Tak lama kemudian mobil mewah itupun memasuki sebuah gerbang. Jantung Amira seketika berdegup kencang menatap bangunan tinggi berlantai tiga, bahkan seluruh jari tangannya tiba-tiba dingin dan berkeringat.
"Bagus, apa yang kamu ketahui dan kamu dengar! Cukup sampai di sini, apa kamu paham," ucap Marc setelah mobil berhenti, kepada sopir pribadinya.
"Baik Tuan, aku mengerti," sahut pria yang panggil Bagus itu.
Ia segera turun dari mobil, bergegas membukakan pintu untuk Marc dan Amira.
"Ayo," ajak Marc kepada Amira yang masih berdiri di dekat pintu mobil.
"A...a...aku pulang aja Om." Amira benar-benar gugup, nyalinya seketika menciut setelah melihat kediaman Louis.
Marc menghela napas, ia melangkah menghampiri Amira, menarik tangan wanita cantik itu lalu membawanya masuk ke dalam rumah. Setibanya di pintu langkah Amira seketika terhenti, kakinya tiba-tiba sulit digerakkan saat melihat seorang wanita duduk di atas kursi roda di dekat tangga.
"Siapa wanita itu?" tanya wanita itu.
"Mamah," sahut Marc.
Marc menghampiri ibunya tanpa melepaskan tangan Amira, hal itu membuat Amira semakin gugup bahkan seluruh tubuhnya gemetar. Apalagi saat wanita tua itu menolak berjabat tangan dengannya.
"Marc, Mamah ingin bicara," ucap wanita tua itu dan langsung menjalankan kursi rodanya menuju ruang tamu, untuk menghindari berjabat tangan dengan Amira.
Marc dan Amira pun mengikuti wanita itu ke ruang tamu. Keduanya duduk berdampingan dengan posisi berhadap-hadapan dengan wanita tua itu.
"Marc, jangan katakan wanita ini...."
"Iya, dia adalah istriku," sela Marc yang membuat ibunya berhenti bicara.
"Apa? Kamu jangan bercanda, ini tidak lucu." Wanita tua itu sama sekali tidak percaya.
"Aku tidak bercanda Mah. Dia adalah istriku, kami sudah menikah 1 bulan yang lalu tanpa sepengetahuan Mamah, dan saat ini Amira sedang mengandung," tegas Marc dengan wajah serius.
Wanita itu terlihat gelisah, keningnya seketika berkeringat dan wajahnya berubah menjadi pucat.
"Bukankah ini yang Mamah inginkan?" Marc kembali membuka mulut.
"Cukup Marc," sahut wanita itu, "Tolong jangan membuat kekacauan," lanjutnya.
"Aku tidak mengerti maksud Mamah," protes Marc.
"Bagaimana jika hal ini sampai diketahui keluarga Wijaya, Marc? Bukankah papah sudah membuat kesepakatan untuk menikahkan kamu dengan Karra, setelah Adella menghilang dan meninggalkanmu begitu saja!" Nada wanita itu terdengar meninggi, ia pun menatap Amira dengan tatapan tajam.
"Aku tidak pernah menyetujui kesepakatan itu," jawab Marc dengan santai.
"Mamah juga tidak setuju kamu menikah dengan wanita ini," tantang wanita yang dipanggil mamah itu.
"Setuju tidak setuju! Mamah harus menerimanya sebagai menantu di rumah ini." Marc bangkit dari tempatnya, diraihnya tangan Amira lalu ia bawa melangkah menaiki anak tangga.
"Marc, aku tidak akan pernah menerimanya sebagai menantu Louis," teriak wanita itu dengan lantang.
Marc sama sekali tidak menjawabnya, ia terus saja melangkah menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.
Setelah tiba di kamar, Marc melepaskan tangan Amira lalu menjatuhkan bokongnya di atas sofa dengan kasar. Sementara Amira hanya terdiam mematung ditempatnya, wanita cantik itu bingung harus berbuat apa.
"Kamu kenapa masih berdiri di sana?" tanya Marc setelah menyadarinya.
"Om, aku pulang saja." Jawaban Amira benar-benar tidak nyambung.
"Tolong jangan membuatku semakin pusing," ucap Marc dengan wajah dingin.
"Tapi aku takut Om," sahut Amira.
"Kamu tenang saja, tidak akan ada yang melukaimu ataupun menyakitimu. Mamah tidak seburuk yang kamu bayangkan." Marc berusaha menenangkan Amira. Ia tahu wanita cantik itu saat ini sedang ketakutan.
"Sekarang istirahatlah," lanjut Marc yang langsung bangkit dari tempatnya lalu pergi.
Setelah memastikan pintu tertutup rapat, Amira menjatuhkan bokongnya di atas sofa. Otaknya berputar-putar seperti baling-baling pesawat mengigat perdebatan Marc dengan ibunya.
Dari perdebatan itu Amira sudah tahu tujuan Marc berpura-pura menjadikannya sebagai istri. Semua itu hanya untuk menghindari perjodohannya dengan wanita yang bernama Karra. Tetapi Amira masih penasaran dengan wanita yang bernama Adella, apakah dia kekasih Marc? Atau istrinya?
Saat Amira larut dalam pikirannya! Tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar. Wanita tua yang berdebat dengan Marc tiba-tiba muncul di bibir pintu.
Amira seketika bangkit dari tempatnya, ia berdiri sambil menundukkan kepala. Sedangkan wanita tua itu sedang menuju kearahnya.
"Apa benar, kamu dan Marc sudah menikah?" tanya wanita itu dengan lembut, namun penuh penekanan.
Amira mengangguk, "I...i...iya Mah," jawabnya dengan gugup.
"Jangan panggil aku Mamah, karena aku tidak akan pernah merestui hubunganmu dengan putraku dan menganggap kamu sebagai menantu. Jadi kamu bisa memanggilku Nyonya Caterina," protes wanita tua itu.
"Ba...baik Nyonya," jawab Amira.
Tentu Amira tidak membantah, karena sesungguhnya ia bukanlah istri Marc. Yang artinya, dia bukanlah menantu dari wanita itu atupun menantu dari keluarga Louis. Amira sama sekali tidak sakit hati dengan ucapan Caterina, ia hanya merasa gugup dan takut karena tidak terbiasa berbohong.
"Apa benar saat ini kamu sedang mengandung anak Marc?" Caterina kembali bertanya.
"Iya Nyonya," jawab Amira seiring dengan anggukan kepala.
Seketika terdengar suara helaan napas, "Perusahaan apa yang dimiliki orang tuamu?"
Pertanyaan itu membuat Amira menegakkan kepala, wajahnya seketika berubah menjadi tegang. Ia bingung harus menjawab apa, karena Amira sudah tidak memiliki orang tua, bahkan ia tak mengenal ibu dan ayahnya.
"Kedua orang tuaku sudah tiada, Nyonya," jawab Amira dengan jujur.
"Oh, terus apa kamu yang menangani perusahaan ayahmu saat ini? Atau saudaramu, adik atau kakak?"
Pertanyaan Caterina benar-benar membuat Amira senam jantung.
"Orang tuaku tidak memiliki perusahaan Nyonya, dan aku tidak memiliki adik atupun kakak."
Jawaban Amira membuat Caterina tertawa lepas, "Kamu sudah terlalu percaya diri untuk menikah dengan putraku. Apa kamu tidak sadar, bahwa statusmu tidak sebanding dengan Marc?"
"Aku tahu itu Nyonya," timpal Amira.
"Jika kamu tahu! Tinggalkan Marc, akhiri hubunganmu dengannya."
"Tidak ada yang bisa memisahkan aku dan Amira, kecuali keinginanku sendiri." Suara Marc tiba-tiba terdengar dari pintu.
Amira dan Caterina memutar kepala ke arah datangnya suara secara bersamaan.
==========="Apa kamu sudah gila menikahi wanita yang tak jelas asal usulnya. Jika orang-orang sampai mengetahui hal ini! Mamah tidak bisa membayangkannya." Caterina menekan tombol kursi rodanya, lalu pergi dengan wajah kecewa.Amira pun segera menghampiri Marc, "Maaf Om, aku harus pergi. Aku tidak mau terlibat dalam urusan keluarga Om."Amira melangkah melewati Marc yang berdiri di bibir pintu, namun langkah kakinya harus terhenti karena Marc menarik tangannya."Setelah suasana semakin kacau, kamu ingin pergi begitu saja?" tanya Marc tanpa melihat lawan bicaranya."Bukan begitu Om," bantah Amira."Aku tidak menerima alasan apapun, kamu harus tetap tinggal di rumah ini sampai anak itu lahir." Marc melepaskan tangan Amira, lalu pergi."Ya Tuhan, ini ujian apa cobaan? Masalah yang satu saja belum selesai, sekarang malah timbul masalah baru. Amira, Amira, kamu benar-benar ceroboh, kenapa harus menuruti perintah Marc! Sekarang kamu jadi terjebak di lobang yang salah," ucap dalam batin Amira, sambil m
"Aku yakin, suatu saat mereka pasti menerimaku."Jawaban Amira membuat amarah Karra memuncak. Wanita cantik bertubuh tinggi itu meremas seluruh jari lentiknya, sungguh ia tak menyangka Amira berani menantangnya."Kamu begitu yakin?" tegas Karra."Kamu di sini?" Terdengar suara bariton Marc, "Sayang, angin malam tidak baik untuk wanita hamil," lanjutnya berpura-pura mesra.Jantung Amira seketika berdegup kencang mendengar Marc memanggilnya sayang. Bahkan ia sulit untuk menelan saliva, tetapi Amira berusaha tetap tenang agar Karra tidak curiga."I..iya Mas," sahut Amira dengan senyuman manis, "Aku masuk dulu ya?" lanjutnya pamit kepada Karra.Karra mengangguk sambil tersenyum paksa, matanya menatap punggung Amira yang sedang melangkah sambil bergelayut di lengan Marc. Ingin rasanya menghajar Amira habis-habisan, memberi pelajaran kepada wanita hamil itu. Tetapi Karra tidak mungkin melakukan hal itu di hadapan Marc.Mau tidak mau, Karra harus tetap terlihat baik dan sopan. Menunjukkan si
pria tampan itu hanya melilitkan handuk berwarna putih di pinggulnya, sehingga menunjukkan tubuh bagian atasnya yang begitu sixpack bak roti sobek. Wanita manapun yang melihatnya pasti akan terlena, begitu juga dengan Amira! Tanpa sadar ia menatap Marc dari ujung kaki hingga ujung kepala, sambil menelan saliva dengan susah paya."Jangan menatapku seperti itu, nanti kamu jatuh cinta," tegur Marc yang membuat Amira malu dan salah tingkah."Ma...ma...maaf Om," ucap Amira yang langsung bergegas masuk ke dalam kamar mandi.Melihat Marc bertelanjang dada membuat jantung Amira berdegup kencang, dan mengigat seseorang. Dada itu tidak jauh berbeda dengan pria yang sudah menghamilinya, sayangnya Amira tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, karena malam itu suasana kamar benar-benar gelap tanpa adanya cahaya lampu. Pada saat ia terbangun di pagi hari, pria itu sudah tak ada lagi di sampingnya."Marc, Marc."Amira terperanjat mendengar suara teriakan Caterina memanggil Marc. Ia bergegas ke lu
Tanpa terasa benda bulat yang tertempel di tembok menunjukkan pukul 7 malam. Di mana saat ini keluarga Louis sudah berkumpul di meja makan, hanya Amira yang tak ada di sana."Hanum," panggil Marc."Iya Tuan." Hanun segera menghampiri Marc."Panggilkan nyonya ke kamar," perintah Marc.Caterina refleks menghela napas kasar, selera makannya tiba-tiba hilang membayangkan wajah Amira."Mamah kenapa?" tanya Marcell yang duduk di samping Caterina."Tidak apa-apa," jawab singkat Caterina.Walupun Caterina tidak mengatakan apapun, Marc sudah tahu ada apa dengan ibunya. Sebenarnya Marc tidak ingin membuat ibunya kesal, tetapi Marc sudah bosan selalu dipaksa untuk menikah dengan Karra.Hanya dengan cara ini lah ibunya berhenti memaksanya, Karra pun tak mungkin bersedia menjadi istri yang kedua begitu juga dengan keluarganya.Hanya menunggu beberapa menit, Hanun terlihat melangkah menuju ruang makan bersama Amira. Wanita cantik itu sengaja menundukkan kepala untuk menghindari tatapan Caterina. Na
Tepat pukul 8 pagi, Amira sudah meninggalkan kediaman Louis. Sebelum ke rumah sakit ia terlebih dahulu menemui sahabatnya Erika. "Amira," ucap Erika yang baru membuka pintu. "Suprise." Amira langsung memeluk sahabatnya. Keduanya pun masuk ke dalam kamar, duduk di sisi ranjang sambil berbincang-bincang. Tentu Eribka bertanya dari mana sahabatnya selama ini! Sebab Amira pergi tanpa memberitahu Eribka. "Kamu dari mana Ra? Kok gak bilang-bilang? Ponselmu juga kenapa gak bisa dihubungi? Kamu baik-baik saja kak?" Eribka menjajah Amira dengan berbagai pertanyaan. "Iya, aku baik-baik saja, ini buktinya! Aku masih bisa datang kemari dalam keadaan utuh," jawab Amira sambil tersenyum dengan nada bercanda. "Kamu udah buat aku khawatir Amira! Kamu menghilang begitu saja, kamu pergi ke mana sih?" Eribka terus saja bertanya. "Maaf Rib, aku sudah membuatmu khawatir," sesal Amira dengan wajah bersalah. "Iya, iya. Tapi katak dulu kamu pergi ke mana?" Sebelum membuka mulut Amira terlebih dahulu
Setelah menaruh tas ke dalam kamar, Amira segera menuju kamar mandi yang terletak di lantai satu. Matanya seketika membulat melihat pakaian yang bertumpu di atas ember, sungguh Amira tak menduga pakai yang akan ia cuci sebanyak itu."Kenapa? Apa kamu keberatan?" Tiba-tiba terdengar suara Caterina.Amira memutar tubuh, "Tidak Nyonya," seiring bersama anggukan kepala."Kalau tidak keberatan! Ayo kerjakan," desak Caterina dengan wajah malas, "Satu lagi, jangan menggunakan mesin cuci," lanjutnya."Tapi Nyonya....""Tidak ada tapi-tapian," sela Caterina yang membuat Amira terdiam, "Enak saja tinggal di rumah ini secara gratis. Kamu sadar gak, kalau kamu tidak pantas menjadi menantu keluarga Louis?" lanjutnya menghina Amira."Iya Nyonya, aku sadar," jawab Amira."Kalau begitu akhiri hubunganmu dengan Marc, kalau tidak! Kamu akan menjadi babu di rumah ini, selamanya akan dianggap sebagai babu," tegas Caterina dan langsung pergi.Amira hanya terdiam mematung, dipandangnya punggung Caterina ya
"Apaan sih?" Marc melepaskan tangan Amira dari tangannya."Tenang Om, aku gak akan melakukan yang macam-macam," canda Amira sambil tersenyum tipis."Aku tahu itu," timpal Marc dengan wajah kesal."Om, aku boleh ikut gak? Aku...." Amira belum selesai bicara tetapi Marc sudah menyelanya."Gak bisa, apa yang harus aku katakan jika mereka bertanya siapa kamu?" Marc langsung menolak tanpa mendengar ucapan Amira terlebih dahulu."Om, aku itu..." "Pokoknya gak bisa, kamu di rumah saja." Lagi-lagi Marc menyela ucapan Amira."Aku bukan ikut sama Om." Suara Amira sedikit meninggi, "Aku itu hanya menumpang di mobil Om," lanjutnya menjelaskan."Maksud kamu?" Marc sedikit bingung, ia tidak dapat mencerna maksud dari ucapan Amira."Aku mau nginap di kos temanku, tapi aku numpang di mobil Om. Maksudnya! Om antar aku ke kos temanku, begitu Om." Amira menjelaskannya."Huh, bilang dong dari tadi." Marc menyalahkan Amira, padahal ia yang tak memberi wanita cantik itu kesempatan untuk bicara."Aku siap
"Sebenarnya kamu siapa?" Pertanyaan itu membuat Amira refleks memutar kepala, ditatapnya Karra yang sedang menggenggam pergelangan tangannya dengan erat."Benarkah kamu istri Marc? Atau hanya wanita bayaran?" lanjut Karra dengan wajah penuh tanya.Tentu Karra merasa curiga, Marc datang ke sana hanya seorang diri. Sedangkan Amira datang ke sana bersama temannya, bukankah seharusnya Marc dan Amira datang bersama? "Saya istrinya," jawab singkat dengan wajah datar.Karra tersenyum sinis, "Dari wajahmu sudah menunjukkan kebohongan, Amira. Sebaiknya berhentilah ikut campur dalam urusan keluarga Louis, kamu tidak tahu seperti apa Tante Caterina." Karra mengingatkan Amira, namun wanita cantik itu tak sedikitpun gentar. Uang membuat Amira tidak merasa takut, apalagi perjanjiannya dengan Marc hanya beberapa bulan. Jika dihitung dari usia kandungannya, ia hanya perlu bersabar selama 7 bulan 2 Minggu."Nyonya Caterina tidak mungkin melakukan sesuatu, karena saat ini aku sedang mengandung cucu