“Nggak ada. Di sana nggak ada, di sini juga nggak ada.” Cantika berdecak sambil lalu menghela napas.
Gadis itu sudah berkali-kali mencari. Di lemari, laci, saku celana, ranjang, tas-tas yang biasa dipakai, tapi benda yang dicari tetap tidak ketemu juga.
“Duh, di mana ya itu earphone? Masa iya punya kaki?” desis Cantika menggaruk kepalanya. Dia lalu membungkuk, menarik selimut ke atas, berjongkok memeriksa kolong tempat tidur, namun hasilnya tetap nihil. Cantika tidak menemukan benda berkabel yang dicarinya.
“Coba ingat-ingat, terakhir bawa ke mana, ya? Kemarin masih dibawa waktu ....”
Tiba-tiba dia teringat hari di mana penglihatannya terkontaminasi oleh pemandangan meresahkan namun menggoda iman. Pagi itu dia memakai earphone-nya. Lalu melepasnya saat melihat seseorang yang tampak dalam keadaan darurat di dalam mobil – yang ternyata hanya lelaki mabuk dengan aktivitas solonya. Setelah itu, apa lagi?
Cantika berusaha mengingat lebih jauh, apakah dia masih mengantonginya saat pulang ke rumah. Atau jangan-jangan perangkat telinga itu jatuh saat dia berlari. Kalau benar jatuh di jalan, sepertinya sudah tidak tertolong, hancur terlindas kendaraan yang lewat. Akhirnya dia hanya bisa menghela napas pasrah.
Dering ponsel selanjutnya mengalihkan perhatian Cantika. Sebaris tulisan pengingat tertera di layar, ‘Jemput anak-anak’.
Sudah waktunya dia berangkat.
***
“Yeyy, Kak Can yang jemput! Horee!” Suara nyaring Bianca dan Byana memenuhi gendang telinganya.
“Haii, gimana tadi lesnya?” Cantika mengambil alih ransel kedua anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu dan meletakannya di jok belakang mobil.
Kedua bocah perempuan yang sudah seperti adik betulan bagi nya masih memakai seragam sekolah dengan wajah lelah mereka. Kadang Cantika merasa kasihan, nasib anak-anak zaman sekarang pulang sekolah harus kursus ini kursus itu sampai sore, atau malah sampai malam.
Berbeda dengannya dulu saat masih SD, dia santai saja. Pulang sekolah berganti baju, langsung duduk depan televisi, menonton film kartun favoritnya. Baru sorenya mengerjakan PR di rumah setelah mandi. Dia pernah mengikuti les, tapi tidak bertahan lama. Sebab Cantika tidak suka belajar.
“Tadi temen Byan ada nangis, dia numpahin minum kena bukunya,” celoteh Byana si bungsu, yang masih kelas dua SD.
“Oh iya? Terus kena bukunya Byan, nggak?”
“Nggak, duduknya agak jauh.”
“Caca mau duduk depan!” seru Bianca, si kakak. Sudah menyerobot membuka pintu mobil berbody besar itu.
“Ih, Byan yang duduk depan!”
Cantika hanya bisa garuk kepala melihat anak-anak yang tak pernah kehabisan tenaga untuk berdebat. Dia lalu tersenyum.
“Oke, Caca di depan. Nanti Brian yang di belakang sama Byana. Kita jemput Brian dulu, ya!”
“Tapi Byan mau di depannn,” Si bungsu memanyunkan bibir tanda protes.
“Gantian ya, besok Byana duduk depan. Oke?”
Bianca menjulurkan lidah, melompat duduk di sebelah kursi pengemudi. Sedang Byana pasrah dibantu Cantika naik ke mobil, mau tak mau duduk di belakang. Usai menutup pintu untuk para bocah, Cantika naik ke bangku pengemudi, lanjut menjemput Brian, adiknya yang paling besar.
“Nanti kita mau jalan-jalan sore nggak? Mumpung hari ini nggak ada les lagi.”
“Mauu, mauuu!!” Sahut kedua bocah perempuan itu kompak.
Niatnya, sekalian Cantika ingin menyusuri jalan. Mencari earphone yang hilang. Barangkali dia mujur. Meski tidak berharap banyak, tapi tidak ada salahnya mencoba. Sebelum dia memutuskan untuk membeli yang baru.
“Oke, kita jalan-jalan ya nanti!”
***
Setibanya di rumah, Byana dan Bianca buru-buru meletakkan tas sekolah asal. Melepas sepatu, berganti sandal santai. Anak-anak itu sudah tidak sabar ingin jalan-jalan sore dengan Cantika.
Sedangkan Brian, remaja laki-laki yang sudah kelas delapan, lebih memilih naik ke kamarnya. Beristirahat sambil bermain game di ponsel. Katanya dia sudah janji mau war bareng teman. Anak laki-laki memang beda selera dibanding perempuan.
Tidak lupa Cantika mengambil foto dan video saat jalan-jalan sore dengan Byana dan Bianca untuk mengisi story media sosialnya. Guna menyuguhkan kegiatan sehari-harinya pada enam belas ribu pengikut di akun miliknya. Bukan jumlah pengikut yang banyak, bukan juga jumlah yang sedikit. Tak jarang ia mendapat tawaran endorsement beberapa produk.
“Kak Can, Kak Can!” seru Byana menarik-narik ujung baju Cantika sambil berjalan mengitari kompleks perumahan. “Mau liat serigala sama beruang nggak?”
‘Serigala?
Beruang?’
Kening Cantika berkerut tak mengerti mendengarnya. Serigala betulan?
“Iya, Kak!” Kali ini Bianca yang berceloteh. “Ada yang pelihara anjing, besaarrr bangettt! Mirip serigala sama beruang!”
‘Ohh ... rupanya maksud Byana adalah anjing.’
Cantika tersenyum menggandeng kedua bocah perempuan di sisi kiri dan kanannya. “Mana?”
“Tapi kita harus jalan ke sana,” unjuk Bianca. Jalan itu adalah jalan yang belum pernah Cantika lewati sebelumnya, karena terletak beberapa blok di belakang.
Rumah yang dihuni mereka sekarang baru beberapa bulan ditempati. Letaknya sedikit di depan, tidak terlalu jauh dari gerbang kompleks. Jadi, blok belakang adalah jalan yang belum pernah dijamah oleh Cantika.
“Oke, yuk kita liat. Tapi lewatin lapangan di depan dulu, ya.”
Dipimpin oleh arahan Bianca, beberapa menit kemudian mereka tiba di depan sebuah rumah besar dengan gerbang hitam beruas. Celah pagar yang cukup besar membuat siapa saja yang lewat dapat melihat pekarangan dan bentuk rumah tersebut.
Seperti kata Byana dan Bianca, ada dua ekor anjing besar yang menyerupai serigala dan beruang diikat di halaman. Dua-duanya tampak menyeramkan, tetapi juga menggemaskan. Cantika heran, kapan anak-anak ini jalan sampai ke sini? Mungkin waktu dia tidak ada di rumah.
“Wow, besar ya,” ujar Cantika takjub.
“Ya kan, Kak?! Yang putih mirip beruang. Yang abu-abu mirip serigala.” Byana melompat-lompat heboh mendekati pagar. Mengamati Alaskan Malamute dan Chow Chow putih di halaman.
“Eh, Byana, jangan deket-deket! Nanti digigit!” Buru-buru Cantika menarik sepupu kecilnya.
Di saat yang bersamaan deru mesin mobil mendekat ke arah mereka. Berhenti tepat di depan rumah.
Cantika melangkah mundur menggandeng dua bocah perempuan di sebelahnya. Melirik ke sedan biru navy yang tampak tidak asing.
Pintu pengemudi pun terbuka, disusul sosok laki-laki bertubuh tegap yang turun dari sana dengan pakaian santai. Tersenyum cerah kepadanya — tidak. Sepertinya dia tersenyum pada Byana dan Bianca.
“Byan, Caca,” Laki-laki itu bahkan memanggil nama panggilan mereka dengan akrab.
“Kak Bennn!!” Keduanya menghambur mendekati pria yang dipanggil Ben.
Cantika amat terkejut saat itu. Bukan hanya karena penasaran, bagaimana kedua bocah yang bersamanya bisa mengenal pria blasteran yang baru saja turun dari mobil. Cantika tidak mungkin bisa melupakan sosok ini. Sosok yang menyerupai model pria di sampul majalah, yang ditemuinya pagi itu, si tampan maniak.
Detik berikutnya alarm dalam kepala Cantika memberi peringatan untuk segera beranjak pergi dari tempat itu sebelum—
“Lagi jalan-jalan, ya? Mau liat Kenzo sama Lulu?” tanya pria itu pada Byana dan Bianca.
Selagi Cantika memproses semua yang sedang terjadi di depannya, kedua gadis kecil itu menoleh pada Cantika meminta persetujuannya.
“Kak Can, Byan pingin pegang Lulu.”
“Caca juga mau pegang Kenzo.”
Nada membujuk dan sorot mata memelas mereka adalah salah satu kelemahan Cantika. Akan tetapi, dia tidak bisa langsung menyetujuinya. Cantika harus menjaga Byana dan Bianca dari si mesum ini. “Duh, nanti galak, By.”
“Enggak kok, mereka jinak.”
Suara bariton yang ditangkap oleh indra pendengaran Cantika seakan seperti embusan angin yang membuat tubuhnya merinding. Cantika menggosok-gosokan sebelah telapak tangannya di lengan, berusaha mengusir hawa aneh itu, sebelum dia benar-benar menyadari kalau pria yang dipanggil Ben telah membuka pagar rumahnya. Mengajak Byana dan Bianca memasuki halaman.
Celaka. Dia keduluan.
Baca juga cerita lain yang sudah tamat, Bukan Simpanan CEO. Terima kasih~ story by @lunetha_lu
Sumpah, dia merasa risih! Setelah ikut terseret ke halaman rumahnya, Cantika langsung memasang benteng pertahanan penuh. Mengawasi Bianca dan Byana yang sedang bermain di halaman rumah pria asing dengan ekstra ketat supaya lelaki yang dipanggil Ben itu tidak berbuat macam-macam pada mereka. Setelah apa yang ia lihat pagi itu, bisa saja lelaki bernama Ben ini juga seorang ped*fil. Jangan sampai dia tertipu oleh wajah tampan dan suara merdu lelaki itu. Jangan. Byana dan Bianca betah mengelus makhluk berbulu lebat yang terikat. Tampaknya kedua anjing tersebut memang benar jinak. Mereka hanya duduk, menempel-nempel manja, dan menggoyangkan ekor saat Byana bermain-main dengan telinganya. Tiba-tiba saja Cantika merasakan sesuatu. Sejak menjemput anak-anak tadi, dia sempat ingin ke toilet. Tapi harus menundanya karena takut Brian menunggu lama. Waktu pulang, dia malah lupa ke toilet dulu sebelum jalan-jalan dengan Byana dan Bianca. Akibatnya, sekarang dia malah kebelet! ‘Ya ampun, Cantik
“Kalian kok bisa kenal pemilik doggy tadi?” tanya Cantika pada Byana yang duduk melipat kaki ke belakang di sebelahnya. Mereka ada di kamar Bianca dan Byana, sibuk membereskan buku pelajaran untuk besok. Sore tadi Cantika tidak sempat bertanya karena Byana dan Bianca harus mandi, makan malam bersama maminya, lalu mengerjakan PR. “Kan Byan pernah main sama doggynyaa,” jawab Byan dengan mimik dan nada lucu nan polos. “Kenapa kamu manggil dia ‘Kak'? Dia jauh lebih tua. Kayaknya lebih cocok dipanggil Om sama kamu.” “Katanya panggil Kak Ben aja. Kak Ben itu orangnya baiikk, deh. Udah gitu ganteng kayak artis.” Cantika kontan ternganga. Demi krabby patty, anak sekecil Byana saja bisa bilang dia ganteng?? Tahu dari mana dia? Siapa yang bilang begitu ke Byana yang polos?? “Kata siapa Om itu ganteng?” tanya Cantika memastikan. Dirinya tergelitik untuk mencari tahu. “Emang ganteng kok, Kak!” Tiba-tiba Caca yang sedang memasukkan buku pelajaran ke tas sekolah ikut dalam obrolan. “Mirip pe
“Bannya bocor??” Satu tangan Cantika memindahkan ponsel ke telinga sebelahnya. Dia melirik ketiga bocah yang sedang duduk sambil memerhatikannya yang sedang menelepon. “Lama nggak, Pak? ... Ya udah, deh. Tolong kabarin secepatnya, ya? Sebentar lagi ‘kan udah jamnya anak-anak les. ... Oke, makasih, Pak.” Cantika mengembuskan napas panjang setelah memutus sambungan telepon. Dilihatnya jam yang ada sudut atas ponselnya, hampir jam setengah empat. Hari ini waktu kursus Brian, Bianca, dan Byana sama-sama pukul empat sore. Sengaja memilih waktu bersamaan karena masih satu tempat kursus. Dari mal di mana mereka berada butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai ke tempat kursus. Itu pun kalau jalanan tidak padat merayap. Kalau ada kendaraan yang geraknya lambat dan bikin macet, bisa lebih lama lagi. Semoga saja Pak supir bisa menjemput mereka kurang dari lima belas menit. “Kenapa Kak? Bannya bocor?” tanya Brian yang sejak tadi menyimak obrolan Cantika di telepon. Cantika memasukka
Ini sudah yang kedua kalinya Cantika berada di dalam mobil milik Ben. Jujur saja yang pertama dia tidak terlalu ingat dengan mobilnya karena aksi mencengangkan lelaki itu. Dia juga tidak terlalu lama di dalam mobil. Namun kali ini berbeda, karena supir mereka tidak bisa datang menjemput, Cantika terpaksa harus menempuh perjalanan beberapa menit dengannya berduaan. Duduk di sebelahnya dan sadar kalau sesekali lelaki itu meliriknya. Iya, berdua. Brian, Bianca, dan Byana sudah diantar ke tempat les. Cantika tidak mungkin menunggu anak-anak sampai selesai kursus selama satu setengah jam. Jadi, lebih baik dia pulang. Niatnya Cantika mau pulang dengan taksi online, tapi dasar nasib, uang cash di dompet sisa selembar dua puluh ribu dan sepuluh ribuan, uang sakunya di ATM juga sangat menipis. Sehingga keberadaan Ben sejujurnya seperti pertolongan untuknya. Kalau Cantika jadi panggil taksi online tadi, dia harus menunggu kucuran dana lebih dulu untuk ongkos anak-anak. Waktu berangkat, Brian
“Yakin nggak mau makan?” tanya Ben seraya melihat-lihat jajaran kios penjual makanan di area food street. Cantika berjalan mengikutinya tak acuh. “Nggak. Masih kenyang.” “Dessert atau minum?” tawar Ben pada gadis yang masih tampak cemberut. Gadis itu diam sebentar, tampak menimbang-nimbang. “Kenapa? Kakak mau traktir?” tanyanya gamblang. Masalah bayar membayar itu butuh kejelasan, apalagi uang tunai yang dibawanya terbatas. Lagi pula Ben yang mengajaknya, jadi tidak ada salahnya dia bertanya. Ben kemudian mengangguk, tidak terganggu sama sekali dengan pertanyaannya. “Iya, pesan aja.” “Aku mau jus aja kalau gitu.” Setelah berpencar sebentar menuju kios yang menyediakan pesanan mereka, keduanya menempati salah satu meja kosong di sana. Duduk di bawah terpaan angin sore yang masih terasa hangat. Ben memerhatikan gadis berkulit putih di depannya yang sibuk melihat-lihat sekeliling. Rambut panjangnya yang dicat tampak berkilau di bawah matahari. Bulu mata lentik hasil lashlift-nya ma
Ben pulang dengan suasana hati yang baik dan senyum merekah di wajah. Dia kira waktu cutinya ini hanya akan dihabiskan untuk sendirian, melanjutkan pekerjaan lain di rumah, atau ngalor-ngidul tidak jelas. Tetapi ternyata hal menarik ditemukannya sepanjang ia cuti. Kiara, gadis cantik yang masih kuliah, sepuluh tahun lebih muda darinya. Selama mengobrol, bibir penuh bergaris belah dan leher ramping gadis itu tidak luput dari pandangannya. Benar-benar membuatnya bergairah. Gadis itu memang bukan gadis cantik pertama yang dijumpai Ben. Tetapi daya tariknya amat kuat. Ben menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa, mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia membuka aplikasi media sosial dan mengetik nama Kiara pada kolom pencarian. Satu per satu foto profil ditelitinya. Terlalu banyak perempuan bernama Kiara. Sayang sekali dia tidak mendapatkan nama lengkap gadis itu. Ben lalu menghela napas kasar dan melempar pelan ponselnya ke meja sesaat sebelum benda pipih itu berbunyi. Dia sudah
“Lo masih ketemu om-om itu, Lin?” Pertanyaan sensitif dari Cantika mengundang helaan napas lolos dari mulut Olin. Wanita yang pernah tidak naik kelas dua kali akibat daftar kehadirannya di sekolah, mengepalkan sebelah tangan erat. Sangat kontras dengan senyum di wajahnya. “Menurut lo, dari mana gue bisa dapat ini semua kalau bukan dari dia?” ungkap Olin mengangkat sebelah tangannya dengan telapak terbuka. Atmosfir di ruangan Olin seketika berubah pekat. Cantika kira, dengan kesibukan Olin sekarang, dia sudah tidak menemui pria berumur itu lagi. Masalah Olin memang bukan urusan Cantika. Tetapi di lubuk hatinya, dia ingin Olin menjalani hubungan yang normal. Secara fisik, tidak ada yang kurang dari sahabatnya itu. Olin memiliki wajah manis khas Melayu. Kulitnya yang coklat eksotis dan tubuh berisinya membuat gadis itu kelihatan seksi. Meski tidak setinggi Cantika, tetapi Olin tidak tergolong pendek. Secara fisik penampilannya menarik. Secara kepribadian, dia wanita yang menyenangkan
“Jangan,” ujar Miko setelah mendengarkan cerita tentang Cantika. “Kamu masih belum pengalaman menghadapi cowok umur segitu. Menurutku Cantika nggak perlu ikutin kemauannya. Apalagi dengar pertemuan awal kalian yang ... ehem,” Miko berdeham sebelum melanjutkan dengan suaara lembutnya, “anti mainstream.” Garis bibir Cantika melengkung ke bawah, dia tidak begitu suka dianggap belum dewasa. Tapi apa yang dikatakan Miko juga tidak salah. Dia belum pernah berkencan dengan laki-laki yang jauh lebih dewasa darinya. Paling jauh hanya terpaut tiga tahun di atasnya. Cantika menopang wajah dengan sebelah tangan dan berkata, “Kalau aku betulan nggak sengaja ketemu sama cowok itu lagi, gimana? Aku harus bilang apa buat nolak taruhannya?” “Memang kamu berharap ketemu dia lagi?” tanya pria gagah berkulit putih yang sejak tadi mengundang beberapa pasang mata memandangi tubuh atletisnya. Tubuh kekar yang dibalut kaus hitam body fit begitu menggiurkan para kaum hawa. Kalau kalian pernah lihat koko-ko