Sebulan sudah setelah aku resmi bercerai dengan Mas Heru. Terus terang aku katakan, masih sulit bagiku menghapus bayang-bayang dirinya di dalam ingatanku.
Mungkin, aku bebas sekarang. Sudah tidak harus menderita karena telah dibohongi dan dikhianati. Tapi, di satu sisi aku juga merasa sangat kehilangan. Setelah kepergian kedua orang tuaku, Mas Heru lah yang menjadi tempat sandaranku. Kini, dia pun telah pergi. Karena aku yang mengusirnya dari hidupku. Kesalahannya sunggu tak dapat aku maafkan.
Biarlah, akan aku coba menata hati perlahan-lahan. Membiasakan diri. Dan sepertinya, satu bulan ini dia tidak pernah lagi datang mengusikku. Tidak ada lagi teror meneror yang seperti saat itu dia lakukan.
Aku bersyukur karena hal itu. Karena sekarang aku bisa tinggal dengan akan dan nyaman di rumah peninggalan orang tuaku. Semua harta benda yang pernah aku beli bersamanya selama masa pernikahan, telah aku lelang. Bagiannya aku transfer ke rekeningnya. Dan bagianku
"Win, dia nggak ada ganggu kamu kan hari ini?" tanya Ferdi setelah kami selesai makan siang bersama di butik ku. "Tidak. Mana berani lagi dia. Ada kalian yang selalu menjagaku, takutlah dia. Cuma, barusan istrinya telpon aku," jawabku dengan jujur. "Ngapain lagi pelakor itu nelpon-nelpon kamu?" tanya Nia sedikit emosi. "Lucu sekali gundiknya itu, dan cukup tebal muka juga dia. Dia meminta aku mengirimkan uang pada Heru." "Apa? Tidak salah? Apa dia sudah gila? Aku rasa, dia benar-benar perlu test kejiwaan!" Aku hanya bisa tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Nia. Aku memang sudah lelah menghadapi masalah yang tak pernah ada habisnya ini. Jadi, setelah kupikir-pikir lagi, biarlah mereka menjalani hidupnya sendiri. Sebab itu aku menjual semua barang yang pernah aku beli saat bersama Mas Heru. Meski hatiku sakit, masih tersisa sedikit jiwa kemanusiaan di dalam diriku sebagai seorang wanita. Meski aku belum pernah hamil dan mel
Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam saat Winda baru menutup pintu kaca butiknya dari luar dan menggemboknya. Para karyawan sudah lebih dulu pulang jam 10 tadi. Karena tadi siang butik tutup agak lama karena kedatangan Ferdi dan Nia, maka Winda dan karyawannya harus lembur untuk membereskan isi butiknya setelah kedatangan beberapa pelanggan yang berbelanja. Setelah semua karyawannya pulang, Winda masih harus melihat lagi stok barang keluar dan sisanya. Serta mencocokkan uang masuk dengan item barang yang keluar. Karena itu, Winda tinggal lebih lama di butik setelah semua karyawannya pulang. Saat masuk ke dalam mobil, dari kaca spionnya Winda dapat melihat seorang dengan jaket tebal berwarna hitam, topi hitam, masker hitam, dan juga kacamata hitam sedang berdiri di belakang mobilnya. "Siapa orang yang berdiri di belakang mobilku itu?" lirih Winda sambil terus melirik ke kaca spion. Winda bergegas menyalakan mesin mobilnya, tapi tidak bisa bergerak. Kar
(Pov Heru) Sudah lama rasanya, aku sengaja menghilang dari kehidupan Winda. Aku ingin memberinya sedikit ketenangan, sebelum memberikan kejutan besar ini. Rasa sakit atas sikap angkuh dan sombongnya itu, tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Sejak siang tadi, aku sudah mengawasi gerak-geriknya. Akhir-akhir ini sepasang sahabatnya itu terlihat sering mengunjunginya ke butik. Memhuat rencananaku mengerjainya selalu gagal. Sebelum sidang perceraian, beberapa kali aku melakukan teror padanya. Aku ingin wanita itu takut dan mencariku untuk melindunginya. Seperti dulu saat masih bersamaku. Atau setidaknya, jika dia tau aku yang menerornya, dia akan datang dan memohon padaku untuk menghentikan semua itu. Aku akan memintanya mencabut gugatan cerai itu sebagai syaratnya. Tapi, ternyata Winda cukup keras kepala. Belum lagi hari-hari yang aku jalani bersama Ranisa tidak seindah yang aku bayangkan. Gadis kecil yang kusangka lugu dan polos itu, ternyata suda
(Pov Heru) Tak perlu waktu lama, aku sudah sampai di rumah sederhana yang aku kontrak untuk tinggal bersama Ranisa. Rumah ini memang jauh dari kata mewah. Tapi, saat itu aku hanya berpikir bahwa Ranisa akan tinggal sementara di rumah ini. Setelah aku mengatakan kebenaran tentang status kami pada Winda, dan aku yakini Winda akan menerima meski sedikit terluka, Ranisa bisa kuboyong ke rumah mewah milik Winda itu. Namun, kenyataan tak selalu sesuai dengan harapan. Bukan hanya Ranisa yang tak bisa masuk ke rumah mewah itu, bahkan aku pun tak bisa lagi tinggal di dalamnya. Tok..tok..tok.. Aku mengetuk pintu kayu di depanku dengan kuat. Meski ini rumah kontrakan, tapi tidak berdempetan dengan rumah tetangga lainnya. Setelah dua kali aku mengetuk dan memanggil Ranisa, wanita dengan perut membelendung itu membukakan pintu untukku. "Mas..." sapanya dengan senyum mengambang saat aku menunjukkan sebungkus martabak telor spesi
(Pov Winda) Setelah kejadian semalam, aku lebih was-was lagi dengan keadaan sekitarku. Aku tak ingin lengah sedikit pun. Setelah kupastikan semua aman, baru aku keluar rumah dengan tenang. Pagi ini aku sengaja datang lebih awal, karena tak bisa tidur dengan nyenyak semalaman. Jadi, aku berniat untuk istirahat di Butik saja. Jam 7 kurang aku sudah membuka Butik. Aku mengangsur membersihkan toko yang awalnya kubuka hanya untuk mencari kesibukan dan meneruskan hobby. Tidak kusangka, kini hari-hariku aku habiskan di Butik yang sederhana ini. Sementara perusahaan ayahku, aku alihkan pada Direktur yang sudah bekerja selama belasan tahun dengan ayahku. Sebenarnya, Om Burhan sudah sering memperingatiku tentang Mas Heru. Mata nurani orang tua tentu tak bisa didustai, karena ia sudah banyak makan asam garam kehidupan. Sudah bertemu dan melihat beratus-ratus sifat dan tabiat manusia. Akan tetapi, selama itu pula aku tak pernah mau mempercayainya. Aku meno
Jam 9 malam, semua karyawanku sudah pulang. Aku pun sudah bersiap untuk pulang, saat tiba-tiba ponselku berdering. Panggilan dari Mami masuk ke ponselku. Tumben sekali Mami menelponku. Setelah beberapa bulan pergi tanpa kabar, sekarang baru ingat lagi punya anak? "Hallo.." sapaku ketus saat panggilan itu terhubung. "Hai, Sayang. Apa kabarmu?" suara Mami terdengar sangat serak dari ujung telepon. "Baik, bagaimana dengan Mami? Apakah Mami sedang sakit?" tanyaku lagi. Meski bagaimana pun Mami telah menyakiti hatiku dan meninggalkanku, dia tetaplah ibuku. Di dalam rahimnya aku berada selama 9 bulan 10 hari. Atas perjuangannya pula lah aku bisa lahir ke dunia ini. Tentu saja ikatan batim itu akan tetap ada meski tidak terlalu erat. "Mami baru datang dari Swiss kemarin sore. Tapi, pagi ini tiba-tiba Mami merasa tidak enak badan. Apa kamu bisa mengantarkan Mami ke Rumah Sakit?" "Tentu. Aku akan menjemput Mami sebentar lagi. Bersia
Hari ini setelah aku membuka butik dan menitipkan segalanya pada Putri, aku kembali ke rumah. Aku ingin merawat Mami yang sedang tidak sehat hari ini. Bagaimana pun, ini hari pertama Mami tinggal kembali di rumah ini. Sedikit banyak nya tentu Mami akan merasa canggung dan tak terbiasa. Sebelum kembali ke rumah, aku menyempatkan mampir ke toko Sahabat Buah. Aku membeli beberapa macam buah-buahan yang sekiranya Mami sukai. Karena jujur, aku sama sekali tidak tau apa pun tentang kesukaan atau pun yang tidak Mami sukai. Setelah aku rasa cukup, aku kembali ke mobil. Saat tiba di dalam mobil, aku ingin memesan bubur yang kemarin pagi aku pesan. Aku segera membuka aplikasi Lezat Foods dan memesan menu yang sama dengan yang kemarin aku beli. Bedanya, kali ini aku meminta kurir nya langsung mengantar ke alamat rumahku. Bergegas aku pulang menuju rumah. Akan tetapi, alangkah terkejutnya aku saat memasuki pekarangan rumahku. Ada mobil Mas Heru di sana. Kenapa? Ada apa d
"Kami sudah bercerai!" ucapku yakin dan tegas. Terlihat wajah Mami sangat kaget dan begitu pula dengan Mas Heru. Aku tak peduli lagi. Aku tak akan menyembunyikan kebenaran ini lebih lama. Beberapa saat setelah kata-kata itu lolos dari tenggorokanku, semua masih tetap diam di posisinya masing-masing. Mami yang tadinya ingin kembali beristirahat, kini terlihat kembali mengatur duduk dan menyandar pada kepala kasur yang empuk. Mami masih terlihat pucat dan terlebih lagi dengan yang baru saja ia dengar. Wajah syoknya terlihat jelas bagiku. Aku mendekati Mami dan memegang tangan Mami dengan lembut. Aku sungguh tak ingin membuat Mami salah paham dan kecewa. Apalagi, hubungan kami baru saja membaik setelah belasan tahun berlalu. Meski aku tau, Mami selalu menyayangi dan sangat peduli padaku. "Mi, semua tidak semudah dan seindah yang aku bayangkan. Semua tak sebaik yang Mami lihat dan pikirkan. Pria itu, dia telah mengkhianatiku!" lirihku tak be