Share

Bab 3

"Apa yang kamu masak hari ini?" Berenice menutup hidungnya saat mendekat ke arah Quen. Tidak lupa ia juga selalu membawa antiseptik untuk di semprotkan ke ruangan bekas Quen.

Quen memandang getir dengan sikap berlebihan mertuanya. Kini ia mulai menyesali keputusannya dulu untuk tinggal bersama mertua. Namun, sebelum tinggal bersama, Berenice sangat baik kepadanya. Jadi, tidak ada alasan untuk menolaknya.

"Saya hanya membuat sandwich dan omelette. Maaf Ma, saya terburu-buru untuk mengambil beberapa kain yang sudah saya pesan," ujarnya.

"Bagus, segeralah pergi. Oksigen dirumah ini menjadi tercemar karna kamu." Berenice bersedekap dan menyemprot antiseptik ke arah Quen, hingga membuatnya risih. Quen mengambil tasnya dan berlalu begitu saja.

Saat ini, ia benar-benar butuh seseorang untuk diajak berdiskusi. Ia tidak mungkin menghubungi sahabatnya, karena tahu pasti urusan akan menjadi panjang dan runyam. Terpikirkan olehnya satu nama, Lyden. Ia sangat berharap hari ini Lyden berada di tokonya.

Quen berlari menuju toko bunga milik Lyden. Dari kejauhan ia melihat Lyden sedang merangkai bunga di meja bundar depan tokonya. Lyden melambaikan tangan ketika melihat Quen mendekat.

"Sudah beberapa hari kamu tidak kelihatan, apakah kamu baik-baik saja?" tanya Lyden. Quen mengangguk-anggukan kepalanya. Lyden mempersilahkannya masuk ke dalam toko. Ia tidak mau jika wanita tua gila itu datang kembali untuk mengacau.

Quen duduk di kursi bagian dalam yang menghadap ke jalan, sedangkan Lyden masih membuat teh dan juga mengambil kue untuk Quen. Lyden melihat dengan seksama ke arah Quen yang terlihat penuh beban. Ia memanaskan air dan menyerahkan kue kepada Quen. Quen meletakkannya tepat di depannya.

"Quen, siapakah wanita tua yang selalu mengenakan gaun merah? Saya melihat dia seperti iblis pencabut nyawa." Lyden terkekeh membayangkannya. Ia mencoba untuk mencairkan suasana karna melihat wajah Quen yang tertekuk sedih.

Quen hanya tersenyum kecil. "Mertua saya. Adakah sesuatu yang dia perbuat?"

"Bagaimana kamu bisa hidup dengan wanita gila seperti itu? Kamu sungguh hebat. Selain gila, dia juga keterlaluan. Dia kira bisa membeli soerang dengan uangnya yang bahkan tidak seberapa. Seharusnya, seumurnya lebih banyak berbuat baik ketimbang mencari masalah." Lyden berdecak kagum dengan kesabaran yang dimiliki Quen. Sedangkan ia baru 5 menit berdebat saja sudah terasa muak dengan segala kesombongan wanita tua itu.

"Saya meminta maaf atas hal tersebut. Saya benar-benar tidak tahu kalau mertua saya menemui anda." Lyden hanya mengangguk mendengar permintaan maaf yang seharusnya tidak keluar dari mulut Quen.

"Suami saya sekarang berani berlaku kasar kepada saya. Menurut mon coeur, saya harus bagaimana?" lanjutnya. Quen selalu memanggil orang terdekatnya dengan sebutan mon coeur yang berarti kesayangan.

Lyden terkejut dengan pernyataan Quen. Ia meletakkan teh yang ia buat tepat di tengah mereka.

"Jadi tempo hari itu?"

"Iya. Untung saja anak yang saya kandung tidak kenapa-napa. Sekarang saya bingung harus berbuat apa." Quen mulai menangis meratapi nasibnya.

Ia hanya ingin memiliki keluarga utuh dan mengurus anak-anaknya supaya menjadi anak-anak hebat.

"Saya merasa suami saya berubah setelah ada Mamanya." Quen mengusap air matanya.

"Quen, dia tidak berubah, hanya saja menunjukkan sifat aslinya. Mertuamu saja bisa memaksa Scouts untuk mengakui bahwa dia menjalin hubungan denganmu. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Jadi, apa yang kamu harapkan?"

Quen hanya menggeleng. Pernikahan antara ia dan Edward adalah kemauannya. Tidak mungkin ia menyerah begitu saja.

"Setiap orang pintar dalam menyembunyikan siapa dirinya sampai dia mendapatkan apa yang diinginkan. Jika kamu berpikir suami kamu akan menjadi baik dan menyesal telah menyiksamu, saya rasa itu tidak mungkin," terang Lyden.

"Tapi kenapa?"

"Mungkin dia sudah mendapatkan yang dia inginkan, sehingga kamu dirasa tidak berguna lagi. Sebelum menikah, berapa lama kamu mengenalnya? Pernahkah membahas mengenai tujuan pernikahan kalian?" selidik Lyden.

Quen menjelaskan awal pertemuan mereka. Hanya dalam waktu 5 bulan mereka memutuskan untuk menikah. Ia merasa yakin menikahi Edward karna sikap lembutnya kepada mamanya. Ketika itu, ia hanya berpikir Edward akan menjadi papa yang baik.

"Kenapa bisa kamu selugu itu? Pernikahan yang kamu jalani hanya seperti bisnis. Kamu menginginkan anak sedangkan suaminya ingin membangun bisnisnya. Bagaimana mungkin seorang lelaki tidak penasaran dengan latar belakang keluarga istrinya. Tidak masuk akal." Lyden menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Begini, saya harap kamu tidak menginginkan dia berubah menjadi seperti yang kamu inginkan. Lebih baik kamu yang mengubah sudut pandang soal pernikahan yang kamu jalanin. Hakikatnya, kamu tidak akan bisa membayar waktu yang dia habiskan puluhan tahun untuk mengikuti keinginanmu," lanjut Lyden.

Quen menyeruput teh yang ada di depannya. Ia merasa dirinya terlalu naif. Demi tetap terlihat baik-baik saja, mengabaikan banyak hal.

"Saya bingung bagaimana cara memberitahu bahwa saya sedang hamil? Mama pasti tidak senang akan hal itu." Quen menundukkan kepalanya. Isak tangis kembali terdengar.

"Honey ... kamu harus hadapi semuanya. Dunia tetap akan berputar meski kamu diam. Tapi masalah tidak akan selesai jika kamu hanya mengalah. Perjuangkan yang seharusnya diperjuangkan." Lyden mengusap-usap rambut Quen untuk menenangkannya. Lyden telah menganggap Quen seperti adiknya sendiri.

Quen berpamitan setelah merasa lega. Namun, wanita tua dengan setelah serba merah kembali datang ke toko Lyden.

"Wanita miskin. Keluar kamu!" teriak Berenice.

Lyden berjalan keluar untuk melihat perihal apalagi yang membawa wanita tua ini datang. Lyden melihat wajah wanita tua itu merah padam, seperti hendak menerkamnya.

"Berani-beraninya kamu! Kamu harus tahu siapa yang kamu lawan!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status