Setelah berdiri diam di tempatnya sejenak, Audrey tiba-tiba menyadari dirinya sedang memikirkan hubungannya dengan Zayden. Dia pun mengernyit, lalu mengetuk kepalanya sembari bergumam, "Pria itu nggak ada urusannya denganku, jangan dipikirkan lagi."....Di dalam bangsal, ekspresi Zayden menjadi sangat dingin karena panggilannya diakhiri oleh Audrey. Di sisi lain, terlihat Shania menghampiri dengan senyuman menyanjung. Dia ingin meletakkan barang di tangannya, tetapi Zayden tiba-tiba bertanya dengan sinis, "Siapa yang menyuruhmu kemari?"Langkah kaki Shania sontak terhenti. Dia membalas, "Aku ... aku tahu kamu nggak ingin melihatku. Tapi, mana mungkin aku nggak datang setelah tahu kamu terluka? Zayden, nggak apa-apa kalau kamu benci padaku, tapi kamu tetap harus makan. Kalau nggak, Paman dan Bibi akan khawatir padamu."Shania melontarkan perkataannya ini dengan sedih. Sayang sekali, Zayden tidak bisa merasakan emosi yang sama. Kalau bukan karena ibunya, Shania pasti sudah dikirim olehn
Ketika mendengar suara Christian, Dash segera berlari keluar dari dapur. Dia berteriak, "Papa Chris, aku baik-baik saja!"Christian langsung memeluk Dash. Sesudah memeriksanya dan hanya melihat beberapa luka luar, dia akhirnya merasa lega. "Syukurlah! Mana mamamu?" tanya Christian sambil melirik ke dalam."Mama di dapur," jawab Dash sambil menunjuk ke arah dapur. Kemudian, dia berjalan kembali ke sofa untuk menonton televisi.Tatapan Christian seketika menjadi suram. Setelah melepaskan sepatunya, dia masuk ke dapur sambil bertanya, "Audrey, dia yang menolong Dash hari ini?"Tangan Audrey yang awalnya sedang memotong sayur seketika berhenti. Dia menimpali, "Ya, benar."Raut wajah Christian menjadi agak murung. Sesudah melihat beberapa video di internet, dia langsung mencemaskan keselamatan Dash. Begitu mengetahui Dash baik-baik saja, dia baru mendapati bahwa si penyelamat itu adalah Zayden.Hal ini membuat Christian gelisah sepanjang perjalanan pulang. Bagaimanapun, dia terlalu mengenal
Selesai makan malam, Audrey merasa agak lelah sehingga beristirahat lebih awal. Keesokan harinya, meskipun hari ini akhir pekan, Audrey tetap bangun pagi-pagi. Mungkin karena sedang resah, dia tidak bisa tidur lagi setelah bangun.Begitu menoleh, Audrey melihat Dash yang masih tidur dengan lelap. Dia tidak mengganggu putranya. Setelah mengecup pipi Dash, Audrey hanya menatap wajah tidurnya yang tenang.Ketika sedang menikmati momen damai ini, ponsel Audrey tiba-tiba berdering. Dash yang masih tidur pun terkejut mendengarnya. Dia menggumamkan sesuatu, seolah-olah sudah bangun dari tidurnya.Audrey segera mengubah pengaturan ponselnya menjadi mode senyap. Dia menepuk punggung Dash sambil berucap, "Dash, tidur saja, nggak apa-apa."Mendengar ini, Dash yang setengah terbangun pun mengangguk. Kemudian, dia membalikkan badan dan tidur lagi.Audrey mengambil ponselnya dan berjalan ke luar. Siapa yang meneleponnya pagi-pagi begini, apalagi hari ini akhir pekan?Sesudah keluar, Audrey menjawab
Christian menyunggingkan senyuman sinis mendengarnya. Kondisi memburuk? Zayden pasti hanya berpura-pura, 'kan?Apabila berpura-pura sakit saja bisa mendapatkan perhatian dari Audrey, Christian yakin Zayden pasti melakukannya dengan senang hati."Audrey, Om Zayden bukan orang yang kekurangan perhatian. Apa kamu nggak bisa melihat semua ini hanya aktingnya? Kalau kamu menemuinya, bukankah dia akan merajalela? Kemudian, kamu jadi harus merawatnya setiap hari?" ucap Christian."Aku ...." Ini pertama kalinya Christian begitu menyudutkannya. Setelah ragu-ragu sejenak dan hendak mengatakan sesuatu, pihak rumah sakit meneleponnya lagi. "Nona, apa kamu nggak mendengar kata-kataku tadi? Suamimu sudah hampir jatuh pingsan. Kalau kamu nggak datang lagi, lukanya akan makin parah. Dia bisa saja jadi orang cacat!"Suster juga tidak berdaya karena Zayden yang terus menolak pengobatan. Itu sebabnya, dia berbicara dengan nada sekesal ini. Bagaimanapun, Zayden memiliki status yang sangat tinggi. Jika ses
Audrey melihat Zayden sekilas, keadaan Zayden tampak lebih baik dari yang dibayangkannya. Namun, wajah Zayden masih terlihat pucat. Entah apakah dia lapar atau karena lukanya masih terasa sakit. Seketika, Audrey merasa sangat tidak berdaya. Entah apa yang dipikirkan pria ini. Bukankah Shania sengaja datang mengantarkan barang untuknya semalam?Berhubung karena Zayden adalah pasien saat ini, Audrey menahan diri untuk memarahinya. Dia membuka termos diam-diam dan mengeluarkan makanan yang telah dibawanya. "Makanlah."Wangi makanan yang samar-samar mulai tercium. Zayden hampir seharian tidak makan apa pun, dia langsung tergoda oleh aroma makanan tersebut. Lambungnya juga mulai terasa agak sakit. Hanya saja, saat melihat ekspresi Audrey yang dingin itu, Zayden mengerutkan alisnya sedikit sambil berkata, "Apa kamu tidak penasaran kenapa aku sama sekali tidak makan?"Audrey meliriknya sekilas, lalu menjawab, "Siapa tahu apa yang sedang kamu pikirkan. Jangan banyak omong kosong lagi, cepat ma
Setelah beberapa saat kemudian, Audrey baru tersadar. Dia tidak lagi menatap mata Zayden dan hanya menanggapi dengan dingin, "Aku tahu."Akan tetapi, Zayden tetap tidak mau menyerah begitu saja. "Kalau begitu, apa kamu percaya dengan ucapanku?" Melihat Audrey tidak menjawabnya, Zayden hanya tersenyum getir. "Aku tahu, pasti sangat sulit untuk membuatmu percaya padaku. Tapi, aku akan berusaha membuatmu mengerti bahwa aku tidak membohongimu. Asalkan kamu tidak sembarangan menyerahkanku pada orang lain, itu sudah cukup."Ucapan Zayden menyiratkan sedikit kesedihan. Hal ini membuat Audrey merasa seolah-olah dirinya memang melakukan kesalahan. Saat Audrey kembali bereaksi, dia berdeham dan berkata, "Nggak usah banyak bicara lagi. Makan saja, sayurnya sudah hampir dingin. Aku memasaknya sangat lama."Audrey tidak bisa menanggapi ucapan Zayden. Bagaimanapun, sangat sulit bagi Audrey untuk melupakan masa lalu dan percaya dengan ucapan Zayden. Lagi pula, Audrey sudah berencana untuk meninggalka
"Jadi, kamu mau menetap untuk menemaniku?" Tebersit kebahagiaan yang melintas di mata Zayden. Pada saat ini, Audrey baru menyadari dia telah mengatakan omong kosong tadi. Audrey ingin mengatakan bahwa dia hanya keceplosan tadi, tetapi Zayden telah berkata terlebih dahulu, "Kupikir, kamu seharusnya tidak akan menindas orang yang terluka, 'kan?"Audrey terdiam seketika. Harus diakui bahwa Zayden benar-benar pandai menebak isi hati Audrey. Audrey membalas, "Sebelum lukamu sembuh, aku akan tetap menemanimu." Audrey telah menduga rencana yang sedang disusun oleh Zayden. Pria ini pasti sudah menduga bahwa Audrey pasti tidak akan mengabaikan orang yang menolong Dash."Tapi kamu jangan senang dulu. Setelah lukamu sembuh nanti, nggak ada lagi yang bisa kamu gunakan untuk mengancamku. Kita tetap berada di jalan masing-masing, nggak ada utang budi apa pun lagi satu sama lain," ucap Audrey yang duduk di samping sambil memandang Zayden.Sorot mata Zayden menjadi muram. Seperti dugaannya, Audrey mem
Baru kali ini Audrey merasa salut terhadap keberanian Zayden. Dia benar-benar tidak menyangka Zayden akan melakukan hal seperti ini demi membuat dirinya datang menjenguk. Melihat Audrey yang terpaku di tempat, Zayden mengerutkan alisnya seraya mengeluh, "Duh, kepalaku pusing sekali. Apa aku demam ya? Lukaku juga sakit sekali ...."Audrey berdecak kesal dalam hati. Lanjutkan saja aktingmu! Padahal tadi perawat sudah bilang ini hanya demam kecil, pria ini malah menggunakan hal ini untuk memancing belas kasihan Audrey.Melihat Audrey yang masih terdiam, Zayden menunduk untuk melihat bekas lukanya dan berkata, "Apa boleh buat kalau kamu tidak peduli padaku. Kalau ada gejala yang tersisa dan akhirnya aku jadi cacat, terpaksa aku harus bergantung padamu seumur hidup. Kamu ini desainer terkenal, seharusnya bisa menghidupiku."Audrey langsung naik pitam mendengar perkataan Zayden. Pria ini mau bergantung padanya seumur hidup? Apa tidak salah? Lagi pula dengan statusnya ini, memangnya desainer