"Apa! Kenapa suaramu seperti habis kehilangan seseorang?” Alex menggoyangkan gelas yang terisi setengah bir. Di sela-sela jarinya terdapat puntung rokok.
“Aku memang kehilangan seseorang. Mama ... Mama sudah tidak ada,” ujar Karan.“Apa?” Alex bangkit dari duduknya, membuat semua anak buahnya ikut berdiri. Gelas di tangan kini berpindah tempat ke meja.“Papa, pulang, Pa. Mama sudah pergi. Papa.” Kiran menangis. Suara tangisannya bagai anak panah yang menghunjam dada Alex yang kaget bukan main.“Bagaimana bisa?” Alex tak percaya pada apa yang didengarnya. Setahunya, Marina memang kecewa dan pasti marah, tapi tak menyangka akan ada kabar buruk sepagi ini.“Mama terkena serangan jantung dua hari lalu, tepat setelah tahu kebenarannya. Semalam kejang-kejang dan ... meninggal.”Karan tak kuasa menahan air. Meskipun pelukan Ailyn terasa hangat, tapi matanya jauh lebih hangat sampai bulir-bulir deras mengalir.“KenSuasana di rumah Kusuma mulai berubah. Sebulan sudah sejak kepergian Marina, Kiran ikut tinggal di rumah itu bersama Karan dan Ailyn. Kiran mulai bisa menerima kepergian mamanya walaupun ia masih tak bisa menerima kehadiran Alex yang selalu memintanya tinggal bersama. “Karan, ini sudah sebulan lebih, Nak. Tidak seharusnya kau murung. Sejak menikah, kalian tidak sempat merasakan bahagia. Kenapa tidak bulan madu saja?” usul Kusuma. Karan menoleh pada Ailyn yang menghidangkan makanan. Wanita itu berusaha menjadi istri dan menantu yang baik agar keberadaannya diterima. Tanda tanya mengenai apa yang Alex katakan tentang taruhan itu masih belum terjawab sampai detik ini. “Karan sibuk, Pa. Banyak berkas yang harus diurus. Lagi pula, Kiran masih butuh pendamping.” Karan membiarkan Ailyn duduk di sebelahnya. Keduanya hanya sibuk bekerja dan membuat Kiran lupa kesedihan sampai tak memikirkan kebahagiaan sendiri. “Kalia
Ailyn tak menyangka akan dibawa ke tempat yang sangat jauh. Bagaimana tidak, rencana awal hanya ke Bali, malah kini mereka sampai di Jepang. “Karan, kau serius? Ini kita benar-benar di Jepang?” Ailyn menganga saat menginap di hotel. Rasa tak percaya membuatnya terdiam. “Tentu. Aku sengaja membawamu ke sini sebab aku takut Om Alex akan datang dan mengacaukan semua,” jawab Karan, memeluk istrinya dari belakang. Ailyn hanya tersenyum. Dibiarkannya Karan terus memeluk. “Hari ini kita ke mana?” tanya Ailyn. “Di kamar saja. Aku ingin berduaan.” Karan menggigit bahu Ailyn pelan. “Ah!” Wanita itu mengaduh, lantas menggerak-gerakkan bahu. “Ayo, Jovan sudah menyiapkan list liburan kita.” Karan menarik tangan Ailyn keluar kamar hotel. Di luar, Jovan sudah menunggu sembari menunjukkan list destinasi wisata yang akan mereka kunjungi. “Okawa River? Wah, yang banyak pohon sakuranya itu, kan? Aku mau ke sana.” Ai
Farel menunjukkan rekaman saat dia meminta Bella menceritakan tentang Karan selama mereka berteman. Yunita manggut-manggut, mendengarkan dengan teliti. “Kita bisa gunakan Bella untuk menghancurkan Karan. Kita minta dia menyusul ke Bali dan mengatakan kalau dia dan Karan ada hubungan spesial,” ujar Yunita. “Tapi, Bella bilang hanya dia yang suka, sementara Karan tidak memberi kejelasan hubungan. Nanti dia curiga." Farel membuat Yunita memikirkan sekali lagi tentang rencananya. “Bagaimana dengan berkas yang Mama minta?" Farel menunjukkan foto berisi berkas-berkas penting yang ia dapatkan dari ruangan Karan. Yunita tersenyum lebar. Dengan demikian, mereka bisa melakukan sesuatu jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. “Ma, mana Kiran?” Kusuma muncul sambil membawa balon. “Mungkin di kamarnya.” Yunita menjawab sambil memerhatikan balon di tangan kanan sang suami. Kusuma diam, lalu menuju ke kamar Karan.
Ailyn tengah menelepon Mohan dan menanyakan kabar. Sudah tiga hari di Jepang, wanita itu menikmati liburan dengan penuh sukacita. “Jangan khawatirkan Ayah. Di sini Ayah bekerja sebagai sopir truk. Lumayan, daripada berjudi lagi,” kata Mohan, membuat Ailyn merasa lega. Setidaknya, ia tak perlu khawatir Mohan akan mencuri atau melakukan kejahatan untuk melunasi hutang, andai berjudi lagi. “Syukurlah kalau begitu. Nanti kita bicara lagi.” Ailyn membiarkan Karan memeluknya dari belakang. Pria itu memiringkan kepala, bersandar pada pundak sang istri. “Sudah bicara dengan Ayah?” tanyanya. Ailyn mengangguk. Dilemparnya ponsel ke ranjang, lalu membalikkan badan. “Kau tidak menelepon Kiran? Dia pasti rindu. Aku khawatir terjadi sesuatu di rumah,” ujar Ailyn, membalas pelukan. “Sudah tadi. Aku rasa, Tante ingin membuatnya tak betah, makanya mulai memengaruhi.” Karan melangkah pelan, membuat Ailyn mengikuti gerakannya.
Hari ini Karan dan Ailyn mendapat undangan dari salah satu rekan bisnis yang kebetulan menyelenggarakan acara di hotel Jepang. Keduanya berniat berangkat lebih awal karena cukup jauh dan belum hafal daerah sekitar. “Karan, apa kau yakin aku akan cantik memakai gaun ini?” Ailyn bertanya sambil memerhatikan pantulan dirinya di cermin. Gaun panjang berwarna merah terlihat pas di tubuhnya yang ramping. Dengan bagian belakang yang sedikit bolong dan memerlihatkan punggung. “Kau ... luar biasa!” Karan mengacungkan dua jempol sekaligus. Pria itu memilih setelan jas berwarna abu-abu tua, dipadukan dengan dasi berwarna biru mengkilap. Karan menggenggam tangan Ailyn menuju ke parkiran. Mereka pun segera menuju ke hotel yang sudah ditentukan. Satu jam kemudian .... Sampailah mereka di hotel. Seorang pria dewasa sekitar umur 30-an melambaikan tangan pada Karan yang baru masuk. “Hai, kau sampai juga akhirnya.” Pria
Ailyn yang merasa tak tahan, meletakkan gelas dan berniat kembali duduk bersama Karan. Sayangnya, Zamaan menahan dengan pura-pura mengajaknya berkenalan. “Kau tentu tidak keberatan kalau aku mengajak berkenalan, kan? Perkenalkan, namaku Zamaan. Maaf kalau caraku bicara bahasamu sedikit kaku.” Zamaan mengulurkan tangan. Mau tak mau, Ailyn terpaksa menyambut uluran tangan itu dengan senyum palsu. “Tentu tidak. Namaku Ailyn.” Wanita itu langsung menarik tangannya lagi. Dilihatnya Karan yang sejak tadi serius berbincang, kini menoleh padanya. “Kau ... sudah lama menikah? Aku tak tahu kalau CEO itu sudah beristri wanita cantik sepertimu.” Zamaan memuji sambil menatap tubuh Ailyn. “Belum dua bulanan. Ah, aku ke sana dulu.” Ailyn sedikit membungkuk, berusaha terlihat ramah. Namun, lagi-lagi Zamaan mencegah. “Jangan buru-buru. Aku hanya ingin tahu tentangmu.” Pria itu mengintip bagian belakang tubuh Ailyn, membuat wanita itu
Pergi ke Jepang tanpa mengunjungi taman-taman bersejarah tentu kurang asyik. Maka dari itulah Karan mengajak Ailyn mampir ke salah satu teman yang sangat recommended. “Apa aku terlihat cantik dengan pakaian ini?” Ailyn memerhatikan seluruh tubuh, di mana dia dan sang suami kompak menggunakan pakaian adat Jepang. “Kau cantik memakai apa pun,” jawab Karan, merapikan pakaian. Karena akan mengunjungi taman-taman bersejarah, mereka memilih menyewa Yukata dan Kimono yang ada di Suizenji Jojuen di Kota Kumamoto, Prefektur Kumamoto. Kimono yang dikenal saat ini tentu hasil modifikasi pada zaman Heian. Tak heran, Ailyn dan Karan dapat melihat banyaknya jenis dan warna yang mencolok. Apa yang dipakai mereka memang terasa aneh karena ini baru pertama kali. “Kenapa kau malah pakai yang warna hitam?” Ailyn merasa aneh saat melihat Jovan muncul dengan kimono berwarna hitam dan polos. “Apa ini ... aneh?” Jovan yang tak be
Malam yang cukup indah, di mana Karan sudah menyiapkan makan malam romantis di balkon kamar hotel tempatnya menginap. Pria itu membawa Ailyn yang memakai gaun berwarna biru dengan motif bunga dan merak menuju ke balkon. “Wah, siapa yang menyiapkan semua ini?” Ailyn membiarkan Karan menarikkan kursi untuknya agar duduk. “Aku,” jawab Karan, duduk di depan Ailyn yang memerhatikan langit malam bertabur bintang. Sangat indah dan cocok dengan ditemani cahaya lilin di sekeliling. “Bohong! Kau bersamaku sejak kita pulang dari taman dan makan ramen. Ini pasti Jovan yang menyiapkan,” ujar Ailyn, mengibaskan rambutnya. “Memang dia yang menyiapkan, tapi aku yang punya ide.” Karan sedikit merungut, tak suka dengan apa yang istrinya katakan. “Baiklah, baiklah suamiku yang tampan.” Ailyn mencubit pipi Karan, membuatnya hanya meringis. Karan bersikap keren dengan menepuk tangan tiga kali. Tak berapa lama, Jovan muncul memb