Share

Dua

Atisha menatap iba pada wanita yang tengah ia tangani. Perempuan itu tengah menjahit luka sobek yang cukup dalam pada pipi kiri pasiennya. Seorang wanita muda yang tengah terkulai. Butuh enam belas jahitan untuk menutup lukanya. Miris, saat perempuan lagi-lagi menjadi korban dari tempramen seorang pria, terlebih pria itu berstatus sebagai suaminya.

“Jahat banget ya suaminya dok. Istrinya minta nafkah itu kan haknya. Bukannya di kasih eh, malah dianiaya. Sumpah kalau kayak gini saya jadi takut nikah dok, ngeri,” ucap suster yang menemaninya sejak tadi saat keduanya telah berada di selasar rumah sakit.

“Nikah itu pilihan sih Wi,” jawab Atisha. Dirinya pun tak tau harus berkata apa. Selama ini ia antipati terhadap hubungan emosional yang melibatkan antara pria dan wanita.

“Kalau dokter sendiri, ada keinginan untuk menikah tidak?” Dewi menatap Atisha penasaran, sementara perempuan itu memilih menatap arlojinya.

“Oh iya Wi, jam praktik saya sudah berakhir nih. Dokter Lidya juga udah datang kan? Saya duluan deh, soalnya harus praktik lagi setelah ini di klinik intan medika.” Atisha meninggalkan perawat itu setelah menepuk pelan bahunya, bergegas untuk menghindari pertanyaannya yang tidak mesti ia jawab.

~

“Mama apa-apaan sih?!” Raffan manatap mamanya dengan raut kesal. Bagaimana tidak, mamanya mengatur makan malam dengan seorang gadis yang merupakan putri dari teman mamanya tanpa persetujuan pria itu.

“Habisnya kalau menunggu keputusan kamu, enggak akan ada kemajuan. Sudah sana berangkat! Aletha pasti sudah nungguin kamu di restoran."

“Raffan capek ma ... seharian ngurus kantor, suruh Rayyan saja tuh, untuk nemenin anak temen mama itu.”

“Enak saja, gue sudah ada janji sama Renita. Makanya, jangan terlalu betah jadi jones. Masa urusan jodoh perlu campur tangan nyokap juga, mengenaskan banget sih hidup lo!” Rayyan menatapnya dengan sorot meledek, membuat Raffan semakin jengkel. Sementara sang adik tertawa puas.

“Sudah sana kamu pergi Raf, kasihan Aletha pasti sudah menunggu kamu sejak tadi.” Mamanya mendorong punggungnya menuju pintu, membuat Raffan menghela nafas jengah, namun tak urung menuruti permintaan sang mama.

Saat tiba di restoran, menghampiri meja yang ditempati oleh seorang wanita cantik dan teramat seksi, pakaiannya yang kurang bahan membuat Raffan menahan nafas, tidak menyangka jika mamanya memilih perempuan seperti ini.

“Ekhem! Permisi, dengan Aletha?” Sapa pria itu formal, sementara wanita itu mendongak, menatap kearahnya dengan wajah takjub, tak menyangka jika sosok yang hendak di jodohkan dengannya, memiliki segala kriteria pria yang ia idamkan secara fisik.

“Benar Aletha kan?” tanya Raffan meyakinkan, saat perempuan itu masih intens menatapnya.

“Iya, saya Aletha.” Perempuan itu mengulurkan tangannya.

“Raffan,” ucapnya, menjabat tangan itu sekilas lalu duduk berseberangan dengan perempuan itu.

“Mas mau pesan apa?” tanya perempuan itu sambil membolak-balik buku menu, sesekali mencuri pandang kearah Raffan yang sibuk dengan handphonenya. Raffan mendesah, lalu menyimpan iphonenya kesaku celananya.

“Saya terpaksa datang kesini demi untuk menyenangkan hati mama saya. Harus saya katakan, saya tidak menginginkan perjodohan ini ...” Aku Raffan jujur, membuat senyum wanita dihadapannya surut.

“Perjodohan memang nggak selalu mulus, tapi bukan berarti nggak ada yang berhasil. Banyak kok, pasangan yang berawal dari perjodohan namun berakhir bahagia, kenapa kita nggak mencoba, bukankah terlalu cepat untuk menolak sekarang?” Aletha bersuara, berharap pria dihadapannya mempertimbangkan ucapannya sambil memajukan tubuhnya dengan pose yang sengaja ingin memamerkan dadanya yang tidak tertutup sempurna karena gaunnya yang super ketat dan kekurangan bahan. Raffan menggeleng pelang, sebelum berucap tegas.

“Saya harus pergi sekarang,” ucapnya dingin, tanpa peduli respon perempuan itu yang menatapnya dengan sorot kesa karena ditolak.

Raffan menatap nyalang kemacetan ibu kota, seharusnya dirinya sudah istirahat, andai mamanya tidak merecokinya saat pulang tadi hanya untuk bertemu dengan perempuan yang benar-benar membuatnya bergidik. Pria itu mengelap wajah gusar, saat kembali memikirkan ucapan sang adik beberapa hari lalu, “lo normal nggak sih? Lo masih suka cewek nggak sih?” Bahkan kini Raffan meragukan dirinya, saat menyadari dirinya sama sekali belum pernah merasakan tertarik dengan perempuan mana pun, bahkan dirinya cenderung merasa jijik saat berinteraksi dengan mereka.

“Brengsek!” Pria itu memukul kemudinya, mengingat kilasan suram saat menjelang akhir ia duduk di bangku sekolah dasar, membuat pria itu menginjak rem secara mendadak, mengakibatkan decitan nyaring ban mobilnya beradu di aspal, dengan terburu-buru pria itu membuka pintu mobil, dan memuntahkan seluruh isi perutnya di solokan, akibat rasa mual melingkupinya tiba-tiba.

“Hueeekh! Hueeek khuk!!!” Raffan memegang perutnya lemah, matanya mulai berair saking tak berdaya. Seorang perempuan yang melihatnya meminggirkan motor, mendekat kearahnya dengan masih mengenakan helem

“Ya ampun, Mas kenapa?” Ujarnya khawatir. Raffan tak menghiraukan, lagi-lagi dorongan rasa mual meluruhkan isi perutnya. Perempuan itu kembali ke motornya, mengambil kresek yang berisi air mineral dan makanan ringan yang digantung diatas stand motornya.

Perempuan itu yang tak lain adalah Atisha kembali menghampirinya saat Raffan mulai terduduk lemas di trotoar.

“Diminum Mas,” Atisha duduk berjongkok di sampingnya, mengulurkan air meneral yang telah buka segel dan tutupnya, Raffan menoleh kearah Atisha yang masih mengenakan helemnya dengan kaca yang sudah dinaikkan. Pria itu meraih botol minum itu lalu berkumur dan membuangnya, barulah setelahnya menenggak air perlahan.

“Saya nggak bawa obat sih Mas, tapi semoga ini bisa membantu,” Atisha merogoh tas selempangnya, lalu mengulurkan aroma terapi padanya.” Lagi-lagi Raffan menerimanya, menghirup aromanya lalu mengolesi perutnya.

“Terima kasih,” ucapnya lagi, kini Atisha menatap jelas wajah pria itu. Atisha yang hendak berucap, terhenti saat dering handphonenya menginterupsi.

“Ya Rin, iya ini udah di jalan kok, iya … wa’aalaikumussalam.”

“Mas udah baikan? Nggak apa-apa kan kalau saya tinggal?”

“Iya Mbak, nggak papa. Sekali lagi terima kasih," ucap Raffan sambil menatap perempuan itu.

“Tunggu! Mbak kan, yang sebulan lalu nabrak mobil saya?” tanya Raffan, meski wajah Atisha masih tertutup masker, namun Raffan mengenalinya sorot matanya saat terpapar cahaya lampu jalan. Tidak salah lagi, mata paling indah yang pernah ia temui adalah milik perempuan itu, si penabrak mobilnya.

“Eh … Iya.” Atisha tak menyangka jika pemuda di depannya mengenalinya, namun tak urung ia menjawab sambil mengangguk, Atisha sama sekali enggan berbasa basi. Sebelum benar-benar pergi sejenak, ia melirik mobil pria itu sekilas, lalu menggeleng pelan. Orang kaya memang semudah itu gonta-ganti mobil mewah. Sementara dirinya, entah kapan mobilnya akan dia bawa ke bengkel.

Raffan masih memperhatikan perempuan itu, menurunkan kaca helm lalu menstater motor metiknya hingga kembali meluncur bergabung dengan kerumunan pengendara lainnya. Pria itu kembali menatap aromatherapy yang berada dalam genggamannya, lalu menatap kantung kresek supermarket di sampingnya yang berisi roti dan kripik kentang. Pria itu tersenyum, perempuan itu ternyata punya hati yang baik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status