Share

Bab 14

Di dalam kamar, begitu Lillia melihat Jeni pergi, dia ingin segera turun dari ranjang. Akan tetapi, sebelum dia sempat bergerak, Claude telah menahannya. Lillia secara refleks menggunakan tangannya untuk menahan dada pria itu agar jarak antara mereka tetap terjaga. Segera setelah itu, dia bertanya, "Orangnya sudah pergi. Apa yang kamu lakukan?"

Akan tetapi, Claude malah menatapnya lekat-lekat dan berujar dengan suara berat, "Bukannya kamu memegangku barusan untuk merayuku?"

Lillia tampak kebingungan dan kehabisan kata-kata. Dia segera menjelaskan, "Barusan, aku hanya ingin mengingatkanmu supaya nggak membiarkan Bibi Jeni ke tempatku. Ada apa dengan otakmu? Kenapa malah mengaitkan kedua hal ini?"

Sementara itu, Claude menahan hasratnya, lalu mengarahkan tangan Lillia ke bawah untuk menyentuh area tertentu dengan paksa. Lillia merasa bahwa tangannya telah ternodai. Dia berusaha keras untuk menarik tangannya kembali sambil berseru dengan wajah memerah, "Apa yang kamu lakukan?"

Claude malah berbalik bertanya dengan memberi penekanan pada setiap kata, "Apa kamu perlu memegang bagian ini untuk mengingatkanku?" Pria itu bahkan curiga bahwa Lillia hendak membuatnya mandul dengan aksi barusan.

Saat ini, Lillia baru menyadari bahwa dia telah menyentuh bagian tersebut. Wajahnya seketika memerah, tetapi dia masih bersikap keras kepala dengan berucap, "Minggir, aku mau cuci tangan!"

Mendengar ini, Claude menatapnya dengan serius sambil bertanya, "Kamu sendiri yang pegang, tapi sekarang malah merasa jijik?"

Lillia menjawab dengan sungguh-sungguh, "Kamu seharusnya tahu, apa yang membuatku jijik bukan itu ...."

Apakah maksud Lillia adalah dia yang membuatnya jijik? Apakah wanita ini begitu membencinya? Memikirkan hal ini, gairah Claude langsung redup. Dia menatap Lillia selama beberapa saat, lalu hasrat di sorot matanya perlahan lenyap. Pria itu turun dari ranjang sembari berkata, "Kamu tidur di ranjang saja."

Usai berkata demikian, Claude langsung berjalan keluar. Sementara itu, Lillia sama sekali tidak peduli dia akan pergi ke mana.

Berhubung Claude membiarkannya tidur di ranjang, dia akan menurutinya. Mungkin karena tiba-tiba berpindah tempat, dia pun kesulitan untuk tidur. Lillia berguling-guling di atas ranjang, tetapi tubuhnya malah terasa makin panas. Padahal ini masih bulan Maret, kenapa bisa begitu panas?

Lillia merasa agak gelisah. Dia membuka dua kancing piamanya, tetapi masih merasa panas. Selain itu, entah kenapa dia malah teringat dengan tangan Claude yang menyuapinya sarang burung walet tadi. Tangan pria itu begitu putih dan ramping, serta terlihat bertenaga. Kenapa Lillia memikirkan hal ini? Dia agak kesal pada dirinya sendiri dan langsung menendang selimut.

Saat Lillia hampir kehilangan kesadaran, ada orang yang membuka pintu. Begitu melihat Lillia yang berbaring di atas ranjang, Claude tampak sedikit mengangkat alisnya.

Di kamar tidur yang remang, cahaya bulan yang terang dihalangi oleh tirai yang tebal dan mewah. Hanya sedikit lampu tidur yang menyinari pinggang anggunnya Lillia. Itu adalah bagian tubuh yang paling suka dipegang Claude ketika berhubungan. Dia dapat melingkari kedua tangannya di sana.

Saat ini, tatapan Claude memancarkan kelicikan. Dia memang menyuruh Lillia untuk tidur di ranjang, tetapi dia tidak mengatakan bahwa dirinya akan tidur di sofa. Pria itu pun berbaring di sisi lain ranjang. Ketika hendak memejamkan mata, sepasang tangan yang putih dan lembut meraih dadanya. Kemudian, tangan itu bergerak ke bawah melalui celah kancing.

Lillia bersikap sangat tidak tahu batasan di tengah kegelapan. Kakinya yang ramping menimpa tubuh Claude, lalu menyentuhnya dengan lembut. Kini, napas pria itu mulai berat, tetapi dia masih berbicara dengan nada dingin seperti biasanya, "Barusan menolakku, lalu sekarang apa yang kamu lakukan?"

Lillia amat tersiksa oleh kegerahan. Dia sama sekali tidak peduli dengan ledekan Claude, bahkan bisa-bisanya menggerutu. Jika masih menahan diri, Claude tidak dapat lagi dianggap sebagai pria. Dia langsung berbalik dan menahan Lillia di ranjang.

Sebelum wanita itu sempat menyelesaikan perkataannya, Claude telah menciumnya dengan penuh gairah. Lidahnya yang agak dingin memaksa Lillia untuk membuka gigi-giginya. Kemudian, Claude pun merampas setiap napasnya dengan serakah.

Saat ini, hanya ada satu pemikiran di benak Lillia. Jelas-jelas pria ini yang dirugikan, tetapi dia masih bisa bersikap mendominasi. Claude benar-benar tipe orang yang tidak ingin dirugikan sedikit pun. Sembari berpikir demikian, Lillia tidak lagi merasa terbebani.

Namun, ponsel Claude yang diletakkan di samping tiba-tiba berdering di momen genting. Awalnya, mereka tidak terlalu peduli. Akan tetapi, orang di ujung telepon sangat bersikeras. Dia terus-menerus menelepon Claude. Itu sebabnya, pria itu pun mengambil ponsel dan mengangkatnya.

Di ujung telepon, terdengar suara tangisan seorang wanita. Claude langsung meninggalkan Lillia tanpa ragu, lalu bergegas berkata, "Tunggu sebentar. Aku akan segera ke sana."

Setelah menutup telepon, Claude langsung mengenakan pakaiannya tanpa ragu, lalu pergi setelah menutup pintu. Dia sama sekali tidak melirik Lillia lagi.

Sementara itu, Lillia yang sendirian di dalam kegelapan menatap ke langit-langit. Tubuhnya masih gerah, tetapi hatinya terasa dingin.

Di antara rasa dingin dan panas, penderitaan ini membuat matanya pedih. Lillia menundukkan kepala dan melihat sekilas tubuhnya yang hampir telanjang. Sebelumnya, dia pernah mendengar orang mengatakan bahwa gairah yang telah tersulut harus dilampiaskan. Tidak ada pria yang mampu menahan diri di momen genting.

Lantaran Claude memilih untuk berhenti di momen seperti ini, itu dapat menunjukkan betapa pentingnya Nikita di dalam hatinya.

Lillia pun berbaring sejenak di ranjang untuk menemukan kembali akal sehatnya. Tubuhnya masih terasa panas sekarang. Kali ini berbeda dengan malam pertama pernikahannya, di mana semua hasrat terlampiaskan hingga tak bersisa.

Lillia memang bodoh. Dia baru menyadari bahwa sarang burung walet yang disajikan Jeni tadi bermasalah. Selain itu, apa yang terjadi di malam pernikahan ... seharusnya juga ulah Jeni, 'kan?

Entah apakah Lillia merasa kecewa atau putus asa sekarang. Dia berusaha keras mempertahankan semangatnya dan berjalan terhuyung ke kamar mandi. Lillia mengisi bak mandi dengan air dingin. Kemudian, dia mengambil minuman dan anggur dari kulkas kecil di kamar, lalu meletakkannya di dalam bak mandi. Setelah itu, dia masuk ke dalam bak mandi sambil menggertakkan gigi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status