Share

Bab 5 Menerima

“Abah…,” ucap Zalfa lirih.

Berkali-kali tangan yang tergolek lemah itu dicium dengan penuh takdzim.

“Maafkan Zalfa, Bah. Maafkan semua keegoisan Zalfa, tidak seharusnya kemarin Zalfa bersikap begitu ke Abah,” suara parau Zalfa mengisi ruangan.

Lagi-lagi tangisnya pecah.

“Nggak apa-apa, Nduk. Abah paham, jangan nangis ya. Abah nggak apa-apa kok,” jawab Kiai Yahya.

“Abah ini juga kok sukanya bikin orang rumah cemas, tiba-tiba drop. Umi juga panik loh, Bah.” omel Umi Ulfah setelah melihat suaminya siuman.

“Didoain saja, Nduk. Jangan kamu tangisi terus, lama-lama air matamu kering nanti kalau nangis terus,” cicit Umi Ulfah menatap Zalfa.

“Zalfa mau menurut sama abah, Zalfa mau menikah dengan Gus Zilal. Abah cepat sehat ya, Zalfa nggak bisa melihat abah begini,”

Kiai Yahya hanya tersenyum melihat putri sulungnya. Bola matanya seperti mengalirkan ketenangan.

“Maafkan abah juga, Nduk. Sebenarnya, abah tidak bermaksud untuk memaksa kamu. Tapi, memang sudah waktunya kamu menikah. Firasat abah jarang salah, Nduk.”

Mendengar ucapan abahnya, pikiran Zalfa liar bukan main. Apa yang dimaksud firasat abahnya? Melihat orang tuanya lemah di bangsal rumah sakit membuat daya pikir positif gadis itu hilang. Kecemasan dan ketakutannya terlalu berlebih. Ditambah berita lelayu yang akhir-akhir ini didapatnya dari kerabat dekat membuat hatinya kalang kabut.

“Abah harus sehat, pokoknya Abah nggak boleh lama-lama di sini!” seru Zalfa.

Selang beberapa menit, tiba-tiba pintu ruang kamar Kiai Yahya diketuk.

“Tok… tok…tok…, Assalamualaikum,

Wa… wa’alaikumussalam,” jawab Umi Ulfah.

“Loh, ada Kiai Hamid dan Gus Zilal, Bah!” pekik Umi Ulfah membuat seisi ruangan semakin sunyi.

Zalfa yang mendengar suara sang ibunda justru semakin menunduk. Bibirnya bungkam, pikirannya dengan cepat merespon.

Entah bagaimana dia harus bersikap sekarang. Malu, canggung dan kaku. Gamisnya sudah lusuh, kerudungnya tidak karuan. Intinya, dia amat yakin siapapun ingin buang muka jika melihatnya.

“Iya ini Bu Nyai, maaf datang ke sini malam-malam. Tadi kebetulan habis ada pengajian dekat sini jadi sekalian mampir. Saya dapat kabar dari santri yang ikut pengajian tadi, katanya Mas Yahya di bawa ke sini. Cuma sama Zilal ini, mohon maaf Uminya nggak ikut menjenguk, Mas Yahya.” terang Kiai Hamid.

“Oalah, malah jadi merepotkan ini. Habis pengajian harusnya istirahat malah mampir ke rumah sakit.”

“Nggak apa-apa, aku ditengok sampeyan dan Gus Zilal saja sudah seneng kok. Biasa ini, namanya sudah tua ya. Kadang-kadang penyakit tuanya kambuh,” tutur Kiai Yahya.

Melihat keakraban kedua orang tuannya dengan Kiai Hamid, hati Zalfa berangsur hangat. Namun, pandangan matanya tidak sama sekali melihat ke arah laki-laki muda di seberang sana. Meski sebelumnya sempat menyapa dengan anggukan takdzim untuk kedua tamu itu.

Tidak berlangsung lama, kedua laki-laki berbeda umur pun pamit pulang. Sepertinya, Gus Zilal yang sejak tadi hanya berdiri di samping ayahnya cukup merasa bahagia. Meski tidak saling bercengkerama, tapi binar mata laki-laki itu terlihat jelas ketika mencuri pandang dengan calon istrinya. Sementara, Zalfa yang amat kelelahan, tidak sengaja tertidur di kursi tunggu rumah sakit. Dia akhirnya terpaksa pulang setelah dibujuk adiknya dengan segala cara. Egonya ingin menemani abahnya, tetapi semua keluarga paham. Saat ini Zalfa lah yang amat lelah dengan keadaan ini.

“Pulang saja yuk, Mbak! Aku antar. Dari pada tidur di sini, nggak nyaman kan? Lagian hari-hari esok Mbak Zalfa akan sibuk sekali,” Begitu bujukan Faiz pada kakaknya.

-0-

Dua hari setelah kepulangan Kiai Yahya dari rumah sakit, persiapan pernikahan Zalfa semakin detil. Tenda terop dan dekorasi pelaminan nampak sedang dibuat. Para santri putra pun ramai ikut membantu. Hiruk pikuk pelataran pondok itu semakin riuh, semua orang seolah ikut bahagia menanti momen hari H. Namun di tempat yang berbeda, perempuan beda generasi itu tidak henti-hentinya berdebat. Entah sudah berapa lama petugas butik itu meladeni keduannya. Tapi, sampai saat ini dua orang itu masih saja berseteru.

“Zalfa, kamu nggak bisa begitu dong. Ini kan Umi sudah pilihkan yang bagus buat kamu, ini dipesan loh. Bukan stok ready tapi harus dijahit dulu,” keluh Umi Ulfah yang sudah lelah debat.

“Umi, modelnya Zalfa kurang suka. Lagian Zalfa maunya pas akad itu pakai putih, terus nggak mau pake pakaian adat. Yang biasa saja, kaya santri gitu. Tapi ya tetap elegan.” jawab Zalfa.

“Tapi model yang kamu mau itu harus dipesan dulu, Zal. Nggak cukup waktunya kalau harus nunggu, kita cuma punya waktu sebentar.”

“Lah, siapa juga yang mau nikahnya buru-buru? Jadi repot kan. Ah, sudahlah, Mi. Zalfa capek, terserah Umi saja!” ketus Zalfa.

“Tau begini, mending dari awal menolak!”

Melihat kedua pelanggannya bersikap dingin, akhirnya Mbak Ratna si pemilik butik itu datang membawa angin segar.

“Ning Zalfa, Bu Nyai… bisa ikut saya sebentar?” sapa Mbak Ratna ramah.

Butik Mbak Ratna memang sudah menjadi langganan keluarga besar Kiai Yahya, bahkan sejak Zalfa kecil. Jadi memang Mbak Ratna sudah hafal selera keluarga ini, dan sedikit banyak hafal perangai Zalfa jika sedang banyak pikiran.

Zalfa dan Uminya dibawa ke ruang kerja khusus Mbak Ratna. Di sana telah berdiri cantik manekin dengan gaun pengantin yang sangat indah. Meski belum selesai dibuat, namun gaun pengantin ini mampu membius banyak pasang mata yang melihatnya. Indah dan sangat elegan.

“Wah… bagus banget, Mbak!” pekik Zalfa. Matanya amat berbinar, wajah masamnya hilang.

“Kamu suka?” tanya Mbak Ratna.

“Ehm, iya. Suka banget, Mbak.”

Umi Ulfah hanya menghela nafas lega melihat putrinya berangsur hangat.

“Sebenarnya ini gaun yang dipesan langgananku, Ning. Ini saya buat sendiri, tapi ternyata pengantin laki-lakinya kurang suka. Jadi ya masih begini, belum sempat diselesaikan. Setelah melihat Ning Zalfa, sepertinya ukurannya pas. Kalau Ning Zalfa mau, saya bisa kasih untuk kamu Ning. Tapi, ini belum selesai ya,”

“Ya Allah, terima kasih banyak, Mbak Ratna sudah banyak direpotkan.” celetuk Umi Ulfah.

“Nggak apa-apa, Bu Nyai. Mungkin dua hari bisa sih kalau dikebut. Tapi, masalahnya baju buat pengantin cowonya juga belum jadi. Sepertinya nggak memungkinkan kalau dikebut, nggak keburu, Bu Nyai.”

“Pengantin cowonya pakai jaz hitam saja ya, Zal?” tanya Umi Ulfah.

“Jangan dong, Mi. Nanti nggak bagus dong fotonya.”

“Terus kamu maunya modelnya gimana, Nduk? Sudah nggak ada waktu ini,”

Asisten Mbak Ratna tiba-tiba datang membawa setelan pasangan gaun pengantin tadi. Ia mendadak muncul dari sudut belakang ruangan.

“Kalau pengantin laki-lakinya pakai ini bagaimana, Ning?” kata Asisten Mbak Ratna.

Zalfa memindai model dan bahan setelan yang dibawa Sang asisten.

“Oke, Mbak. Kayanya ini juga bagus ya, bahannya juga adem. Nggak gerah dipake seharian,” cicit Zalfa.

Sempat kaget mendengar tuturan Zalfa, tetapi dengan cepat Umi Ulfah sembunyikan.

“Wah, Ning Zalfa perhatian sekali lho sama calon suaminya. Takut dia nggak nyaman ya, Ning? kayanya cinta banget nih sama calonnya,” ledek Mbak Ratna.

Yang diajak bicara hanya diam tanpa bereaksi.

Sementara Mbak Ratna dan Umi Ulfah meninggalkan gadis itu ke ruang tengah, mereka menghitung biaya administrasi gaun seluruhnya yang dibutuhkan.

Di saat Zalfa sibuk melihat-lihat detail model bajunya, mendadak ada pesan masuk dalam gawainya. Dengan cepat dia membuka layar gawai dan membaca pesan tersebut. Bagai disambar petir Zalfa membaca pesan itu, tangannya gemetar. Hatinya kembali bergemuruh, rasa itu bergelayut datang kembali.

[Zalfa, aku kembali untukmu. Ku mohon jangan pergi!]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status