Share

08. Keluaraga Bumi

"Saya sudah ada di tempat parkir rumah sakit."

Satu kalimat itu yang Karina dengar setelah mengangkat panggilan telepon dari Bumi.

Kemarin saat perjalanan menuju kantor, Bumi meminta nomor kontak Karina dengan alasan agar lebih mudah menghubungi perempuan itu jika ada beberapa hal yang harus dibicarakan.

"Jangan ditutup dulu sebelum gue jawab bisa, 'kan?" gerutu Karina pelan saat sambungan telepon sudah berakhir tanpa dia menjawab.

Dia menatap sang Ibu yang baru selesai meminum obat, dan kini ibunya sedang berbaring menunggu reaksi obat.

"Ma?" panggil Karina.

Rahma menatap putrinya. "Iya, Rin?"

"Ma, Rina mau izin dulu ke luar sebentar. Rina mau ketemuan dulu sama produser film, katanya ada peran yang cocok buat Rina."

Karina terpaksa harus berbohong pada ibunya perihal dia harus meninggalkan sang ibu sebentar di rumah sakit sendirian.

Rahma mengangguk pelan. "Iya, kamu pergi aja. Mama gak apa-apa kamu tinggalin di sini. Masih ada suster penjaga, nanti kalau Mama butuh apa-apa pasti minta tolong ke suster," pungkasnya memberi izin.

Karina mengambil tas selempangnya di nakas. "Beneran, ya, Ma, kalau perlu bantuan minta tolong ke suster."

Rahma kembali mengangguk.

"Rina berangkat dulu, Ma." Karina mencium punggung tangan ibunya sebelum pergi.

"Hati-hati, Rin."

"Iya."

Karina pun keluar dari kamar inap ibunya, lalu menuju parkiran rumah sakit untuk bertemu dengan Bumi.

Untuk menemukan mobil milik Bumi di parkiran rumah sakit yang bisa terbilang ramai cukup mudah bagi Karina, karena mobil yang dipakai pria itu terlalu mewah dari mobil-mobil yang ada.

Karina mengetuk jendela mobil Bumi di bagian penumpang depan.

Bumi segera membuka kunci mobilnya dari dalam, lalu Karina masuk tidak lama kemudian.

"Udah nunggu lama?" tanya Karina basa-basi seraya memasang sabuk pengaman.

"5 menit," jawab Bumi. Dia menyalakan mesin mobil, lalu mengendarainya keluar dari kawasan rumah sakit menuju rumah kakeknya.

"Oh, sebentar itu."

"Bagi saya 5 menit itu terlalu lama."

Sontak saja Karina menatap Bumi tidak terima. Apa pria itu menganggapnya lelet? Menunggu lima menit itu sudah termasuk sebentar.

"Salah sendiri kenapa malah maksa nunggu di tempat parkir? Kan kemarin malem saya minta kalau udah hampir deket rumah sakit kabarin saya, nanti saya yang nunggu di pinggir jalan."

"Oh, saya gak fokus waktu baca bagian itu."

"Ck!" Karina berdecak kesal, lalu membuang pandangan ke pemandangan luar jendela mobil.

Dalam hati dia kembali menggerutu dengan sifat Bumi yang satu ini, tidak mau mengakui kesalahan.

Belum menikah saja sudah membuatnya kesal, apalagi jika sudah sah dan harus tinggal dalam satu apa yang sama? Apakah akan terjadi peperangan antara suami dan istri?

Sontak saja Karina menegakkan duduknya, lalu menggelengkan kepala. Kenapa dia sampai berpikiran ke sana? Padahal sudah jelas tertulis di kontrak bahwa mereka akan hidup masing-masing walaupun tinggal satu rumah.

"Bodoh, bodoh, bodoh!" gumam Karina seraya menepuk dahinya.

"Siapa yang bodoh?" celetuk Bumi yang masih bisa mendengar ucapan Karina.

"Huh?" Karina menatap Bumi dengan kelopak mata yang berkedip polos.

Bumi membalas tatapan Karina sekilas karena harus fokus mengendarai mobil. "Tadi kamu bilang bodoh. Siapa yang kamu bilang bodoh itu?"

Karina terdiam tidak langsung menjawab, dia sedang berpikir alasan yang untuk diberikan pada Bumi.

Tidak mungkin dia memberitahu pada Bumi apa yang tengah dipikirkan, kan?

"Oh, itu buat teman saya, Tiko, dia ngelakuin hal bodoh. Masa kemarin dia abis megang cabe rawit langsung ngusap matanya pake tangan yang sama, ya pedih dong tuh mata."

Karina berjanji nanti jika bertemu dengan Tiko dia akan meminta maaf pada sahabatnya itu karena sudah memakai dirinya untuk dijadikan alasan.

Bumi mengangguk, tetapi ada satu hal yang sangat ingin dia ketahui. "Siapa Tiko?"

"Temen, ah bukan, tapi sahabat saya."

"Laki-laki?"

"Iya."

"Oh."

"Tapi tenang aja, Tiko ini beda dari laki-laki lain," seloroh Karina ketika menyadari raut wajah Bumi dari samping yang terlihat kesal?

Bumi mengerutkan keningnya tidak paham. "Maksudnya?"

"Tiko ini laki-laki kemayu. Dia belum suka sama yang namanya perempuan. Jadi kamu gak usah cemburu sama Tiko."

Bumi segera menoleh pada Karina. Untung saja di depan sedang lampu merah, jadi dia bisa menatap Karina sepenuhnya.

"Apa? Saya cemburu?" Bumi menunjuk dirinya sendiri, lalu melepaskan tawa tidak habis pikir.

Karina mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. "Siap tahu, 'kan?"

Bumi geleng-geleng kepala. "Saya tidak akan cemburu pada teman kamu itu."

"Iya, saya pegang janji kamu. Tapi, kamu harus hati-hati sama sahabat saya itu."

"Kenapa?"

"Dia lebih atraktif kalau ketemu sama cowok cakep."

Bumi tiba-tiba saja merinding, dan bergidik ngeri.

Melihatnya membuat Karina tertawa lepas.

Bumi terpaku dengan Karina yang terlihat lebih bercahaya saat tertawa. Tiba-tiba perasaan senang menghinggapi hatinya.

"Terima kasih," tutur Bumi, lalu kembali mengendarai mobilnya karena lampu sudah berganti menjadi hijau.

Karina menghentikan tawanya. "Huh? Terima kasih untuk apa?" tanyanya tidak paham.

"Terima kasih, karena kamu bilang saya cakep."

Karina mendengkus. "Enggak sih, kamu biasa aja di mata saya."

Bumi hanya mengangguk tidak memperpanjang ucapan Karina.

Tidak terasa perjalanan mereka telah berakhir di sebuah rumah mewah dengan halaman yang sangat luas.

Karina yang baru melihatnya pun tidak berhenti berdecak kagum.

Dia tidak menyangka akan menginjakkan kaki di rumah pendiri production house dan agensi pertama di Indonesia, Jimmy Suherman.

"Ayo, masuk." Bumi membuyarkan tatapan kagum Karina pada rumah kakeknya, dan meminta perempuan itu untuk mengikutinya.

Karina mengangguk, lalu mengekori Bumi untuk masuk ke rumah mewah tersebut.

Pintu besar rumah mewah milik Jimmy Suherman perlahan-lahan memperlihatkan isinya pada dunia luar, dan Karina kembali berdecak kagum.

"Akhirnya yang ditunggu-tunggu sudah datang," celetuk seorang paruh baya dari sisi kanan dalam rumah.

"Kakek," ujar Bumi seraya menghampiri anggota keluarga satu-satunya yang dia miliki.

Jimmy menyambut kedatangan Bumi dengan memeluk cucunya itu.

Karina melihat semua adegan tersebut. Di matanya seorang Jimmy Suherman tidak terlihat tua, bahkan masih terlihat bugar di usianya yang sudah berumur.

Walaupun warna rambutnya sudah putih, tetapi ketampanannya tidak luntur dimakan oleh waktu.

"Dan, siapa perempuan cantik ini?" tanya Jimmy ketika mendapati Karina.

Diam-diam Karina malu karena dipuji seperti itu oleh Jimmy. Untuk menghormati kakek dari Bumi, dia pun tersenyum sopan.

"Dia perempuan yang akan aku nikahi, Kek," jawab Bumi.

Mata Jimmy berbinar bahagia. "Sungguh?"

Bumi mengangguk.

Jimmy tersenyum lebar dan bahagia. "Akhirnya cucuku akan menikah. Mari, Nak, mari masuk. Jangan sungkan," ajaknya pada Karina.

"Ayo," ajak Bumi, lalu memegang tangan Karina dan membawa perempuan itu untuk lebih masuk ke rumah kakeknya.

Selama berada di sana Karina bisa berbaur dengan baik.

Bahkan Jimmy tidak segan mengatakan bahwa Karina adalah tipe cucu menantunya yang paling dia sukai, karena bisa menyesuaikan topik pembicaraan mereka.

Karina pun menerimanya dengan senang hati.

Hingga pembicaraan itu harus terhenti karena Karina sudah terlalu lama berada di kediaman Jimmy Suherman, dan harus segera kembali ke rumah sakit.

Jimmy yang mengetahui kemalangan yang menimpa ibunya Karina pun mengizinkan perempuan itu untuk kembali ke rumah sakit.

"Besok saya akan berkunjung ke rumah sakit, mau bertemu dengan Mama kamu," celetuk Bumi saat mengantar Karina kembali ke rumah sakit.

Kening Karina berkerut, "Mau ngapain?"

"Apa lagi? Saya mau meminta izin buat nikahin kamu dalam waktu dekat."

"Apa?!"

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status