Share

Bab 4 Dilema

“Sudah, Ning? Mau ditemani ke mana lagi?” tanya Lina sembari menyerahkan satu botol minuman.

“Ehm, nggak sih. Nggak mau ke mana-mana lagi, kita langsung pulang saja, Mbak.”

“Gimana kalau kita sarapan dulu, Ning. Dari tadi kan Ning Zalfa juga belum makan apa-apa, malah sudah olahrga naik tangga banyak banget,” usul Lina.

“Boleh juga, aku juga kayanya laper, Mbak. Cape nangis dari kemarin,” timpal Zalfa.

“Oke. Yuk aku ajak ke tempat makan favoritku kalau habis ziarah!”

Keduanya masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan menuju rumah makan. Hanya butuh waktu sebentar. Area tempat itu masih dalam kawasan Muntilan.

“Mau pesan apa, Ning? Di sini semua enak, yang aku suka sih Mangutnya, Ning. Dijamin lezat!”

“Mbak sering ke sini ya?”

Perempuan itu mengangguk mantap. Di sini, di warung makan bernama Iwak Kali Idaman, Zalfa dan Lina menghabiskan waktunya. Tempat dengan segala kenyamanan dan makanan desa yang memang dikenal sangat lezat. Gubug makanan idaman ini terlihat sangat sederhana, namun sangat menarik. Zalfa menikmati sarapannya dengan memandang Jembatan Gantung Srowol yang terlihat dari tempatnya duduk.

“Indah banget ya, Mbak pemandangannya. Makanannya juga enak,” ucap Zalfa sangat menikmati.

“Nah kan. Bener enak to?”

Zalfa tersenyum.

“Hmm, lega rasanya lihat Ning Zalfa bisa seneng begini. Aku khawatir banget lho, Ning. Dari kemarin sampeyan nggak mau makan, mengurung diri di kamar lagi.”

“Maaf ya, Mbak. Mbak Lina jadi ikut mikirin aku,”

“Aku bener-bener merasa lagi di ujung jalan, Mbak. Nggak tau harus berbuat apa, menurut Mbak Lina tentang perjodohanku ini gimana, Mbak?”

“Gimana ya, Ning. Mbak sih gak bisa komentar banyak ya, tapi Mbak yakin sih kalau Abah Yahya ini melakukan semuanya untuk kebaikan Ning Zalfa.”

“Walaupun tidak memikirkan bagaimana perasaan anaknya?!”

“Ini menurutku lho ya, Ning. Menurutku saja. Justru Abah ini ya memikirkan kebaikan sampeyan, Ning. Kita kan nggak tau apa yang akan terjadi nanti? Mungkin sekarang ini ya, menikah adalah jalan yang paling baik untuk sampeyan.”

“Kalau masalah perasaan, hmm … memang berat ya, Ning. Apalagi kalau kita ternyata suka sama orang lain.”

Deg.

Ada desir yang bergelayut dalam diri Zalfa. Ucapan Mbak Lina sungguh seperti ujung panah yang tepat sasaran.

“Tapi, Ning. Aku pernah dengar dari seseorang tentang cinta, katanya cinta itu bisa dipelajari. Asal dari kita ada kemauan,” tutur Mbak Lina lembut.

-0-

Sementara di rumah, Kiai Yahya terus memikirkan Zalfa. Meski bisa dibilang tegas dalam mendidik anak, laki-laki sepuh ini sebenarnya amat menyayangi putrinya. Dia yakin Zilal orang yang tepat untuk Zalfa. Firasatnya jarang meleset, terlebih dia sudah mengenal anak sahabatnya itu sudah lama. Tubuh laki-laki itu tiba-tiba gemetar hebat, pandangannya semakin buram.

“Bah…, Abah nggak apa-apa?” tanya Umi Ulfah yang tidak sengaja melihat suaminya pucat.

Namun, tidak sampai satu menit Umi Ulfah bertanya, tiba-tiba…

Bruk!

“Abah…!” teriak Umi Ulfah.

Dengan sigap Umi Ulfah menghampiri Kiai Yahya yang tergeletak lemas.

“Faiz…, Faiz!” jerit Umi Ulfah memenuhi ruangan.

Tidak lama Faiz pun datang bersama salah satu santri putra. Membantu Umi Ulfah membawa Kiai Yahya ke rumah sakit. Ada tiga santri yang ikut menemani Ulfah. Mereka memutuskan membawa Kiai Yahya ke rumah sakit terdekat.

Umi Ulfah memang sudah mewanti-wanti Kiai Yahya agar tidak terlalu memikirkan perjodohan Zalfa, karena memang kondisi fisik suaminya sering drop. Riwayat penyakitnya sering kali menjadi masalah utama dalam kesempatan mendesak seperti ini.

-0-

“Abah! Abah di mana, Mi? bagaimana keadaannya?!” tanya Zalfa beruntun.

“Masih ditangani dokter, Nduk,” jawab Umi Ulfah lemas. Tangannya sejak tadi menghitung dzikir, mencoba tetap tenang namun tidak bisa. Hatinya cemas bukan main melihat suaminya begitu lama ditangani oleh dokter.

“Bagaimana ini bisa terjadi, Mi?!”

“Faiz! Jelaskan! mengapa Abah bisa drop lagi? Tadi kamu bilang Abah cuma pingsan, tapi kenapa dokter nggak keluar-keluar?!” seru Zalfa yang mulai lemas.

Yang ditanya tidak menjawab, laki-laki muda itu hanya mencoba memberi kakaknya tempat duduk. Sepertinya dia tau, saudara perempuannya sedang menahan lelah mati-matian. Mungkin bisa dibilang lelah fisik dan batin. Bagaimanapun juga semua ini berawal dari dirinya yang ingin menikahi seorang gadis. 

Faiz tadinya sempat berpikir untuk tidak ingin memberi kabar ini ke Zalfa, namun Umi Ulfah melarang. Baginya kabar abahnya masuk rumah sakit harus didengar Zalfa, agar tidak menjadi bumerang nanti. Dengan segala cara, Faiz mencoba menghubungi kakaknya dengan baik. Tenang dan meyakinkan abahnya baik-baik saja. Tapi, nyatanya reaksi Zalfa tetap saja cemas dan panik akut.

“Tenangkan dirimu dulu, Nduk. Kita doakan abah nggak apa-apa ya!” tutur Umi Ulfah.

“Ta… tapi…”

Belum selesai Zalfa bicara, derit suara pintu terbuka terdengar.

Seorang Dokter dan dua perawat keluar dari ruang kamar Kiai Yahya.

“Keluarga pasien Pak Yahya!” panggil Sang Dokter.

“Iya, Dok. Kami di sini,” jawab Faiz.

Seluruh keluarga menghampiri dokter tersebut. Dengan cemas hati mereka menunggu kabar keadaan laki-laki sepuh yang sedang terbaring di bangsal.

“Bagaimana keadaan abah saya, Dok?” tanya Zalfa menerobos.

“Setelah melalui pemeriksaan, keadaan Pak Yahya saat ini cukup baik. Tidak apa-apa, hanya saja tekanan darahnya terlampau tinggi. Sebaiknya pasien tidak diberatkan dengan masalah-masalah yang berat dulu ya, Kak, Bu,” jelas Dokter.

Alhamdulillah,”

“Apa saat ini saya sudah bisa ketemu abah, Dok?” ucap Zalfa menggebu.

“Bisa, tapi mohon jangan terlalu banyak orang di ruangan pasien ya. Sepertinya Pak Yahya butuh istirahat yang cukup,”

“Baik, Pak Dokter. Terima kasih,” kata Umi Ulfah.

Tanpa berlama-lama, akhirnya gadis berkulit putih itu menerobos ruang kamar abahnya. Bibirnya kelu, air matanya deras mengucur. Tangannya gemetar menyentuh punggung tangan Kiai Yahya.

“Abah…,” ucap Zalfa lirih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status