Share

Bab 6 Surat Perjanjian

Waktu berlalu begitu cepat, tidak terasa puncak resepsi akan digelar esok hari. Semua persiapan sudah siap, hanya membutuhkan sentuhan akhir saja. Katering yang dipesan juga sedia jika harus menambah porsi. Cukup menunggu aba-aba dari keluarga besar pengantin. Namun, bukan Umi Karimah namanya jika harus santai tanpa bergerak. Dia menyibukkan diri kembali dengan menambah menu resepsi yang cukup tidak biasa. Benar, kali ini wanita itu baru saja lega karena Katering Mangut Beong dan Nasi Lesah siap menerima orderannya.

“Umi… habis ini sudah nggak kemana-mana lagi kan?” tanya Zilal yang baru saja duduk setelah kembali menemani Umi Karimah mencari Katering Mangut Beong dan Nasi Lesah.

Memang sejak kemarin, Ibundanya sudah meminta izin kepada Kiai Yahya untuk menambah menu makanan di resepsi. Mengingat, resepsi pernikahan kali ini akan digelar hanya sekali. Tidak ada acara ngunduh mantu, sesuai dengan kesepakatan kedua keluarga.

“Nggak, Le. Habis ini kamu istirahat saja di rumah.” jawab Umi Karimah singkat.

Bagai angin segar rasanya, tubuhnya sudah ingin merebah sejak tadi. Ia akhirnya memutuskan untuk melepas penat di sofa panjang ruang tamu. Matanya memejam. Namun, tidak berselang lama, gawainya bergetar. Dengan malas dia membuka layar ponselnya. Siapa sangka, ternyata gadis pujaannya yang mengiriminya pesan. Senyum tersungging di wajah laki-laki itu.

Zalfa

[Assalamualaikum, Gus. Jika ada waktu, bisakah hari ini bertemu sebentar? Saya ingin bicara jika diperkenankan.]

Zilal

[Waalaikumussalam, Ning. Bisa. Di mana?]

Zalfa

[Baik, saya akan kirim lokasinya. Terima kasih]

Dengan cepat Zilal membalas pesan Zalfa. Hatinya berdenyut tak karuan. Rasa yang selalu hadir di malam-malamnya ketika mengingat gadis pemilik lesung pipi itu.

“Apa sebenarnya yang ingin kamu bicarakan, Ning?” gumam Zilal.

-0-

Laki-laki itu baru saja turun dari mobilnya. Pemandangan Kedai Bukit Rhema menyapa sejuk. Indah dan asri. Nampak di sana lumayan ramai pengunjung. Kawasan resto dengan bangunan joglo itu membuat manik lelaki itu cukup fokus mencari Zalfa. Tidak lama, hanya sepersekian menit Zilal berhasil menemukan gadis dengan jilbab Pink Soft yang sedang mengaduk minumannya.

Assalamualaikum, Ning.” sapa Zilal menyadarkan lamunan Zalfa.

“Eh, Gus. Sudah datang, Waalaikumussalam,” jawab Zalfa kikuk.

Zilal duduk tepat di hadapan Zalfa. Dengan sedikit memberi jarak. Ia sadar saat ini mereka belum mahram.

“Ada perlu penting apa, Ning? Maaf jika sudah lama menunggu.”

“Belum kok. Gus Zilal nggak pesan minuman dulu?”

“Tidak, Ning. Silahkan langsung saja,” jawab Zilal segan.

“Baik. Saya hanya ingin memberikan ini, Gus.” balas Zalfa sembari memberikan selembar kertas.

Kaget bukan main Zilal dengan perlakuan Zalfa. Matanya melotot ketika membaca kertas berisi perjanjian pernikahan yang Zalfa buat. Dadanya mendadak bergemuruh, emosinya mendidih.

“Ma…maksudnya ini bagaimana, Ning?” tanya Zilal gemetar.

Sebisa mungkin dia menetralkan amarahnya, namun tetap saja getar itu bersarang.

“Ya, aku hanya tidak ingin dipoligami. Terus tidak ingin melakukan sentuhan apapun tanpa didasari dengan cinta. Simpel sebenarnya!” seru Zalfa penuh kemenangan.

Zilal yang masih mencerna kata demi kata perjanjian ini seperti tidak terima.

“Hah, poligami? Apa menurutmu aku orang yang akan poligami, Zal? Lalu apa ini sentuhan atau berhubungan tanpa cinta? Apa serendah itu harga diriku di matamu?!” gumam Zilal lirih.

“Bagaimana, Gus? Tidak mau?! Oke, kalau tidak setuju kita bisa batalkan pernikahan ini!” kata Zalfa santai.

“O…Oke, saya setuju.” tutur Zilal sembari menandatangi surat perjanjian itu.

Zalfa yang tidak percaya laki-laki di hadapannya menyetujui perjanjian gila ini masing melongo.

“Hah, gila banget ini orang. Bisa-bisanya dia setuju!” gumam Zalfa pelan.

-0-

Perjalanan kali ini terasa panjang bagi Zilal. Bagaimana mungkin, perempuan yang selalu datang dalam hati begitu tega melakukan hal gila kepadanya. Apa memang dia ditakdirkan tidak dengan Zalfa? Mengapa semua terasa rumit begini.

Zilal menempatkan mobilnya di pinggir terasering persawahan. Dia menatap hamparan sawah yang menghijau. Berharap memberi ketenangan untuk gelora hatinya.

“Tidak bisakah kamu menjadi padi saja, Zal? Yang menerima kasih sayang langit dengan hujan dan sukarela tumbuh di bumi tanpa menolak? Tidak bisakah kamu cukup diam saja di hatiku dan menerima hujaman kasihku?!”

Tanpa sadar, bulir air mata itu lolos dari pelupuku matanya. Sakit sekali diperlakukan begitu oleh orang tersayang. Alam bawah sadarnya menerawang pertama kali Ia mendadak ingin segera melamar Zalfa.

1 bulan sebelum hari wisuda Zalfa

“Loh, Zain pulang ke Indonesia ini katanya, Mas.” ucap Rizal.

Alih-alih mendengarkan Rizal, Zilal justru masih sibuk dengan bukunya.

“Mas! Mas Zilal! Ini gawat loh, Mas. Kata temenku dia itu suka sama Ning Zalfa!” seru Rizal.

Mendengar gadis pujaannya disebut, Zilal langsung merespon.

“Heh, Zain siapa to, Dik? Santrinya Kiai Yahya?”

“Bukan, Mas. Dia itu dulu satu kampus sama Ning Zalfa pas S1, nah setelah lulus baru lanjut ke Turki.”

“Kok temenmu tau dia suka sama Zalfa?”

“Ya tau, orang temenku itu fans beratnya Ning Zalfa juga. Tulisannya Ning Zalfa kan bagus-bagus, Mas. Padahal dia bukan dari jurusan sastra, tapi tulisannya banyak yang suka. Pas liat orangnya, jadi suka juga sama orangnya. Lagian, orang cantik kaya begitu siapa sih yang gak suka? Nah, temenku ini juga kenal sama si Zain ini. Kabarnya sih dia pulang ke Indo buat Ning Zalfa,”

Mendengar penjelasan adiknya, entah mengapa hatinya terasa sesak. Amarahnya mendidih, jari tangannya sampai gemetar.

“Jangan bercanda kamu, Dik? Nggak lucu ini,”

“Serius, Mas. Kalau nggak percaya, coba baca ini.” jawab Rizal sambil menunjukan postingan aplikasi sosial media Zain yang sedang mengunggah status.

[Bersabarlah. Aku akan datang untukmu, ZFN.] Begitu bunyi status Zain.

“Aku nggak yakin sih, Mas. Tapi kata temenku, ZFN ini inisialnya Ning Zalfa. Tapi nggak tau dari mana, setauku sih nama pena-nya bukan ini,” ucap Rizal sambil berpikir.

Zilal yang menyadari betul nama itu adalah Zalfa, sontak meremas kertas pembatas buku yang ia baca.

“Iya, itu nama Zalfa. Jelas sekali. ZFN. Zalfa Fitria Nazma.”

Tidak menunggu waktu lama, akhirnya Zilal memberanikan diri meminta izin dan restu abahnya untuk melamar dan meminang Zalfa. Prosesnya begitu singkat. Berbagai macam istikharah dilakukan oleh ayah dan anak itu. Kedua keluarga sepakat, dan nampaknya semua berjalan mulus juga baik. Peran Kiai Hamid sangat banyak di sini. Fakta bahwa sahabat jadi besan akhirnya segera tercapai. Meski banyak orang bilang ini adalah perjodohan, tapi bagi Zilal tentunya tidak begitu. Lelaki itu sudah menyukai Zalfa sejak dia masih di Mesir.

“Kupastikan kamu diciptakan untuk menjadi pendampingku, Ning!” tegas Zilal yakin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status