Share

Tak Punya Hati

"Kinan, tunggu di sini sebentar. Aku mau mengantar Nita. Kasihan dia bawa barang banyak," ucap suamiku.

"Aku pinjem suamimu sebentar ya, Kinan," ucap Mbak Nita dengan suara manjanya.

Tak menunggu persetujuanku, mereka berlalu dari hadapanku. Tentu saja hatiku sakit merasa tak dihargai. Bagaimana mungkin seorang suami lebih mementingkan orang lain dari pada istrinya sendiri.

Air mataku menetes dengan perlakuan suamiku. Sesak sekali dada ini, tak hentinya Mas Bagas menyakitiku. Aku duduk di bangku panjang dekat toko Pak Slamet menunggu kedatangan suamiku.

"Kinan, kenapa kamu di sini sendiri?" Suara itu reflek membuatku menengadah kepadanya.

Mas Rangga berdiri di hadapanku. Dahinya mengernyit tampak berpikir."Kamu nangis, Kinan?"

Segera kuhapus air mataku. Tak ingin orang lain mengetahui kesedihanku saat ini.

"Enggak, Mas. Aku cuma kelilipan aja ini," ucapku mengelak.

Lelaki di depanku menatap tak percaya. Sedetik kemudian dia menawariku bantuan.

"Aku anterin pulang yuk, kasihan Caca digigit nyamuk di sini," ucap Mas Rangga.

Aku mengangguk mengiyakan tawaran pria di hadapanku. Tak mau menunggu Mas Bagas lagi. Biar saja jika pria itu marah nanti.

"Mas, Nanti turunnya di depan saja ya, aku takut Mbak Risa nanti salah paham," ucapku.

"Iya, tenang aja." jawabnya enteng.

Di depan gang Mas Rangga menurunkanku. Sebelum aku berlalu dia mencegahku sebentar.

"Kinan, boleh aku meminta nomermu?" tanya Mas Rangga.

****

Di depan gang, Mas Rangga menurunkanku. Sebelum aku berlalu dia mencegahku sebentar.

"Kinan, boleh aku meminta nomermu?" tanya Mas Rangga.

Aku berpikir sejenak. Mas Rangga menunggu jawabanku. Akhirnya kukeluarkan ponsel pemberian adikku dan menunjukkan nomernya pada Mas Rangga.

"Terima kasih ya, Kinan," jawabnya seraya tersenyum menawan.

Mas Rangga memang tampan. Dibandingkan dengan suamiku dia jauh lebih ganteng. Tapi aku tak tahu kenapa dari awal aku pindah ke kampung suamiku, dia tertarik padaku.

Dulu awal-awal nikah saat pria itu selalu mendekatiku, aku selalu menjauhinya. Tak mau orang-orang berpikiran buruk tentangku.

Mbak Risa, istri Mas Rangga terlihat tak pernah menyukaiku tanpa kutahu apa alasannya. Saat kusapa dengan tersenyum pun dia selalu melengos tak menanggapi.

****

"Kinan, dari mana aja kamu? Kenapa tak ada saat aku menjemputmu?" tanya Mas Bagas dengan mata melotot.

"Kamu terlalu lama, Mas. Jadi aku jalan kaki saja," jawabku menunduk.

"Kenapa gak bilang dari awal, aku kan jadi bolak-balik cari kamu," seru Mas Bagas emosi.

"Kamu sendiri lebih mementingkan perempuan lain dari pada aku, Mas!" ucapku membela diri.

"Apa salah aku menolong Nita? Kasihan dia jalan kaki sendiri bawa barang banyak pula," sahut Mas Bagas tak mau disalahkan.

"Apa kamu tak kasihan dengan istrimu yang membawa barang dan menggendong anakmu?" ucapku.

"Kamu terlalu banyak omong, Kinan! Aku sudah menyuruhmu menunggu, kamu saja yang tak sabar." seru Mas Bagas emosi.

"Aku kasihan sama Caca, Mas. Di sana banyak nyamuk, udara malam juga gak baik buatnya," sahutku lagi.

"Udah jangan banyak alasan. Cuma masalah kecil saja kamu perbesar." sahutnya. Padahal dia sendiri yang marah-marah malah menuduhku memperbesar masalah.

Aku merasa sangat kesal pada suamiku itu. Kubawa Caca yang telah tertidur masuk kamar. Kurebahkan gadis kecilku di pembaringan.

Setelah yakin Caca tertidur pulas, kutinggalkan dia di kamar. Tenggorokanku terasa kering, ingin mengambil air minum di dapur.

Kulihat Mas Bagas makan dengan lahapnya di depan televisi. Kudekati dia, melihat apa yang dia makan. Ternyata dia makan nasi Padang daging rendang. Aku menelan salivaku, ingin sekali mencicipinya sedikit saja.

"Apa lihat-lihat? Kalau pingin, beli aja sendiri." ketus Mas Bagas.

Aku mengelus dada menahan sakit hati. Begitu tak berharganya aku di matanya. Hingga berbagi makanan pun dia tak mau.

Aku memilih pergi meninggalkannya dari pada mendapat ucapan pedas lagi.

"Kinan, ini uang belanjamu. Udah aku siapkan, jangan boros harus cukup sampai sebulan." ujar suamiku.

Kuambil uang yang diberikannya. Kuhitung jumlahnya ternyata ada 1 juta kurang 40 ribu.

"Yang 40 ribu kubuat beli nasi Padang," ucapnya sebelum aku bertanya.

"Kamu beli nasi padang 2 bungkus, Mas? Lalu satunya mana?" tanyaku karena 1 nasi Padang seharga 20 ribu.

"Yang satu aku berikan pada Nita tadi pas nganterin dia," jawabnya tanpa rasa bersalah.

Hatiku mencelos mendengar jawaban pria yang ada di hadapanku. Begitu tega dia denganku. Bukan soal nasi Padang seharga 20 ribu. Tapi soal seberapa dia menghargaiku.

Mas Bagas bergaji 4,5 juta tapi dia memberiku uang belanja tak sampai setengah dari gajinya. Bahkan sekarang dipotong 40 ribu olehnya.

Tak terasa air mataku menetes tak tertahan. Sakit sekali hati ini. Tak ingatkah dulu bagaimana dia meyakinkan hatiku agar menerima cintanya. Hingga nasehat Bapak pun tak aku hiraukan.

Tak ingin dia melihatku menangis karena yang ada dia akan semakin mengomel. Aku pergi ke kamar dan menumpahkan air mata secara bebas.

"Bapak ... Aku kangen, Pak," gumamku dalam hati.

Aku ingat betul bagaimana sayangnya Bapak dulu terhadapku. Setiap dia memperoleh makanan entah dari kenduri atau dari bosnya, maka dia rela tak memakannya demi membuat kami kenyang.

Orangtuaku memang bukan orang berada. Tapi mereka selalu memperhatikan kesejahteraan anak-anaknya.

Setidaknya aku bisa makan enak saat bersama orangtuaku dulu. Tak pernah mereka mencaci maki dengan ucapan kasar. Setiap hari selalu dihabiskan dengan bercanda dan berkumpul bersama.

Aku jadi merindukan masa-masa bersama keluargaku. Tapi saat ini aku tak berani pulang ke rumah. Bapak tak lagi menganggapku anaknya.

Lelah menangis membuatku ketiduran. Hingga aku merasa ada tangan yang memeluk tubuhku dari belakang. Tangan itu tak akan berhenti bergerilya hingga dia akan mendapatkan jatahnya.

Begitulah suamiku, dia hanya mendekatiku jika dia menginginkan sesuatu. Namun, setelah itu dia akan kembali pada tabiat awalnya. Aku merasa dia tak lagi mencintaiku.

****

Keesokan harinya, seperti biasa aku bangun subuh untuk melakukan mandi wajib. Setelah itu kulaksanakan dua rakaat sebagai kewajibanku sebagai umat islam.

Kucuci beras dan menanaknya, setelah itu aku mengolah bahan makanan yang ada di kulkas. Ada sayur kacang panjang, udang dan tempe kutumis jadi satu.

Aku harus hemat dengan menu makanan yang aku sediakan. Jika tidak maka uang itu akan habis sebelum akhir bulan. Pasti Mas Bagas marah dan tak mau tahu aku harus tetap menyediakan makanan untuknya.

Mas Bagas berangkat kerja tanpa banyak drama. Sarapan dan bekal makan siang dengan menu yang sama, kecuali untuk bekal kutambahkan telor dadar.

Kucuci pakaian yang telah kurendam subuh tadi. Setelah membilasnya dua kali, kuberikan pewangi. Tak ingin suamiku protes karena bajunya bau apek setelah dijemur.

Alhamdulillah kerjaan selesei juga, karena tadi ibu mertua mengambil Caca dan di bawah ke rumahnya.

Saat hendak keluar menjemput Caca, ponselku berdering. Kulihat nama di layar ternyata Mas Rangga-suami Mbak Risa-yang menelpon.

Ragu aku menjawabnya. Takut jika nantinya akan menimbulkan masalah buatku. Kuputuskan untuk meninggalkan saja ponselku di rumah tanpa peduli panggilan masuk terus berbunyi.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status