Share

Apakah Aku Begitu Buruk

Aku mengikuti kegiatan PKK yang diadakan di kampung ini. Awalnya aku menolak untuk ikut, tapi Indah-tetanggaku- terus memaksa agar tidak berdiam diri saja di rumah.

"Mas, aku mau PKK dulu ya," ucapku meminta ijin dari suami.

"Ambilin aku makan dulu, jangan lupa minumnya sekalian," sahut Mas Bagas, suamiku yang sedang asyik bermain ponsel.

Aku segera mengambilkan suamiku makan lalu kuletakkan makanan itu di hadapannya.

"Mas, itu sudah aku siapin." ucapku seraya menggendong Caca yang sedari tadi rebahan di depan televisi.

"Kinan, ini chas dulu ponselku. Baru kamu pergi." ucap Mas Bagas seraya menyerahkan ponselnya padaku.

Begitulah sikap Mas Bagas. Apapun selalu mengandalkanku. Dia selalu minta dilayani mulai dari bangun tidur hingga akan tidur kembali.

Setelah memenuhi semua permintaan Mas Bagas, aku menjemput Mbak Indah di rumahnya dengan Caca dalam gendonganku.

"Mbak, udah siap?" tanyaku saat memasuki rumah Mbak Indah.

Di sini Mbak Indah tetangga sekaligus teman dekatku. Aku selalu bercerita tentang banyak hal padanya. Bahkan sifat suamiku pun dia tahu, karena dia masih ada hubungan saudara dengan Mas Bagas.

"Bentar, Kinan. Indah di kamar masih siap-siap."Mas Yudha, suami Mbak Indah yang menjawab.

"Iya, Mas. Acaranya juga belum dimulai kok." jawabku seraya menurunkan Caca.

Mbak Indah dan Mas Yudha suka sekali dengan anak kecil. Mereka suka mengajak anakku saat bepergian. Entah untuk belanja bulanan atau sekedar mencari makan. Dan pulangnya bisa dipastikan mereka akan memberi sesuatu untuk Caca.

Sedangkan anak mereka-Nada-sudah besar dan mandiri. Kadangkala Nada juga suka membawa Caca saat dia lagi gak ada kegiatan.

Mbak Indah keluar dari kamar. Wajahnya terlihat begitu cantik dengan seragam PKK warna kuning batik yang digunakannya. Aku mengagumi wanita itu, selain baik dia juga cantik dan tidak sombong.

Di acara PKK Ibu ketua mengumumkan akan diadakan wisata ke pantai. Diharapkan agar semua bisa ikut, boleh membawa keluarganya masing-masing.

Aku senang sekali secara sudah lama aku tak pernah diajak bepergian oleh Mas Bagas.

"Nanti ikut kan, Kinan?" Mbak Indah bertanya kepadaku.

"Iya, Mbak. Aku pingin sekali ikut. Nanti mau ngomong dulu sama Mas Bagas." sahutku.

"Aku mengajak Mas Yudha dan Nada. Mereka pasti akan senang sekali. Sebagian besar Ibu-Ibu juga mengajak suami dan anaknya. Kalau bisa, kamu ajak suamimu juga, Kinan." saran Mbak Indah.

"Iya, Mbak. Semoga saja Mas Bagas mau." ucapku ragu.

Biasanya suamiku itu susah sekali jika kuajak bepergian, kecuali dia yang memang ada perlu. Makanya kemana -mana aku selalu sendirian. Kadang timbul rasa iri melihat istri-istri yang lain diantar suaminya kemana pun.

Setibanya di rumah kuberitahukan kabar itu kepada suamiku.

"Mas, PKK akan ngadain wisata ke pantai. Apa kamu mau ikut?" tanyaku pada Mas Bagas.

"Males, lagian kamu boros banget pake acara pergi-pergi segala," jawabnya cuek.

"Aku gratis, Mas. Untuk anggota biaya udah ditanggung kasnya. Sedangkan jika kamu ikut cuma nambah 100 ribu saja," sahutku menjelaskan.

"Tetap aja males. Kalau kamu mau, pergi saja sendiri. Gak pede aku jalan sama kamu," jawabnya seraya melirik sinis padaku.

Selalu jawaban pedas yang aku dapatkan. Padahal aku cuma ingin bisa bersama dengannya seperti pasangan yang lainnya. Aku rindu masa-masa indah dulu.

Apakah aku begitu buruk sekarang, sehingga suamiku selalu tak mau dekat-dekat denganku? Sudah begitu tak bernilai kah aku ini?

****

Adzan subuh membangunkanku dari tidur lelapku. Setelah sholat subuh, aku berbelanja di warung Mak Sarni dekat rumah. Rupanya sudah banyak Ibu-Ibu yang mengantri di sana.

Sengaja aku tinggalkan Caca karena dia masih tidur, tak tega jika harus membangunkannya.

Ada Mbak Risa diantara mereka yang mengantri. Melihatku datang dia melirikku tak suka. Entah karena perasaanku atau memang dia tak menyukaiku. Perempuan itu berbisik lirih dengan Bu Siska yang ada di sebelahnya.

"Eh Mbak Kinan, tumben gak ngajak Caca." sapa Mak Sarni padaku yang baru datang. Dia memang selalu ramah pada siapa saja.

"Caca masih tidur, Bu." Aku menjawab sapaan Mak Sarni.

Aku menunggu Mak Sarni menghitung barang belanjaan yang lain. Sambil menunggu, aku juga memilih sayuran dan lauk yang kubutuhkan.

"Mak, gimana ya kalau kita punya tetangga yang suka ngelirik suami kita," ucap Mbak Risa pada Mak Sarni. Perempuan itu berkata sambil melirikku.

"Siapa itu Mbak? Gatel bener jadi perempuan." sahut Seseibu yang lain.

Aku merasa dia menyindirku. Karena beberapa kali Mbak Risa melirikku tajam. Tapi aku tak berani menjawab, takutnya cuma salah paham.

"Jangan terburu emosi, Mbak Risa. Bisa jadi suami kita duluan yang godain tuh cewek." Mak Sarni mencoba bersikap bijaksana.

"Hallah godain gimana. Cantik juga enggak kok. Masih mending aku jauh. Dia baru beranak satu aja udah kayak emak-emak anak sepuluh" cerocosnya menggebu-gebu.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status