Share

Bab 3 Menepi

Bukan Zilal namanya jika tidak mampu mengendalikan emosi Umi Karimah. Meskipun sudah berapa kali perempuan itu protes dengan pilihan anak sulungnya, namun semua berakhir baik. Iya, semua perselisihan ini gara-gara stok emas yang berada di toko langganan rekomendasi budenya hanya tersedia stok lama. Tentu Umi Karimah ingin memberikan yang terbaik untuk sang menantu, tetapi entah bagaimana pemikiran Zilal, Ia juga heran. Laki-laki muda itu malah mengambil salah satu model kalung stok lama dari toko tersebut.

“Le, kok malah ambil kalung yang itu to? Kata mbaknya lho itu stok lama,” ucap Umi Karimah untuk kesekian kali.

“Stok lama kalau memang modelnya bagus kan nggak apa-apa, Mik?”

“Lah kamu ini bagaimana sih, mau ngasih ke calon istrimu kok begitu. Ya harus diusahakan yang terbaik dong. Kan kita bisa cari lagi ke toko yang lain?!” tegas Umi Karimah bersungut-sungut.

Mendengar omelan sang Ibunda, Zilal menghentikan mobilnya sebentar. Ia mampir ke salah satu toko swalayan dan membeli beberapa camilan serta minuman. Sedangkan wanita itu hanya menggeleng pelan melihat kelakuan putranya.

Tidak lama. Akhirnya Zilal masuk ke dalam mobil dengan menyerahkan minuman segar untuk sang umi.

“Minum dulu, Mi. Umi pasti cape dari kemarin ngurus pernikahan Zilal, makasih ya Mi sudah mau berbuat banyak untuk Zilal,” kata Zilal sembari menyerahkan minuman.

“Umi nggak mempan disogok apapun,” jawab Umi Karimah.

Meski jawabnya begitu, tetapi minuman pemberian Zilal itu tetap diterima.

Setelah keadaan Uminya kian membaik, Zilal mulai membuka obrolan.

“Mi, sebenarnya Zilal sudah pesan satu set perhiasan untuk mahar nanti. Zilal juga mau memberikan yang terbaik untuk Zalfa,”

“Loh kok nggak bilang Umi? Kalau bilang dari awal kan Umi nggak perlu ribet-ribet cari di toko sekitar sini.” cebik Umi Karimah.

“Lah kan memang tadi belum pesan, tadi niatnya Zilal juga mau lihat-lihat modelnya dulu di toko pilihan Umi. Tapi, sebelum itu sebenarnya Zilal juga sudah ditawari teman Zilal yang memang bisnis di bidang perhiasan. Nah, setelah mantap model di sini nggak cocok sama Zalfa, ya akhirnya Zilal terima tawaran itu. Jadinya pesan di teman Zilal tadi itu, Mi.” terang Zilal lembut.

“Kaya gitu kok nggak bilang dari awal to, Le?”

“Lah terus tadi kamu ambil kalung di toko itu buat apa? kan Umi jadi salah paham,”

“Ehm, nggak tau ya pas lihat kalung itu kok kaya pas buat Zalfa, Mi. Cantik, sederhana, tapi tetep menawan. Bentuk bandul kalung itu bintang, tapi ada bulan sabitnya di dalam. Cantik, persis Zalfa.” celetuk Zilal yang wajahnya sedikit malu-malu.

Umi Karimah hanya tersenyum dan menggeleng pelan. Baru menyadari anak sulungnya itu memang sudah dewasa.

-0-

Lelah menangis dan mengurung diri di kamar, akhirnya Zalfa menyambar gawai yang berada di atas meja. Mencoba mengirimkan pesan ke Mbak Lina. Sebenarnya, masih pagi sekali jika harus izin bepergian. Namun, kali ini Ia tidak tahan dengan kondisi isi kepalanya. Mungkin saat ini, isi kepalanya lebih berisik dari pada pasar pagi. Abahnya terpantau sedang mengajar salah satu kelas. Ini kesempatannya pergi. Zalfa hanya meminta izin kepada Umi Ulfah untuk pergi berziarah ke Gunung Pring, Muntilan. Dia sengaja mengajak Mbak Lina, tanpa dipungkiri santri putri yang paling dekat dengan keluarga ini adalah dia.

Tanpa riasan berlebih, akhirnya Zalfa beranjak pergi. Hanya dengan gamis berwarna biru muda dan kerudung senada. Sangat sederhana, namun tetap cantik. Lesung pipinya selalu menawan meski bola matanya sembab.

“Saya saja yang nyetir, Ning.” ucap Lina.

Zalfa menurut dan duduk di kursi penumpang.

“Mau ke mana Mbak masih pagi begini?” tanya Faiz yang melihat Zalfa masuk mobil.

“Ziarah ke Gunung Pring sebentar,” jawab Zalfa singkat.

 “Hati-hati, Mbak. Jalanan masih licin,”

Mobil Innova itu melesat menembus jalanan yang masih basah terkena embun pagi, meninggalkan pelataran pondok pesantren dengan gedung berderet-deret itu. Hanya tangis dan sayup-sayup angin yang mengiringi kepergian Zalfa. Hatinya sesak, nafasnya beradu, ingin menolak semua perjodohan ini tapi tidak bisa. Lina hanya diam, fokus menyetir. Membiarkan Ning-nya menumpahkan segala resahnya. Dia tau betul, tidak mudah menjadi Zalfa. Pengabdiannya selama menjadi khadimah di keluarga Kiai Yahya membuatnya tau karakter anggota keluarga itu. Kiai Yahya dengan perangai lembut, namun tegas dalam mengambil keputusan. Umi Ulfah yang selalu ceria dan penuh kasih sayang. Hingga Faiz yang seolah tidak bisa ditebak maunya apa. Lina paham betul betapa sulitnya berada di posisi Zalfa.

-0-

“Mau ditemani naik ke atas nggak, Ning?” tanya Lina sembari menatap deretan anak tangga menuju makam.

“Nggak usah, Mbak. Zalfa sendiri saja, sudah paham kok. Kalau lama ya mungkin mampir lihat dagangan orang,” jawab Zalfa berusaha senyum.

Saat ini dua perempuan itu sedang berada di depan tangga menuju makam. Karena makam ini berada di daerah bukit, jadi mungkin Zalfa perlu menaiki tangga dengan tinggi sekitar 400 mdpl. Makam ini biasanya akan ramai peziarah pada bulan Shafar, terkadang banyak sebagian dari mereka yang menggunakan bus-bus rombongan. Sebenarnya, tidak heran jika banyak yang ingin berziarah ke Gunung Pring, mengingat ada 3 makam ulama besar yang ditempatkan di sini. Beliau adalah Pangeran Singasari atau Kiai Raden Santri, Kiai Jogorekso dan Kiai Dalhar.

Sesampainya di pendopo makam, Zalfa duduk bersimpuh serta menunduk takdzim. Dia merapal wirid dan tawasul untuk para ulama. Dia berdoa untuk dirinya sendiri. Untuk memantapkan hatinya memasuki medan laga lebih hebat dari kemarin. Belum usai pembacaan wirid, tangisnya kembali meledak. Hatinya tidak kuasa menahan rasa yang masih bersarang. Bahunya kian bergetar hebat.

Di sini, di depan makam ulama, Ia ingat pertentangan dengan abahnya. Dia ingat Umi Ulfah yang membujuknya penuh kasih sayang. Bayangan senyum Faiz yang akan bahagia jika menikah dengan gadis pilihannya juga sekilas nampak. Seolah semua bahagia ketika dia harus menanggung jeruji perjodohan ini. Bahkan tidak ada yang peduli dengan bagaimana perasaanya? Bagaimana isi hatinya, apakah nanti pernikahan itu akan bahagia?

Bayangan lelaki yang menjadi tambatan hati sejak kuliah itu kembali datang. Kembali menyapa batin, seolah berkata jangan pergi.

“Bisakah aku ikhlas menerima pernikahan dengan Gus Zilal, sementara hatiku masih tertata rapi untuknya?”

“Bisakah aku begitu?!” katanya sekali lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status