Bocah kecil itupun sering kabur keluar rumah membuat para pengasuhnya kewalahan karena sikapnya yang sang
Part 7"Mama kenal?" tanya Mariana lagi. Ia melangkah mendekat, membuat Bu Samira tampak tergagap lantas tersenyum."Emhh ya, Mama kenal dia," jawab Bu Samira. "Dia pembantu di rumah Mama dulu," sambungnya lagi sambil tertawa kecil.Aku menoleh ke arahnya, hatiku seakan tercubit dengan perkataannya itu. Jadi dia hanya menganggapku sebagai pembantu.“Kamu harus hati-hati, Sayang. Dia pembantu tapi tidak jujur. Maka dari itu dulu mama memecatnya. Makanya mama sangat terkejut, saat dia ada di sini. Awas saja, barang-barang kalian, takutnya ada yang hilang. Terlebih kamu, kamu harus lebih hati-hati.”“Oh ya? Jadi dia pencuri?” Mata Mariana membulat lalu menatapku tajam. “Kau pencuri?” tanyanya lagi penuh selidik.“Tidak, Nyonya. Saya berani bersumpah, saya bukan pencuri. Bu Samira berbohong, saya itu is—““Sekalinya pencuri tetaplah pencuri, pasti dia tidak akan mau ngaku ‘kan? Kamu pasti lebih percaya Mama kan dari pada si pembantu ini?” sela Bu Samira. Ah, dia tega sekali memfitnahku de
Part 8“Hana, kuperingatkan kau, jangan cari muka di sini apalagi berusaha menggoda majikanmu sendiri atau—“"Atau apa, Mas? Lebih baik kamu tidak usah pedulikan aku lagi. Anggap saja kita tidak saling mengenal satu sama lain di sini. Apa kau tidak takut sikapmu ini ketahuan istri barumu?" Kukibaskan cekalan tangannya dengan kasar.Dia terhenyak dan menatapku beberapa jeda. Sorot matanya sangat berbeda, tak nampak kehangatan seperti dulu lagi. Dia bukanlah Bambang Wijaya yang pernah kukenal dulu.Aku tersenyum masam, lantas melirik ke arah kamar Tuan Putra. Rupanya pria itu tengah memperhatikan kami dengan tatapan bertanya-tanya.Gegas aku pergi dari sana, tak ingin terjadi salah paham apapun lagi. Terlalu sakit hati ini bila terus mendapatkan penghinaan oleh orang-orang kaya.Aku kembali melewati mereka semua. Tatapan Bu Samira padaku begitu tajam hingga membuatku bergidik.***Rutinitasku sehari-hari seperti biasanya, mengasuh Alvaro, dari mulai memandikan, menyuapinya makan, lalu
Part 9"Hah?""Kenapa bengong?""Eh, i-iya, Tuan. Saya akan buatkan kopi.""Kopi hitam ya, jangan terlalu manis.""Baik, Tuan."Aku segera beranjak keluar dari ruang kerja majikanku. Aneh sekali, katanya mau dihukum, ternyata cuma disuruh bikin kopi?Gegas aku menuju ke dapur, menyiapkan cangkir dan tatakannya. Dua sendok kopi, dan satu sendok gula pasir lalu kutuangkan air panas dari termos. Tidak terlalu manis sesuai permintaannya."Hana, kamu buat kopi buat siapa?" tanya Isna."Tuan Putra.""Tumben Tuan Putra minta dibikinin kopi."Aku hanya mengendikkan bahu. "Tapi kata Mbak Rasni, Tuan Putra gak boleh kebanyakan minum kopi, karena punya sakit lambung."Aku mengangguk. "Isna, kamu tahu gak kenapa semua anak-anak Tuan Mahesa pada kumpul di sini? Padahal sudah pada berkeluarga. Kenapa gak misah gitu?" tanyaku penasaran. Ya memang sih, rumah ini sangat besar jadi muat menampung mereka."Kenapa nanya gitu?""Ya cuma pengin tau aja, Isna. Biasanya kan orang udah berkeluarga pada misah
Part 10Aku mengangguk dan masuk ke ruang kerja Tuan Putra. Sebelumnya kudengar Mariana melangkah pergi dengan menghentakkan kakinya seraya menggerutu.“Ya, Tuan?”“Saya ingin memasukkan Alvaro ke PAUD tahun ini, apa kau bersedia mengantar dan menungguinya selama jam pelajaran berlangsung?”“I-iya, Tuan.”“Bagus. Kalau begitu kau list semua kebutuhannya untuk sekolah nanti, lalu berikan pada saya.”“Baik, Tuan.”“Jangan sampai seperti tahun kemarin, saya tidak ingin kegagalan terulang lagi.”“Maaf, maksudnya gimana, Tuan?”“Alvaro gagal bersekolah tahun lalu.” “Baik, Tuan, saya akan berusaha dengan sebaik mungkin untuk menjaga Den Alvaro.”“Ya, sudah, kau boleh pergi.”Aku mengangguk.“Maaf Tuan ...”“Ya, ada apa, Hana?”“Soal guci yang pecah itu apa nantinya akan dipotong dari gaji?”“Oh, kamu masih memikirkan hal itu?”“I-iya, Tuan. Saya merasa bersalah."“Tidak. Kau jangan khawatir, gajimu tetap utuh.”"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Tuan."Senyumku mengembang mendengar jawab